tirto.id - Mantan Anggota DPR RI Chairuman Harahap mengaku pernah bertemu dengan tersangka korupsi proyek KTP elektronik Andi Narogong. Ia membenarkan pernah bertemu dengan Andi di DPR.
"Oh iya pernah bertemu," ujar Chairuman saat meninggalkan gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Jumat (28/7/2017).
Ia pun membenarkan kalau pernah bertemu tersangka korupsi e-KTP itu di DPR. Sayangnya, Chairuman tidak merinci pembicaraan antara dirinya dengan Andi Narogong waktu itu.
Chairuman mengatakan, pemeriksaan sesi pertama membahas proses penganggaran proyek e-KTP. Ia menegaskan, proses pembahasan anggaran e-KTP berjalan lancar dan dibahas di Komisi. Ia pun tidak mengetahui maksud dari perkataan pengawalan yang dimaksud.
"Saya nggak tau tuh mengawal gimana," kata politikus Golkar itu.
Chairuman menerangkan, dirinya dikonfirmasi tentang pembahasan anggaran proyek e-KTP. Ia mengaku memberikan keterangan selayaknya pemeriksaan saat dirinya diminta sebagai saksi Irman dan Sugiharto. Mantan Ketua Komisi II itu membawa sejumlah dokumen dan risalah sidang sebagai bahan Chairuman memberikan keterangan kepada penyidik KPK.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa mantan Anggota DPR 2009-2014 Chairuman Harahap, Jumat (28/7/2017). Mantan Ketua Komisi II DPR RI itu diagendakan diperiksa sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi e-KTP sebagai saksi tersangka suap proyek e-KTP Setya Novanto.
"Diperiksa sebagai saksi untuk tersangka SN," kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Jumat (28/7/2017).
Febri mengatakan, pemeriksaan akan mengeksplorasi lebih lanjut tentang fakta-fakta dalam persidangan terpidana Irman dan Sugiharto. Sayang, ia enggan merinci tentang materi yang didalami dalam pemeriksaan Chairuman. KPK pun tidak memeriksa saksi lain selain memeriksa politikus Partai Golkar itu.
Seperti diketahui, mantan Ketua Komisi II DPR Chairuman Harahap tidak asing dalam kasus korupsi KTP elektronik. Ia diduga ikut menerima aliran dana sebesar 584 ribu dolar AS dan Rp26 miliar sebagaimana disebutkan dalam dakwaan kasus korupsi proyek pengadaan KTP-E.
Namun, Chairuman membantah tudingan tersebut dalam persidangan korupsi KTP elektronik dengan terdakwa mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman dan mantan pejabat pelaksana komitmen proyek KTP elektronik Sugiharto.
"Saya tidak menerima sebesar itu Yang Mulia," kata Chairuman saat memberikan keterangan sebagai saksi kasus proyek KTP-E di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (16/3/2017).
"Jadi berapa?" cecar Majelis hakim yang diketuai John Halasan.
Namun politisi Partai Golkar ini tetap membantah menerima aliran dana e-KTP. Ia juga mengaku tidak mengetahui perihal adanya bagi-bagi uang ke anggota Komisi II.
"Agustus 2012 dikatakan saya menerima itu dari Miryam dari Kemendagri, Agustus 2012 itu saya tidak lagi di Komisi II Pak, saya pindah ke Komisi VI," ungkap Chairuman.
Selain itu, Chairuman diduga ikut berperan dalam pengaturan proyek e-KTP. Bahkan, politikus Golkar itu sempat menanyakan uang kepada terdakwa Irman.
"Pak Chairuman tanya, 'Pak Irman, ini kawan-kawan mau reses, bagaimana?'" Kata Irman kepada majelis hakim.
Selanjutnya, Irman mengatakan bahwa ia tidak mengurusi soal bagi-bagi uang. Irman kemudian meminta agar Chairuman menghubungi pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong.
Dalam kasus e-KTP, KPK sudah menetapkan 5 tersangka. Keempat orang itu adalah mantan Dirjen Dukcapil Kemendagri Irman, mantan pejabat pelaksana komitmen proyek e-KTP Sugiharto, pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong, Ketua DPR RI Setya Novanto, dan politikus Partai Golkar Markus Nari.
Saat ini, KPK sudah memvonis dua tersangka, yakni Irman dan Sugiharto. Irman dan Sugiharto masing-masing divonis 7 tahun dan 5 tahun penjara. Keduanya juga didenda masing-masing Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan dan denda Rp400 juta subsider 6 bulan kurungan.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan Irman dan Sugiharto terbukti bersalah melanggar Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Keduanya terbukti memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi sehingga menyebabkan negara rugi Rp2,3 triliun.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Yuliana Ratnasari