Menuju konten utama

Cerita Warga Pekanbaru yang Terpaksa Berdamai dengan Asap Karhutla

Orang-orang kecil di Pekanbaru, Riau, tidak punya banyak pilihan saat menghadapi asap dari karhutla.

Cerita Warga Pekanbaru yang Terpaksa Berdamai dengan Asap Karhutla
Pekanbaru hingga kini masih diselumuti kabut asap yang sudah berlangsung selama dua bulan terakhir. Tirto.id/Rizky Ramadhan

tirto.id - Jam dinding Ahad (22/9/2019) kemarin sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Di Jakarta atau kota-kota besar lain di Pulau Jawa, pada jam tersebut, biasanya ada saja pengendara motor atau pejalan kaki yang mengeluh kepanasan. Tapi tidak di Pekanbaru, Riau. Di salah satu sentra ekonomi terbesar di Sumatera itu, matahari tidak tampak. Jarak pandang hanya 500an meter, tertutupi lapisan kelabu.

Pekanbaru masih diselimuti kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sejak dua bulan terakhir.

Indeks partikulat (PM10) cukup fluktuatif namun tetap berada di tingkat bahaya: dari paling rendah 369 mikrogram per meter kubik hingga paling tinggi 528 mikrogram per meter kubik. Berdasarkan data BMKG Pekanbaru, per Senin (23/9/2019) pagi, di Riau ada 256 titik panas, salah satu yang terbanyak di seantero Pulau sumatera.

Gubernur Syamsuar bahkan menetapkan Riau sebagai kota darurat pencemaran udara. Masa darurat berlaku mulai 23 September hingga 31 September 2019.

Dampaknya, sekolah dan kampus terpaksa diliburkan, mahasiswa berbondong-bondong memprotes pemerintah yang dianggap tidak becus menanggulangi asap, penerbangan dari dan ke Pekanbaru juga terganggu. Bahkan, barangkali efek paling parah, lebih dari 1.500 warga terkena ISPA.

Di salah satu sudut Universitas Riau, Hanif (26) tengah duduk sambil menonton tayangan berita dari gawai. Sayup-sayup terdengar dari gawainya seorang pembawa berita menginformasikan kerusuhan di Papua beberapa hari lalu. Hanif tengah menanti pesanan masuk. Ia yang sehari-hari bekerja sebagai pengemudi ojek online tetap bekerja seperti biasa.

"Hari ini pekat banget [asapnya] bang," kata Hanif kepada saya.

"Iya, kalau indeks BMKG hari ini sekitar lima ratusan," saya menimpali.

"Sama aja kayak kemarin kondisinya.”

Hanif lalu kembali memperhatikan gawainya sambil memperbaiki letak buff—masker yang terbuat dari kain—yang dipakai untuk menutupi hidung. Buff jadi tameng Hanif untuk menghadapi kabut ketika bekerja.

Di jalan-jalan, masyarakat menggunakan penutup hidung bervariasi, mulai dari masker biasa, N95, masker dengan filter yang biasa digunakan seniman mural, atau hanya buff seperti yang dipakai Hanif. Tapi ada pula warga yang tidak pakai pelindung apa pun meski itu sangat disarankan dokter.

Ponsel Hanif lantas berdering, tanda pesanan masuk. Di seberang sana, samar terdengar suara orang menunjukkan alamat.

"Ada pesan masuk. Saya duluan, ya, bang.”

Ia lalu mengenakan jaket, menghidupkan motor, lalu pergi.

Hanif adalah satu dari sekian banyak orang yang masih beraktivitas kendati indeks pencemaran udara ada di level bahaya. Sepanjang jalan HR. Soebrantas dan jalan jalan lainnya di Pekanbaru, masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari berjualan tetap menjajakan barang dagangannya.

Bengkel motor, kedai sarapan, rumah makan, pedagang jajanan, tukang tambal ban, dan pasar tetap buka seperti hari-hari biasa.

Sekitar delapan kilometer dari Hanif, tepatnya di Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Darwis tengah menyiram bibit sawit milik bosnya. Pria 54 tahun ini bertugas menyiram bibit sawit yang jumlahnya sekitar sepuluh ribu saban pagi. Dia bekerja tanpa alas kaki dan penutup hidung.

"Biasanya saya pakai masker, tapi hari ini tidak."

Tak ada yang berubah dari jam kerja Darwis meski kualitas udara kian buruk. Setelah menyiram, siang hari dia akan membersihkan semak di sekitar tempat pembibitan, dan sore bekerja apa pun untuk dapat uang sampingan.

"Satu hari saya hanya nyiram sekali, sebenarnya sih lebih bagus kalau lebih dari sekali. Tapi karena bibitnya banyak dan kaki saya sakit, jadi cuma seginilah bisanya," jelas Darwis sambil memberi lihat luka kakinya. Luka bekas kecelakaan yang membuat ia tak bisa berdiri lama.

Tenggorokan Darwis sakit, hidung dan mata perih, bahkan sejak semalam ia kena pilek. Meski begitu ia tetap bekerja. Dia juga belum berniat memeriksakan kondisi kesehatannya ke puskesmas.

"Kalau asap begini, orang tua macam saya enggak apa-apa lah, masih kuat. Kecuali kalau yang kena anak-anak, harus langsung periksa."

Ia bersyukur anaknya yang masih berusia empat tahun tidak terkena dampak asap. Ia kadang sedih kalau lihat di berita ada anak-anak yang menderita karena asap. Seorang bayi berusia tiga hari bahkan meninggal dunia diduga karena terpapar asap. Sebelum dilarikan ke bidan, bayu pasangan Evan dan Lismayani itu mengalami sesak napas, batuk, dan deman.

Oleh karena itu Darwis selalu berusaha agar anaknya tetap sehat, dengan memastikan dia selalu mengenakan masker.

Tapi itu tidak cukup. Rumah Darwis terbuat dari papan, dan karenanya masih bisa dimasuki asap. Darwis sebenarnya ingin membawa anaknya mengungsi ke posko yang disediakan pemerintah atau LSM. Dia tahu di sana ada pembersih udara. Namun karena kendala jarak, rencana itu belum terealisasi.

Darwis dan Hanif hanya contoh kecil dari orang-orang kecil yang tidak punya pilihan selain menerima keadaan; tetap beraktivitas di tengah kepungan asap. Seperti kata Darwis, "kalau enggak kerja, dapat makan dari mana?"

Baca juga artikel terkait KARHUTLA atau tulisan lainnya dari Rizky Ramadhan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Rizky Ramadhan
Penulis: Rizky Ramadhan
Editor: Rio Apinino