Menuju konten utama

Cinta dan Benci untuk Legging

Sejumlah sekolah melarang siswinya mengenakan legging. Alasannya? Memancing birahi lawan jenis.

Cinta dan Benci untuk Legging
Ilustrasi seorang perempuan pemanasan saat olahraga menggunakan legging. GettyImages/iStockphoto

tirto.id - Item fesyen yang kontroversial hari ini tak hanya baju mini dan hot pants. Busana jenis legging—celana ketat yang dibuat dari bahan tipis dan elastis serta kerap dikenakan perempuan—turut dipandang sebagai tabu karena dianggap bisa meningkatkan birahi laki-laki.

Pandangan yang terdengar konyol itu diungkapkan perempuan asal AS Maryann White pada akhir Maret lalu. White gerah melihat sejumlah mahasiswi mengenakan legging saat menghadiri perayaan ekaristi yang diselenggarakan di sebuah kampus Katolik di Indiana.

Perempuan itu merasa para mahasiswa terus menatap tubuh bagian bawah para mahasiswi yang mengenakan legging. Lewat surat pembaca yang ia kirim ke sebuah media lokal Indiana, White menghimbau para mahasiswi untuk mengingat sopan santun yang diajarkan orangtua serta memilih celana jins yang menurutnya terlihat lebih sopan.

Surat White membuat para mahasiswi kesal. Sehari setelah surat tayang di media massa, sekelompok mahasiswi melakukan protes dengan menggelar kampanye "Leggings Pride Day". Kampanye itu mengajak pesertanya mengunggah potret diri menggunakan legging ke berbagai platform media sosial. Tujuannya adalah melawan stigma seksis orang-orang tua.

Respons seksis terhadap legging di Amerika Serikat sudah muncul tujuh tahun silam. Pada 2012, kepala sekolah Minnetonka High School melarang murid perempuan mengenakan legging karena dianggap bisa mengalihkan fokus orang lain. Legging baru boleh dikenakan jika dipadukan dengan rok, kemeja, atau terusan sepanjang setengah paha.

“Para murid harus menutupi bagian bokong. Belakangan, siswi-siswi ini memadupadankan legging dengan kemeja yang kelewat pendek. Hal ini membuat kami menyaksikan terlalu banyak bagian tubuh yang sesungguhnya tidak perlu diperlihatkan,” kata kepala sekolah Dave Adney sebagaimana dikutip Today.

Setahun setelahnya, aturan serupa muncul di Kenilworth Junior High School, California. Beberapa pejabat institusi pendidikan di sekolah tersebut rupanya punya pandangan serupa Adney. Mereka makin yakin melarang legging setelah mendengar sekolah lain yakni Rockville High School, Washington, menetapkan aturan yang sama.

Aturan tersebut muncul setelah kepala sekolah Rockville melihat seorang murid bernama Laura Woche menggunakan legging dan atasan sweater.

“Para siswi tidak seharusnya berpakaian provokatif karena bisa mengganggu para pria. Baju tersebut tidak pantas digunakan di sekolah karena sekolah adalah tempat orang berpenampilan sepantasnya. Seluruh staf sekolah harus menegakkan aturan ini agar setiap murid bisa merasa nyaman,” tulis NBC Washington.

Anggapan risih terhadap penggunaan legging tak hanya terjadi dalam lingkup pendidikan. Dalam “How Leggings Became The Most Controversial Pants”, Time melaporkan seorang pria asal Rhode Island mengirim surat ke koran lokal setempat dan menyebut bahwa yoga pants—sebutan lain legging—adalah pakaian yang tak pantas dikenakan perempuan dewasa karena nampak mengganggu. Surat itu menimbulkan aksi protes dari berbagai komunitas.

Jurnalis Time Olivia B.Waxman dan Melissa Chan mengisahkan legging mencapai puncak popularitasnya pada 1980-an, khususnya sejak aktris Jane Fonda mengenakannya dalam tayangan video aerobik.

Bagi antropolog Kaori O’Connor, legging tak sebatas pakaian olahraga tetapi juga simbol kebebasan perempuan. Pasalnya, pada era itu, aerobik—termasuk legging sebagai kostum wajib olahraga tersebut—berhasil diterima sebagai jenis olahraga baru dalam masyarakat.

Satu dekade setelahnya, legging kebali populer berkat demam yoga di AS sejak akhir 1990-an. Dalam rentang waktu yang sama muncul istilah yoga pants sebagai nama lain celana ketat. Pada tahun 1998, Lululemon, perusahaan produsen celana yoga, berdiri di Kanada.

Bloomberg menyebut Lululemon sebagai inspirasi lini fesyen dan olahraga dalam memproduksi celana yoga atau legging.

Pada 2000-an ketika yoga bisa dikatakan sebagai gaya hidup masyarakat AS, publik mengenakan celana yoga sebagai busana sehari-hari. Tak hanya untuk yoga, tapi juga berbelanja dan jalan-jalan.

Pada 2010-an, legging mulai lazim dikenakan sebagai busana kerja dan jadi kesukaan remaja.

Tahun lalu Guardian melaporkan bahwa legging jadi barang paling diminati dalam ranah retail online. Toko online ASOS menyatakan mengalami 95% peningkatan penjualan legging pada 2018. Lyst, mesin pencari yang fokus pada bidang fesyen, mencatat legging sebagai benda yang paling banyak dicari orang.

Saat itu berbagai lini busana premium seperti Gucci, Balenciaga, Dolce & Gabbana, Junya Watanabe, dan Givenchy mengeluarkan koleksi legging seharga ratusan hingga ribuan dolar. Orang tidak keberatan untuk membelinya.

Potret para selebritas seperti keluarga Kardashian yang kerap tampil dengan legging pun punya andil dalam menjadikan celana ketat super nyaman itu benda wajib yang bisa dipakai di berbagai kesempatan.

Kritikus fesyen New York Times Vanessa Friedman mengatakan bahwa perbincangan seksis soal legging tidak relevan lagi di era #MeToo. Ia merasa tak ada salahnya bila publik membuka mata bahwa legging akan terus jadi item fesyen yang diinginkan dan mungkin diutamakan sejumlah orang.

“Tiap generasi memaknai legging dengan cara berbeda. Bagi Gen Y, legging adalah bagian gaya hidup sehat dan aktif. Gen Z menganggap legging item fesyen yang sama dengan denim. Legging punya begitu banyak makna. Benda sepele yang sesungguhnya representasikan hak-hal kompleks seperti identitas,” katanya.

Baca juga artikel terkait FASHION atau tulisan lainnya dari Joan Aurelia

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Joan Aurelia