Menuju konten utama

Industri Game Indonesia Terus Tumbuh

Industri game di Indonesia semakin maju. Tahun 2016 bahkan disebut sebagai puncaknya, sehingga omsetnya hampir mencapai $600 juta.

Industri Game Indonesia Terus Tumbuh
Game online Tebak Gambar. Tirto.ID/Andrey Gromico

tirto.id - Ekonomi kreatif kini telah menjadi sektor yang cukup membantu perekonomian negara. Data statistik ekonomi kreatif 2016 yang dikeluarkan oleh Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) dan BPS menunjukkan dalam periode 2010-2015, PDB ekonomi kreatif mengalami kenaikan dari Rp525,96 triliun menjadi Rp852,24 triliun atau meningkat rata-rata 10,14 persen per tahun.

Sempat tak masuk hitungan, kini industri game di Indonesia kian meningkat di Indonesia. Data Bekraf Game Prime 2016 menunjukkan industri game di Indonesia mengalami pertumbuhan. Nilai omset yang pada 2014 bernilai $180 juta meningkat pesat, sehingga pada 2016 hampir mencapai $600 juta.

Semakin banyak pengembang game di Indonesia menunjukkan tajinya. Sebut saja Agate Studio dan Toge Production yang terhimpun dalam Asosiasi Game Indonesia (AGI) yang hingga kini masih aktif membuat dan mengembangkan game. Google Play Store sendiri mengumumkan salah satu game paling populer di pasar Indonesia adalah Tahu Bulat produksi Own Games Indonesia. Tahu Bulat bahkan sukses masuk ke lima besar bersama dengan game-game populer lain seperti Clash of Clans dan Pokemon Go.

Setelah kesuksesan itu, Own Games Indonesia mengumumkan akan kembali merilis game berjudul Nasi Goreng The Game. Serupa dengan Tahu Bulat, Nasi Goreng juga merupakan game menyusun: pemain diharuskan mengumpulkan dan mengombinasikan resep yang nantinya akan dihidangkan.

Apakah ini pertanda positif bagi dunia game ponsel?

Menurut co-founder sekaligus desainer game Mojiken Studio, Eka Pramudita, industri pembuatan game di Indonesia sedang berkembang dan trennya positif dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Tahun 2016 adalah puncaknya: tingginya peningkatan jumlah produk game serta jumlah pengembang game yang muncul.

“Secara keseluruhan industri game, khususnya game buatan Indonesia semakin baik. Booming-nya pada 2016 kemarin ketika game Tahu Bulat menjadi viral,” kata Eka. Ia juga membandingkan fenomena game Tahu Bulat yang populer di Indonesia dengan Flappy Bird di Vietnam.

Selain itu, menurutnya berkat game Tahu Bulat, 2016 menjadi tahun meningkatnya pengembang game di Indonesia dan terbukanya wawasan masyarakat tentang industri game.

“[Pada] 2016 sangat terasa peningkatan pengembang game dan terbukanya wawasan mengenai game, bisa dibilang gara-gara Tahu Bulat,” kata Eka. “Selain itu, adanya success story juga merupakan alasan cepat berkembangnya industri game di Indonesia.”

Soal banyaknya studio game timbul tenggelam, Eka menyinggung masalah mentalitas para pembuat game di Indonesia.

“Awalnya mungkin banyak yang iseng membuat studio game, hingga kemudian merasa bahwa produksi game ternyata tak semudah atau seindah yang mereka pikirkan sebelumnya,” jelas Eka kepada Tirto. “Bisa dibilang industri pengembangan game di Indonesia masih berkembang[...] Kebanyakan berpikiran ketika kita membuat game, maka game pertama atau kedua langsung sukses.”

Studio game, menurutnya, juga cuma beberapa yang umurnya mencapai lima tahun. Salah satu sebabnya adalah para pengembang yang mematok standar tinggi, misalnya ingin membikin yang grafiknya berkualitas tinggi.

“Kebanyakan masih yang bepikiran kalau membuat game sewajarnya harus yang seperti Final Fantasy atau Call of Duty,” kata Eka.

Perkara Platform

Tak sedikit yang mempertanyakan kenapa pembuat game di Indonesia selalu terpaku pada platform mobile dan PC. Bagi pecinta game, bisa memainkan game dari negeri sendiri di konsol tentu sebuah kebanggaan. Untuk pembuat game, bisa membuat game untuk konsol adalah impian. Pada konsol seperti PlayStation, Xbox, atau Nintendo memerlukan syarat dan aturan yang rumit untuk dapat mengembangkan game-nya.

“Bukan gara-gara kitanya yang enggak mau. Justru itu impian kita untuk membuat game untuk konsol,” papar Eka. “Permasalahannya lebih ke development kit yang tidak mudah didapat.”

Eka mengutarakan, proses yang diperlukan untuk mengembangkan game konsol juga tidak sederhana. Perlu sertifikat yang diajukan ke perusahaan-perusahaan konsol seperti Sony, Nintendo, atau Microsoft. Tak hanya itu, menurutnya juga, setelah pengajuan sertifikat masih ada tahap seleksi yang menentukan bisa atau tidaknya pihak pengembang untuk mendapatkan development kit.

Development kit tersebut juga tidak diberikan secara cuma-cuma kepada para pengembang. Sony membanderol development kit-nya seharga $2.500 dengan syarat yang tertera pada situs resmi Sony ialah bukti entitas perusahaan, bukti pajak, IP statis yang nantinya digunakan untuk akses sistem pengembangan, serta secara fisik harus berada di Amerika Serikat, Meksiko, Amerika Tengah, Amerika Selatan, atau Kanada. Indonesia tak termasuk..

“Seperti Sony, Microsoft, Nintendo, ada beberapa negara yang memang enggak bisa untuk mengembangkan game untuk mereka, dan Indonesia masih termasuk negara yang belum bisa dipercaya oleh mereka,” kata Eka.

Ketika ditanya mengapa Indonesia masih belum masuk hitungan, ia menjawab, “Itu terkait kebijakan dari masing-masing produsen konsol, seperti Sony yang memiliki aturan mengharuskan pengembangnya berdasarkan tempat tinggal.”

Namun, ada satu studio pengembang game asal Indonesia yang berhasil menembus ranah konsol. Adalah Mintsphere yang mengembangkan game Fallen Legion untuk konsol PlayStation 4 dan PlayStation Vita. Eka mengutarakan bagaimana Mintsphere akhirnya bisa mengembangkan game untuk konsol sekaligus membuktikan bahwa tidak menutup kemungkinan pengembang game asal Indonesia bisa menembus ranah konsol.

“Kenapa Mintsphere bisa? Karena kebetulan mereka sudah dapat publisher, jadi yang mengurus dokumen sampai sertifikat itu pihak publisher-nya. Termasuk development kit yang dikirim langsung dari Amerika,” jelas Eka.

Mintsphere sendiri berhasil mengembangkan game RPG, Fallen Legion yang telah dirilis pada 2016 lalu. Mintsphare bekerjasama dengan dua publisher yang membantunya dalam mengembangkan game yang dirilis pada konsol PlayStation 4 dan PlayStation Vita, yakni Yummy Yummy Tummy dan Acttil.

Infografik Game Buatan Indonesia 2016

Hal-Hal Selain Produksi

Game tidak hanya soal bagaimana mengembangkan dan memproduksi. Banyak hal-hal lain pascaproduksi yang tidak kalah pentingnya. Seperti publikasi yang memiliki peranan vital. Tahu atau tidaknya masyarakat tentang kehadiran suatu game ditentukan dari publikasinya.

Melihat tren “Om Telolet Om” lalu, pengembang game seperti Agate Studio sukses dan laris memproduksi game memanfaatkan viralnya tren tersebut. Game-nya yang berjudul Juragan Terminal telah diunduh lebih dari 500.000 orang. Hal berbeda dialami Gambir Game Studio, meski sama-sama memanfaatkan tren, game Om Telolet Om yang mereka produksi hanya diunduh 10.000 sampai 50.000 pengguna Android.

Hal senada diutarakan co-founder sekaligus programmer Tahoe Games, Hermawan Andika. Menurutnya pengembang game di Indonesia bisa saja membuat game sudah memiliki skill yang mumpuni serta teruji dan bisa saja secara rutin membuat game, namun seringkali terkendala pada pemasaran.

“Terkadang kita bisa develop, bisa membuat produk yang berkualitas tapi kita terkendala pemasaran,” kata Hermawan kepada Tirto. ”Kebanyakan seperti itu, sudah jadi produknya, bagi mereka bagus dan bagi orang lain mungkin bagus, tapi orang lain itu enggak tahu, mungkin hanya orang-orang terdekatnya yang tahu.”

Mengatasi itu Hermawan menjelaskan perlunya menjalin relasi antar pembuat game atau antar studio game. Karena menurutnya hal-hal yang bersifat jaringan seperti itu yang nantinya akan membantu publikasi game setelah diluncurkan atau dirilis.

“Perbanyak relasi, ikut event-event untuk memperluas jaringan. Otomatis nantinya kalau kita membuat produk, mereka akan membantu dalam publikasi dan promosinya,” kata Hermawan.

Selain memperluas jaringan, Hermawan juga menekankan para pengembang game di Indonesia untuk terus mengeksplorasi hal-hal lain di luar kegiatan yang bersifat teknis atau produksi. Salah satu menurutnya adalah mencari peluang di internet.

“Setelah kita membuat produk, kemudian bisa dipublikasi di Steam Greenlight atau bisa juga mencari donasi melalui situs-situs crowdfunding seperti Kick Starter atau Indiegogo,” katanya.

Baca juga artikel terkait GAME atau tulisan lainnya dari Anggara Putera Utama

tirto.id - Hobi
Reporter: Anggara Putera Utama
Penulis: Anggara Putera Utama
Editor: Maulida Sri Handayani