tirto.id - Pada 1997 Indonesia dilanda fenomena El Nino. Kemarau datang lebih cepat pada Maret dan diprediksi akan mencapai puncaknya pada bulan September. Pemerintah lambat mengantisipasi. Sejak awal kemarau, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sudah merebak dan kian tak terkendali.
Dalam sebuah jumpa pers pada Selasa (5/8/1997), Mahdi Kartasasmita selaku Deputi Ketua Bidang Pengindraan Jarak Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mengumumkan, bahwa terdapat lebih dari 600 titik karhutla di Sumatra, Kalimantan, dan Jawa. Angka itu adalah jumlah kumulatif sejak Maret hingga awal Agustus, hasil pantauan satelit National Oceanic Atmospheric Administration (NOAA) milik Amerika Serikat yang diterima Lapan di Stasiun Bumi Satelit Lingkungan dan Cuaca, Pekayon.
Ratusan titik karhutla itu mengelompok dalam 21 area di Kalimantan dan 25 area di Sumatra. Lebih detail data itu menunjukkan bahwa Riau adalah wilayah yang mengalami karhutla paling parah. Sementara di Kalimantan, titik karhutla paling banyak terpantau di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Barat.
“Merebaknya kebakaran hutan yang terlihat sebagai titik panas (hot spot) itu, sejalan dengan terjadinya kekeringan atau kelangkaan hujan, yang kini merata hampir di seluruh wilayah,” tulis harian Kompas (6/8/1997).
Kompas juga melaporkan bahwa saat itu Menteri Pertanian Sjarifudin Baharsjah mengedarkan maklumat kepada perusahaan perkebunan yang beroperasi di Indonesia, untuk tidak membuka lahan dengan cara dibakar. Mereka yang lalai akan dikenakan tindakan sesuai ketentuan yang berlaku.
"Apabila pengusaha tidak mengetahui cara pembukaan lahan tanpa dibakar, dapat menghubungi Dinas Perkebunan atau instansi terkait lain," kata Sjarifudin sebagaimana dikutip Kompas.
Maklumat itu terlambat keluar. Bagaimana tidak, hingga pertengahan Agustus karhutla telah menghanguskan area seluas 16.000 hektare. Kabut asap kian pekat dan mulai mengganggu aktivitas warga.
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) Sumatra Utara mencatat terdapat penurunan jarak pandang akibat kabut asap sejak awal Agustus. Pada tanggal 1 dan 2 Agustus, BMG mencatat jarak pandang masih berkisar antara 800 hingga 1.500 meter. Namun, pada 3 hingga 5 Agustus jarak pandang menurun drastis hingga hanya 300 meter. Di Pekanbaru, Riau, malah lebih parah karena jarak pandang hanya berkisar 100 sampai 300 meter.
Sejauh itu, pemerintah masih belum merasa waswas. Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja bahkan menganggap karhutla yang terjadi sejauh itu tergolong ringan. Anggapan itu terbit dari perbandingan karhutla yang terjadi pada 1982 dan 1994. Secara urut, kala itu karhutla merusak area hutan seluas 3 juta hektare dan 161.000 hektare.
Meski begitu, ia tetap meminta semua pihak waspada. Pasalnya, menurut analisis dari NOAA, kualitas musim kemarau dan anomali cuaca di Asia Tenggara tahun 1997 adalah yang terparah dalam 50 tahun terakhir. Hasil pengindraan jarak jauh pun menunjukkan pertambahan titik kebakaran baru setiap hari di Kalimantan.
"Kebakaran hutan dan di lahan gambut Kalimantan pun ada kemungkinan meluas," katanya seperti dilansir Kompas (27/8/1997).
Anomali Musim Hujan dan Kelengahan Pemerintah
Sejumlah data tentang karhutla tak membuat pemerintah meningkatkan kewaspadaan dan sigap menanggulangi, yang terjadi justru sebaliknya. Selama berbulan-bulan, kabut asap memendekkan jarak pandang dan membekap warga di sejumlah kota. Warga yang ke mana-mana memakai masker menjadi gambar yang sangat lazim di televisi dan media massa Indonesia.
Karhutla di Sumatra yang sempat menurun lajunya, menghebat lagi sejak September hingga Desember. Setidaknya 102.431,36 hektare hutan dan lahan rusak dilalap api. Pada akhir tahun 1997, predikat Riau sebagai wilayah dengan kerusakan terparah digeser oleh Sumatra Selatan.
“Hutan dan lahan yang paling luas terbakar terjadi di Sumatera Selatan yakni 39.647,99 ha, Riau 26.037,02 ha, disusul Lampung 23.157,15 ha, dan Jambi 10.993,70 ha. Kebakaran hutan maupun lahan di propinsi lain di Sumatera seperti di Sumut, Aceh, Sumbar, dan Bengkulu, di bawah 800 ha,” tulis harian Kompas (20/1/1998).
Pada pergantian tahun, total area hutan yang rusak akibat kebakatan di seluruh Indonesia seluas 263.992 hektare. Itu mencakup hutan tanaman industri (HTI), hutan sekunder, dan padang alang-alang di 25 provinsi.
Karhutla di tahun krisis jelang lengsernya Soeharto itu sempat terhenti dengan datangnya musim penghujan. Namun, hal itu berlangsung singkat dan tak merata. Sebagai contoh, ketika di Sumatra hujan, Kalimantan justru masih dilanda kekeringan. Anomali ini luput dari pantauan pemerintah.
Tentang ini harian Kompas (23/7/2001) melaporkan, “Mengetahui bahwa hujan telah jatuh di provinsi lain, masyarakat Kaltim mulai membakar lahan untuk berbagai aktivitas, tanpa menyadari bahwa El Nino di daerah mereka belum berakhir.”
Hal ini membuat Kalimantan Timur menjadi provinsi yang mengalami kerusakan paling parah pada 1998 di antara provinsi lainnya seperti Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Riau, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, dan Maluku. Total kerusakan di sejumlah provinsi itu diperkirakan 520.000 hektare.
Menurut data yang dihimpun Kompas (18/5/1998), karhutla telah menghanguskan sekitar 507.239,50 hektare hutan dan 10.758,50 hektare lahan atau kebun masyarakat di Kalimantan Timur. Laju kebakaran hutan baru benar-benar turun kala hujan turun merata medio Mei 1998.
Korporasi Bebal dan Khotbah Moeldoko
Luca Tacconi dalam Kebakaran Hutan di Indonesia: penyebab, biaya, dan implikasi kebijakan (PDF) menyebut bahwa El Nino pada 1997-1998 merupakan salah satu bencana terburuk dalam sejarah. Fenomena alam ini memicu karhutla dan berandil merusak sekitar 25 juta hektare hutan di seluruh dunia, dan Indonesia adalah yang terparah.
Dari perhitungan Bappenas dan Asia Development Bank yang dikutip Tacconi, total luas wilayah yang rusak di Indonesia akibat karhutla mencapai 9,75 juta hektare. Sedangkan total kerugian finansial yang ditanggung Indonesia hingga Februari 1998, seturut laporan Kompas (30/5/1998), mencapai 4,4 miliar dolar AS atau setara dengan 44 triliun rupiah.
Meski demikian, studi Tacconi menerangkan bahwa El Nino bukan penyebab tunggal bencana karhutla di Indonesia. Namun, karena akar masalah yang nyaris tak tersentuh dan tak beres dipahami membuat kebijakan menjadi rancu.
“Berbagai usulan kebijakan yang diajukan, kadang tidak didasari analisis biaya dan manfaat tindakan spesifik yang diambil untuk menyelesaikan masalah dan penyebabnya,” tulis Tacconi.
Kekeringan yang panjang memang menyulitkan proses pemadaman, tapi faktor dominan yang membuat bencana ini lambat tertangani adalah manusianya. Indonesia sampai saat itu belum memiliki sistem peringatan dini ataupun sistem penanggulangan karhutla.
"Indikasi kebakaran sudah sejak April, tapi informasi baru muncul pertengahan Agustus lalu. Semua tergopoh-gopoh, bahkan Sarwono bekerja sendiri, inisiatif sendiri, bahkan yang saya dengar pakai uang sendiri," kata Joko Waluyo, Koordinator Program Kehutanan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sebagaimana dikutip Kompas (17/10/1997).
Kondisi ini kian runyam gara-gara sejumlah korporasi perkebunan bebal dengan melakukan pembakaran untuk membuka lahan. Pemerintah Kabupaten Musibanyuasin, Sumatra Selatan, misalnya, berhasil menangkap dua perusahaan culas yang sengaja melakukan pembakaran untuk membuka lahan baru. Akibatnya, sekitar 50 hektare perkebunan warga ikut terbakar.
Sementara harian Kompas (1/11/1997) melaporkan, Polri berhasil membekuk 48 tersangka pembakaran hutan di beberapa wilayah Indonesia. Secara terperinci, jumlah itu meliputi 24 perorangan, 23 perusahaan dalam negeri, dan 1 perusahaan asing.
Kini bencana karhutla besar kembali melanda Sumatra dan Kalimantan. BMKG pada Selasa (17/9/2019) pukul 12.00 WIB melaporkan asap menyelimuti wilayah luas di Riau, Jambi, Sumatera Utara, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Bahkan, telah mencapai Malaysia dan Singapura.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungab Hidup dan Kehutanan, Luas karhutla di Indonesia selama 2019 sudah mencapai 328.722 hektare. Dari data itu, kebakaran di Kalimantan Tengah tercatat seluas 44.769 hektare, Kalbar (25.900 ha), Kalsel (19.490 ha), Sumsel (11.826 ha), Jambi (11.022 ha) dan Riau (49.266 ha).
Sementara menurut data yang dilansir situs iku.menlhk.go.id secara harian, pada 16 September 2019 per pukul 15.00 WIB, Indeks Standar Pencemar Pencemar Udara (ISPU) di Palangkaraya (Kalimantan Tengah) mencapai angka 500. Artinya, kualitas udara di Palangkaraya berada pada level berbahaya bagi semua populasi yang terpapar pada waktu tersebut.
Sekian tahun berlalu, penyebab bencana karhutla 2019 ternyata masih sama dengan bencana 1997-1998. Setelah meninjau kebakaran hutan dan lahan di Riau lewat helikopter bersama Kepala BNPB dan Panglima TNI pada Minggu (15/9/2019), Kapolri Jenderal Tito Karnavian tidak melihat lahan sawit dan tanaman industri ikut terbakar. Kalaupun ada, hanya di pinggir.
"Ini menunjukkan adanya praktik 'land clearing' dengan [cara] mudah dan murah memanfaatkan musim kemarau," ujar Tito dalam siaran pers BNPB.
Hingga 16 September 2019, polisi telah menetapkan 185 tersangka perseorangan dalam kasus karhutla. Namun, baru 4 korporasi menjadi tersangka terkait kasus karhutla di Riau, Kalbar dan Kalteng.
Fakta-fakta ini menunjukkan tak banyak kemajuan berarti dalam hal penanggulangan karhutla sejak bencana besar 1997-1998. Pemerintah tetap gagap dan baru sungguh-sungguh bergerak ketika bencana sudah membesar dan meluas.
Ironisnya, saat pemerintah minim solusi dan warga kian tercekik asap, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko justru menyederhanakan karhutla sebagai musibah dari Tuhan. Ia berkhotbah meminta warga berhenti mengeluh, menjalani musibah dengan ikhlas, dan memperbanyak doa.
Editor: Irfan Teguh