tirto.id - Meninggalnya pendiri Ciputra Group, Ir Ciputra, pada Rabu (27/11/2019) dini hari adalah awan mendung paling pekat bagi bangsa Indonesia pekan ini. Menteri BUMN Erick Thohir menyebut pria kelahiran 24 Agustus 1931 ini sebagai “tokoh yang telah menghasilkan sejumlah karya bagi dunia properti.”
Sementara di mata Menteri Keuangan Sri Mulyani, Ciputra alias Pak Ci adalah “tokoh yang memiliki pemikiran mengenai bagaimana cara menciptakan bisnis sekaligus memanusiakan ciptaan-Nya.”
Satu hal penting yang bisa diingat bersama: di balik andil besarnya untuk dunia properti, salah satu warisan berharga lain yang ditinggalkan Ciputra adalah cinta dan dedikasinya untuk olahraga.
Dalam biografinya, Passion of My Life (2018), Ciputra pernah membuat kesaksian, bahwa tanpa olahraga, barangkali dirinya tidak akan sesukses sekarang.
“Barangkali, karena itulah [olahraga] saat pertama di dalam diri saya mulai tumbuh obsesi untuk berprestasi,” aku dia.
'Si Cina' yang Berlari Cepat Sekali
Lari adalah olahraga yang jadi cinta pertama Ciputra. Romantisme Pak Ci dengan olahraga yang hanya butuh modal dua kaki telanjang ini dimulai dari pengalaman getir: kerinduan terhadap kampung halaman.
Kisah itu dimulai pada 1937, saat Ciputra harus ikut ibunya, Lie Eng Nio, pindah tempat tinggal dari kampung halamannya di Parigi, Sulawesi Tengah ke Gorontalo. Kepindahan itu merupakan salah satu cobaan terberat bagi hidup Ciputra yang masih berusia enam tahun.
“Kehidupan di Gorontalo lebih mudah. Saya tak harus mencangkul kebun, tak perlu menahan panas untuk menyiangi sawah. Tapi, saya sudah kadung kehilangan sesuatu yang mengakar di diri saya: berburu bersama anjing-anjing saya. Betapa rindunya saya berlari menerobos hutan, menebas semak belukar, dengan kaki telanjang serta duri perdu menusuk-nusuk telapak kaki saya,” aku Ciputra (2018:94).
Tanpa berburu, selain rindu, Ciputra merasa energinya sebagai bocah belia terbuang percuma. “Saya juga jadi takut jika diri saya kembali jadi lembek dan manja.”
Beberapa pekan usai hari-hari awalnya di Gorontalo, dari jendela rumahnya, Ciputra tak sengaja mengintip segerombolan anak mengembangkan senyum mereka usai berolahraga. Saat itulah dia seperti mendapat wahyu yang turun dari langit. Hanya satu hal yang terlintas di benak Ciputra: anak-anak itu pasti habis berlari.
“Riang betul mereka. Keringat sedang membanjiri dan tampaknya mereka sedang bahagia. Tiba-tiba saya terketuk. Berlari! Ya, kenapa saya tidak berlari. Energi saya harus keluar, dan saya harus memacu diri,” gumam Ciputra dalam hati.
Maka, sejak hari itu, setiap hari sekitar pukul 04.00 pagi, Ciputra rutin berlari layaknya anak-anak yang lain. Dia membiasakan kakinya bercengkrama langsung dengan aspal Gorontalo. Mula-mula jaraknya dekat, lama-kelamaan dalam sekali lari pagi dia bisa menempuh jarak belasan kilometer.
Menariknya, Ciputra tak pernah terlambat sekolah pula meski terus berlatih setiap pagi. Ketika jam menunjukkan 07.00, tempatnya tak lagi di jalanan, namun di bangku kelas.
Tak dinyana kebiasaan itu bikin Ciputra terbiasa dan piawai berlari. Hingga bertahun-tahun kemudian banyak orang Gorontalo dan Manado--salah satu lokasi lain tempat Ciputra pernah tinggal--menyadari jika Pak Ci punya bakat adu cepat di atas aspal.
Sebagai keturunan etnis Tionghoa, Ciputra kecil kerap merasa dia mendapat stigma dan pandangan buruk dari masyarakat setempat. Seolah-olah dia berada di tatanan yang lebih rendah ketimbang ‘orang pribumi,’ istilah yang jadi label istimewa kala itu. Tapi, sejak bakat larinya dikenal orang, diskriminasi itu seolah tak lagi dirasakan Ciputra.
Ciputra belajar satu hal baru: olahraga bisa menghapus segala bentuk diskriminasi.
“‘Lihat si Cina itu cepat sekali berlari,’ begitu kata orang. Tapi anehnya saya tak merasakan diskriminasi dalam cara mereka menyebut saya sebagai ‘Cina’. Mereka justru respek karena jarang ada orang Tionghoa yang bisa berlari seperti saya,” kenang Ciputra (2018:97).
Sejak saat itu, Ciputra menjadikan olahraga sebagai sarana untuk menghapus berbagai pengalaman buruknya sebagai minoritas di masa kecilnya.
Ciputra giat ikut kompetisi lari lokal Gorotalo dan Manado pada nomor 800 dan 1500 meter. Tak jarang dia mengukir prestasi. Puncaknya, Ciputra sampai pernah terjun sebagai wakil Sulawesi Utara di Pekan Olahraga Nasional (PON) 1952.
Mengabdi Lewat Jaya Raya
Ciputra memang tak jadi atlet profesional hingga tua. Dunia pendidikan dan bisnis, pada akhirnya adalah jalan yang dia tempuh. Tapi, Pak Ci mengaku seumur hidup tak bisa melupakan pengalaman spiritualnya ketika dikenal sebagai orang Cina yang berlari cepat sekali.
“Sejak saat itu [sampai seterusnya] saya tak merasa terhina lagi ketika orang-orang memanggil saya Cina.” (2018:426).
Alasan itu pula yang kemudian menjadi dasar Ciputra untuk kembali ke dunia olahraga. Kali ini lewat jalan yang sesuai bidangnya: bisnis dan pendidikan.
Pada 1969, Gubernur DKI saat itu, Ali Sadikin datang kepada Ciputra dengan ajakan mendirikan yayasan untuk membina atlet sepakbola dan atletik ibu kota. Dua olahraga ini, diangap Ali penting bagi Jakarta karena punya popularitas tinggi, tapi di saat bersamaan minim prestasi.
“Kau pasti bisa menangani ini. Kau orang yang tepat,” kata Ali saat itu meyakinkan Ciputra.
“Kalau diajak bicara olahraga, hati saya cepat tersambar. Olahraga itu punya kekuatan ajaib yag menghidupkan,” kenang Ciputra mengulas kala tawaran tersebut datang, (2018:427).
Berbekal semangat dan kepercayaan dari sang gubernur, pada 1970 Ciputra lantas memprakarsai Yayasan Jaya Raya. Yayasan ini dibangun atas kerja sama dari Pemerintah DKI Jakarta dan PT Pembangunan Jaya, perusahaan milik Ciputra. Ciputra menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus, sementara Ali menjadi Ketua Dewan Pengawas.
Yayasan Jaya Raya mulanya menaungi sepakbola dan atletik saja, sebagaimana permintaan Ali. Klub sepakbola yang dinaungi bernama Jakarta Raya. Tim ini pula yang jadi kawah candra dimuka bagi nama-nama pesepakbola legendaris timnas, seperti Anjas Asmara dan Sofyan Hadi.
Kendati sukses, hingga hampir empat tahun berjalan Ciputra tak merasakan kecocokan dengan dua olahraga ini. Pada 1975, Pak Ci lantas meminta kepada Ali agar diberi izin pindah mengurus olahraga lain: bulu tangkis.
“Alasannya jelas, sejak lama saya kagum dengan cahaya yang disemburkan para atlet bulu tangkis. Keberhasilan mereka meraih Piala Thomas 1958 masih membuat saya kagum,” kisah Ciputra.
Ali merestui permintaan tersebut. Kemudian lahirlah klub bulu tangkis PB Jaya Raya pada 1976.
Ciputra tak ketinggalan menggandeng sederet mantan atlet bulu tangkis untuk mengurus langsung tim ini. Rudy Hartono menjabat ketua sekaligus ketua bidang teknik, Retno Kustiyah jadi sekretaris merangkap bendahara, Atik Jauhari dan Ridwan menjadi pelatih.
Di tahun-tahun awal PB Jaya Raya mengalami banyak kesulitan. Mereka sampai harus menyewa lapangan Soemantri Brodjonegoro untuk latihan sehari-hari. Soal kantor sekretariat, mereka mulanya bahkan cuma bermarkas di rumah Rudy Hartono. Baru setelah beberapa tahun klub ini punya asrama sendiri di Ragunan.
Tahun 1980an klub ini bahkan nyaris tutup. Mereka cuma punya satu atlet yang masih bertahan, seorang perempuan yang juga berasal dari etnis Tionghoa layaknya Ciputra. Perempuan itu bernama Susi Susanti.
Namun seiring berjalannya waktu, perempuan itu pula yang membuat seluruh dunia bertekuk lutut pada Indonesia di Olimpiade Barcelona 1992. Jumlah prestasi dan medalinya sudah terlampau sulit dihitung, nama Susi kini bahkan sudah ditasbihkan sebagai legenda.
Moncernya Susi diikuti bermunculannya atlet-atlet berprestasi lain dari PB Jaya Raya. Di antaranya Mia Audina, Tony Gunawan, Canda Saputra, Sigit dan Halim Budiarto, Deyana Lomban, Markis Kido, hingga pebulutangkis yang saat ini masih aktif di jajaran elite dunia, Hendra Setiawan.
Menurut informasi di laman resminya, atlet-atlet binaan PB Jaya Raya pernah menyumbang tak kurang dari 8 emas kejuaraan dunia, 3 emas olimpiade, 19 gelar All England, 1 Piala Sudirman, 3 Piala Uber, 10 emas Asian Games, 30 emas SEA Games, 3 kali gelar juara tim di Superliga Badminton, 5 kali kampiun Kejurnas, dan dua Kejuaraan Jaya Cup.
Ciputra sendiri, hingga usia senjanya masih kerap mengintip kiprah atlet-atlet PB Jaya Raya, baik dari jauh maupun dekat.
Dalam autobiografi pertamanya, Quantum Leap (2008) Ciputra bahkan sempat menceritakan pengalaman hadir langsung di final bulu tangkis Olimpiade Beijing 2008, saat usianya sudah menyentuh angka 77.
Ciputra mulanya tak punya niatan khusus untuk datang menyaksikan atlet didikan PB Jaya Raya. Tapi, seolah dipertemukan takdir, saat itu di final ganda putra atlet yang menjadi wakil Indonesia adalah pasangan Hendra Setiawan dan Markis Kido. Keduanya melawan pasangan Cai Yun/Fu Haifeng, asal Cina, negara leluhur Ciputra.
Hendra/Markis tampil perkasa dalam partai yang dihelat di Gelanggang Olahraga Universitas Teknologi Beijing tersebut. Sempat kalah 12-21 di set pertama, mereka melibas lawan dengan skor 21-11 dan 21-16 pada dua gim terakhir. Medali emas dibawa pulang Indonesia.
“Tubuh saya tergetar-getar membayangkan bendera merah putih berkibar di kandang lawan dan lagu Indonesia dilantunkan di ruang yang sangat terhormat,” tulisnya (2008:120).
Ciputra, lantas mengenang kejadian hari itu sebagai salah satu momen ajaib yang membuat semangatnya terus berkobar hingga berusia kepala delapan.
“Itulah yang membuat saya terus bersemangat di usia senja [..] Saya menggenggam sebuah asa, agar apa yang saya lakukan dapat menjadi sebuah warisan yang berharga untuk bangsa yang saya cintai. Bangsa Indonesia yang agung,” pungkasnya.
Editor: Abdul Aziz