Menuju konten utama

Cherrypop 2024: Inkubator Kreativitas dan Penjaga Warisan Musik

Selain menjadi referensi dan inspirasi bermusik, gerakan mendokumentasikan perjalanan musik di Jogja ini menjadi hal penting.

Cherrypop 2024: Inkubator Kreativitas dan Penjaga Warisan Musik
Suasana di Cherry Stage. tirto.id/Dina T Wijaya

tirto.id - Malam itu, Lapangan Panahan Kenari di Yogyakarta dipenuhi oleh ribuan manusia yang menyatu dalam riuh rendah musik dan gemerlap cahaya panggung. Cherrypop yang ketiga kalinya baru saja dimulai, dan festival ini tampak lebih hidup dari tahun-tahun sebelumnya. Dengan tema “Selamet Bermusik” Cherrypop tahun ini tak hanya menjadi ajang perayaan musik, tapi juga menjadi inkubator kreativitas dan kolaborasi para musisi, seniman, dan penikmatnya.

Jauh dari kerumunan, dari lapangan parkir sudah terdengar suara-suara euforia konser. Festival hari itu seperti jantung yang berdenyut di tengah-tengah skena musik Yogyakarta. Di panggung utama Cherry Stage, FSTVLST dengan penuh semangat membawakan lagu-lagu dari album legendaris mereka, Hits Kitsch. Setiap nada dan lirik mengalir dengan begitu familiar di telinga penonton, seolah-olah mereka sedang menghidupkan kembali memori sepuluh tahun yang lalu, saat album ini pertama kali dirilis. Di tengah kerumunan, mengamati mereka menyanyi, menari dan saling bercengkerama, membuat saya berkata dalam hati bahwa ternyata ini bukan hanya sekadar konser, tapi sebuah carousel waktu ke masa lalu.

Sementara itu, di sudut lain festival, ada sebuah area yang ramai dikunjungi, yaitu stand Rekam Skena. Saya tertarik masuk. Di sini, arsip-arsip bersejarah tentang perjalanan musik Yogyakarta dipamerkan. Karya-karya visual, foto, hingga teks dari berbagai era, tersusun rapi sebagai penghormatan terhadap warisan musik lokal.

Rekam Skena menarik perhatian para penikmat musik yang ingin mengeksplorasi lebih dalam sejarah dan perkembangan musik lokal Yogyakarta dan daerah lain. Bagi mereka yang mungkin tidak pernah mengalami langsung era awal kebangkitan musik independen di Yogyakarta seperti saya, stand ini menjadi jendela yang membuka pandangan terhadap perjalanan panjang skena musik.

Saya bertemu Dimas Toti, salah satu penonton yang datang bersama teman-temannya dari Madiun. Dimas nampak mengamati pameran arsip yang digelar di dalam Rekam Skena. Ia sengaja datang untuk mengincar penampilan The Jeblogs di hari pertama, dan The Adams di hari kedua. Menurutnya, selain menjadi referensi dan inspirasi bermusik, gerakan mendokumentasikan perjalanan musik di Jogja ini menjadi hal penting.

“Aku dari kota kecil jadi punya referensi-referensi band buat didengerin, dan bisa jadi inspirasi buat bermusik,” tuturnya saat saya temui di tengah-tengah penampilan Risky Summerbee & The Honeythief di panggung Cherry Stage.

Pada waktu yang sama, di panggung Nanaba Stage, ada band lawas ERWE. Mereka membawa nuansa segar sekaligus nostalgia. ERWE, yang telah memutuskan untuk bubar setelah merilis album terakhirnya, tampil reuni di Cherrypop. Penampilan mereka seakan menjadi penutup manis bagi perjalanan band ini.

Cherrypop 2024

Suasana di Record Store. tirto.id/Dina T Wijaya

Pameran Rekam Skena yang menggandeng Pehagengsi kali ini, juga mengadakan sesi diskusi terkait pendokumentasian musik. Rifqi Mansur Maya, project director Pehagengsi mengatakan bahwa pengarsipan menjadi program yang penting. Selain merekam skena musik Jogja, Rekam Skena di 2023 juga membuat film di empat kota satelit, Banyumas, Banjarnegara, Purwokerto, Purbalingga dan Cilacap.

“Ini adalah sebuah ikhtiar untuk mendokumentasikan kultur musik di sebuah kota pada periode tertentu,” kata Rifqi saat diwawancarai di luar festival.

Dalam Rekam Skena pertama pada 2022 itu, Cherrypop bersama Anggun Priambodo dan Alvin Yunanta itu mengarsipkan kultur musik yang ada di Jogja melalui lima film. Masing-masing dikategorikan berdasarkan genre. Dengan gerakan semacam ini, Rifqi juga berharap publik mulai sadar untuk mendokumentasikan setiap momen penting sebagai sebuah arsip yang berguna di masa depan.

“Harapan kami, buat teman-teman yang sempat datang ke pamerannya atau mengikuti aktivasi talkshow-nya, kami harap teman-teman jangan mengandalkan program Rekam Skena untuk membuat dokumentasi arsip kelompok atau skena kalian sendiri,” kata dia.

Medium Obrolan antar Generasi

Di tengah penampilan The Sigit, saya melipir ke Record Store yang dipadati para penikmat musik yang antusias berburu koleksi terbaru atau kenang-kenangan dari musisi favorit mereka. Suasana hangat dan akrab terasa di seluruh area. Di sudut tertentu, musisi-musisi lokal berbagi cerita dalam sesi diskusi, sementara di sisi lain, beberapa dari mereka sedang menandatangani vinyl yang dibawa oleh para penggemar.

Saya berjalan di antara keramaian, tertarik untuk melihat-lihat di stand CD yang menampilkan berbagai macam genre dan artis, mulai dari musisi lokal hingga internasional. Ketika sedang membolak-balik tumpukan CD, perhatian saya tertuju pada seorang ibu dan anak laki-lakinya yang sedang asyik berdiskusi di samping saya. Sepintas saya mendengar mereka tampak antusias membicarakan lagu-lagu lawas macam Chrisye.

Mendengar percakapan mereka, saya tertarik untuk mengenal lebih jauh. Saya memperkenalkan diri dan mengobrol dengan mereka. Ibu itu, yang bernama Ayu Mitha Radila, menceritakan bagaimana musik menjadi salah satu jembatan penghubung antara dirinya dan putranya, Kelana Semesta.

Percakapan saya dengan Ayu dan Lana berlanjut tentang bagaimana musik bisa menjadi penghubung antara generasi. “Laguku juga lagunya dia, lagu dia juga laguku, jadi ada obrolan antar generasi. Musik jadi media obrolan antar generasi karena bahasanya kan sangat universal,” kata Ayu.

Lana, yang saat itu berusia 11 tahun, bercerita bahwa dia datang ke Cherrypop ingin menonton Sajama Cut. Anak itu membeli satu CD Linkin Park dan Bon Jovi. Ia juga memamerkan kaos bertanda-tangan para member Sajama Cut, musisi favoritnya. Momen itu menjadi kenangan yang akan ia bawa pulang ke rumahnya di Solo.

Setelah obrolan kami selesai, saya pamit untuk melanjutkan penelusuran di Cherry Store. Namun, percakapan singkat dengan Ayu dan Lana meninggalkan kesan mendalam.

Di tengah-tengah hiruk-pikuk festival yang merayakan musik, saya melihat bagaimana musik bisa menjadi jembatan yang kuat, menghubungkan dua generasi, dan menghadirkan kenangan yang tak ternilai harganya. Cherrypop memang lebih dari sekadar festival; ia adalah ruang di mana musik menjadi medium untuk saling memahami, mengenal, dan berbagi antara generasi.

“Aku sebenernya agak penasaran ketika festival itu menawarkan talent-talent baru daripada reunion. Karena talent baru ini loh yang mungkin cukup sulit untuk mencari panggung,” tutur Ayu.

Cherrypop 2024

Ayu dan anaknya Lana bersama Sajama Cut. tirto.id/Dina T Wijaya

Ruang bagi Musisi dan Seniman Pendatang

Malam terus berlanjut, dan Cherrypop 2024 semakin meriah. Langit Yogyakarta malam itu diterangi bulan, namun perhatian ribuan orang tertuju pada satu titik terang di atas panggung. Saya berjalan dari satu stage ke stage lain. Di tengah, panggung Gigs Stage dipenuhi penampilan musisi lokal dan pendatang, penonton melompat-lompat, seolah melupakan segala beban hidup untuk sejenak. Di sinilah Cherrypop menemukan esensinya–bukan hanya sebagai festival musik, tapi sebagai penjaga budaya, penggerak komunitas, dan inkubator bagi insan kreatif yang terus berkembang.

Cherrypop merangkul semua lapisan pecinta musik, dari musisi kawakan hingga band-band baru yang tengah merangkak menuju puncak. Saat saya melangkah ke area festival, saya teringat suasana temu media yang diadakan beberapa hari sebelumnya di Planet Surf Store, Pakuwon Yogyakarta. Arsita Pinandita, sang Founder dan Creative Director Cherrypop, menyebut Cherrypop sebagai lebih dari sekadar festival, melainkan sebagai sebuah perayaan, tempat di mana kreativitas bertemu dengan kolaborasi, menghasilkan karya yang akan dikenang sepanjang masa.

Festival ini jadi ruang bagi musisi-musisi muda untuk unjuk gigi melalui program Band Submission, yang bekerjasama dengan Pophariini. Tiga band terpilih yakni Marie Joe, Tama Yuri, dan Sychowayne mendapatkan kesempatan untuk tampil di panggung yang sama dengan musisi-musisi yang sudah lebih dulu dikenal. Program ini menjadi bukti nyata bagaimana Cherrypop berperan sebagai inkubator bagi bakat-bakat baru di dunia musik, memberikan mereka platform untuk tumbuh dan berkembang.

“Pertama datang sangat terpukau, ternyata bisa ya kayak gini, di-blend semua genre. Yang tampil di situ kan gak cuma genre-genre yang dinikmati, tapi ada band yang segmented, kayak misal Seringai atau Sukatani,” komentar Surya Puja, salah satu pengunjung yang saya temui usai acara.

Selain menyoroti sisi penampilan para musisi, Surya mengapresiasi karakter visual yang jadi ikon di festival ini. Visual festival tahun ini digarap Dwiky KA, seorang ilustrator dari skena bawah tanah Surabaya-Yogyakarta. Karya-karyanya menggabungkan elemen ‘dark’ dengan humor dan warna-warna cerah, menjadi identitas visual Cherrypop 2024. Di samping menjadi momen merayakan perjalanan skena musik, Surya menilai Cherrypop juga secara tak langsung menjadi ruang apresiasi karya estetika visual yang membentuk identitas festival musik. Ia juga berharap, tahun depan Cherrypop bisa menggaet seniman visual yang belum banyak terwadahi karyanya, sehingga ada kolaborasi.

“Harapannya tetap out of the box kayak kemarin, kalau bisa lebih-lebih. Kayak menggaet visual artist yang di luar radar mereka. Biar jadi ruang buat seniman, kalau bisa lebih dikolaborasikan dengan artist lain. Aku harap lebih banyak aja sih, biar ada dialektika seninya di situ,” imbuh Surya Puja.

Cherrypop juga menghadirkan berbagai program baru, seperti Collective Corner, tempat bertemunya para pegiat musik dari berbagai kota untuk berbagi ilmu dan membangun jaringan. Ada juga program Live Sablonase, di mana pengunjung bisa mencetak sablon langsung di tempat dengan desain eksklusif dari band-band yang tampil. Program lainnya seperti Cherry Market dan Cherryshop menyediakan ruang bagi pengunjung untuk menikmati makanan dan minuman khas, serta membeli merchandise resmi dari band-band favorit mereka.

Malam semakin larut, dan saya menyaksikan The Adams menutup festival dengan penuh semangat. Penampilan mereka yang enerjik menjadi penutup yang sempurna untuk dua hari penuh musik, kolaborasi, dan nostalgia. Di tengah gemerlap cahaya dan suara musik, saya merasakan bahwa Cherrypop bukan hanya tentang konser atau hiburan semata. Festival ini adalah sebuah perayaan yang menghargai masa lalu, mendukung masa kini, dan mempersiapkan masa depan skena musik lokal.

Bagi saya, dan mungkin bagi ribuan orang lainnya, Cherrypop menciptakan pengalaman yang akan dikenang seumur hidup.

Baca juga artikel terkait KONSER MUSIK atau tulisan lainnya dari Dina T Wijaya

tirto.id - Musik
Kontributor: Dina T Wijaya
Penulis: Dina T Wijaya
Editor: Abdul Aziz