tirto.id - Ketika usianya menginjak awal belasan tahun, Tjie Tjin Hoan telah menjadi yatim. Ayahnya tewas dibedil serdadu Jepang.
Tiap pagi, sebelum pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, ia harus mengurus sapi. Tjie Tjin Hoan telat bersekolah. Ia baru lulus dari bangku sekolah dasar pada tahun 1947 saat usianya telah 16 tahun, dan lulus dari SMP di Gorontalo pada usia 19 tahun. Ia kemudian melanjutkan ke SMA Frater Don Bosco di Manado, dan kuliah di Jurusan Arsitektur ITB.
Belakangan, menurut Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016:241), Tjie yang ayahnya berasal dari Fujian itu akhirnya memakai nama Ciputra pada usia 25 tahun.
Sebelum lulus dari ITB, Ciputra sudah mulai merintis karier. Bersama dua orang kawannya, yakni Ismail Sofyan dan Budi Brasali, mereka membuka biro konsultan arsitek di sebuah garasi pada tahun 1957.
“Kami mendirikan sebuah perusahaan konsultan, bernama Daya Cipta dan sampai sekarang masih beroperasi dengan nama PT Perentjana Djaja,” kata Ciputra dalam Ciputra Quantum Leap: Entrepreneurship Mengubah Masa Depan Bangsa dan Masa Depan Anda (2008:31).
Setelah ikut mendirikan Daya Cipta, seperti dicatat Bondan Winarno dalam Tantangan Jadi Peluang: Kegagalan dan Sukses Pembangunan Jaya Selama 25 tahun (1987:11), Ciputra “Semakin sadar bahwa pekerjaan arsitek itu sebenarnya hanya menunggu sampai ada pesanan datang."
Sementara Ciputra bukan orang yang betah tinggal diam. la tipe penjemput bola yang giat memasuki setiap peluang yang ada untuk terus membangun.
Membangun Jakarta lewat Pembangunan Jaya
Setelah lulus dari ITB pada 1961, Ciputra yang saat itu telah menikah dengan Dian Sumeler, pindah ke Jakarta. Ia yakin di ibukota lebih banyak pekerjaan untuk arsitek atau pemborong. Pada pertengahan 1961, Ciputra dengan nyali besar menemui Gubernur DKI Jakarta Soemarno Sastroatmodjo.
Dalam pertemuan pada malam hari itu, Soemarno terkesan dengan semangat sang arsitek muda. Gubernur Jakarta kemudian menyampaikan hal tersebut kepada Presiden Sukarno. Singkat cerita, Ciputra akhirnya dilibatkan dalam proyek peremajaan Pasar Senen.
Maka pada September 1961, PT Pembangunan Ibukota Jakarta Raya aatu PT Pembangunan Jaya berdiri. Perusahaan ini dibentuk untuk melakukan pelbagai peremajaan sejumlah bagian kota Jakarta yang tidak sesuai dengan kemajuan ibukota.
“Waktu saya jadi Gubernur, di pertengahan 1972 aktenya diubah, disempurnakan […] Modal swasta nasional diikutsertakan di dalamnya […] Pemilik perusahaan ini adalah Pemda DKI yang memegang saham 60 persen tetapi tidak menyetor modal. Sisanya, 40 persen dipegang oleh pribadi-pribadi, di antaranya Hasyim Ning, Dasaad, Massie Bersaudara, Ciputra, dan direksi lainnya. Juga mantan Gubernur dr Soemarno dan koperasi karyawannya,” kata Ali Sadikin dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1993:442).
Menurut pengakuan Ciputra pada Robert Adhi KSP dalam Rahasia Sukses Pengusaha Properti (2011:48), Jusuf Muda Dalam mantan Gubernur Bank Indonesia, juga ikut serta dalam PT Pembangunan Jaya.
Selain Proyek Pasar Senen, PT Pembangunan Jaya juga mengerjakan Gedung Balaikota, Proyek Ancol, dan membuat sejumlah ruas jalan serta membangun jembatan.
Richard Borsuk dan Nancy Chng (2016:242) menyebutkan bahwa saat Ali Sadikin mengontrol perjudian, Ciputra pernah menang tender pembangunan kasino Copacabana pada 1971. Pada masa akhir Ali Sadikin menjabat sebagai Gubernur Jakarta, PT Pembangunan Jaya mempunya 30 anak perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi, perdagangan, dan jasa rekreasi.
Bekerja Sama dengan Om Liem
Kemampuan Ciputra mengurus perusahaan konstruksi tercium oleh Sudono Salim atau Liem Sioe Liong yang saat itu tengah jaya. Bagi Liem, Proyek Ancol yang dikerjakan Ciputra cukup mengesankan. Bersama Djuhar Sutanto, Liem kemudian menemui Ciputra dan menawarkan sebuah proyek di Sunter.
“Sunter tidak bagus. Saya punya proyek yang lebih baik: Pondok Indah,” kata Ciputra.
Liem berminat dan berkata, “Saya sediakan uang.”
Pada akhir 1970-an, mereka mulai bekerjasama dan berdirilah Metropolitan Group.
“Dia sudah kaya, saya tidak punya uang. Ciputra mau, karena dia hanya kelola perusahaan besar milik Pemda kala itu. Dia belum jadi konglomerat kala itu. Bergandeng dengan Liem sangat menggiurkan," ujar Ciputra mengenang Liem.
Proyek penting yang mereka kerjakan adalah pembangunan perumahan mewah Pondok Indah dan Kota Mandiri Bumi Serpong Damai. Ciputra sukses di Metropolitan Group, pinjaman modal dari Liem berhasil ia bayar bersama bunganya.
Pengusaha properti, Ir. Ciputra meninggal dunia di Singapura, Rabu (7/11) dini hari. FOTO/Dok. Humas Ciputra Group.
Membangun Ciputra Group & Loyalitas
Setelah sukses dengan PT Pembangunan Jaya dan Metropolitan Group, Ciputra kemudian membangun bisnis keluarganya yang bernama Ciputra Group. Hal tersebut tidak mengherankan sebab seperti diungkapkan Ali Sadikin, Ciputra adalah orang yang cekatan, tajam pikiran, dan berani.
Selain itu, ia juga menghormati kesetiaan. Hal tersebut ia tunjukkan kepada PT Pembangunan Jaya.
“Saya ingin mengakhiri kedudukan saya di Jaya dengan kehormatan dan prestasi," kata Ciputra.
Ia tak mau jadi “kacang yang lupa kulitnya.” PT Pembangunan Jaya—meski bukan miliknya sepenuhnya—adalah tempat ia membangun reputasi, sehingga orang seperti Liem mempercayainya.
“Anak-anaknya yang menjalankan Ciputra Group rela dan setuju sekali menganggap Jaya sebagai 'kakak', karena sejarah dan besarannya yang beberapa langkah di depan Ciputra Group,” tulis Bondan Winarno dalam Kiat Menjadi Konglomerat: Pengalaman Grup Jaya (1996:125).
Dalam dunia bisnis, Ciputra mengumpamakan dirinya sebagai kuda pekerja. Dan ia senantiasa berusaha menjadi kuda pekerja yang baik.
“Kuda yang baik akan dipakai joki yang mana saja,” ucap Ciputra seperti ia sampaikan kepada Tempo (16/07/1977).
Hari ini, Rabu (27/11/2019) pukul 01.05 waktu Singapura, Ciputra wafat di RS Gleneagles Hospital Singapore pada usia 88 tahun. Sang kuda pekerja yang menghormati kesetiaan itu pergi untuk selama-lamanya.
Editor: Irfan Teguh Pribadi