Menuju konten utama

Catatan-Catatan Selama Seminggu Sidang Pemilu di MK

Sejumlah catatan terkait sidang pilpres di MK disampaikan para ahli. Salah satunya bicara soal kemungkinan kecil gugatan diterima.

Catatan-Catatan Selama Seminggu Sidang Pemilu di MK
Persidangan sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 di Makmakah Konstitusi kembali dibuka, Jakarta, Jumat (21/6/2019). Sidang tersebut mengagendakan pemeriksaan saksi dari pihak termohon, pasangan Joko Widodo-Ma'ruf Amin. tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden (PHPU-Presiden) telah diselenggarakan sepanjang seminggu terakhir. Dalam persidangan yang dimulai sejak 14 Juni lalu itu banyak hal yang diungkap dan diperdebatkan.

Apa yang terjadi dalam ruang sidang itu juga dibahas masyarakat. Potongan-potongan video sidang, terutama yang dianggap menarik, banyak beredar.

Pakar hukum tata negara, pengamat pemilu, hingga pemantau persidangan tak mau kalah. Di Cikini, Jakarta, Minggu (23/6/2019) kemarin, mereka memaparkan apa saja yang menarik selama persidangan berlangsung, plus catatan kritis terhadapnya.

Perkara Revisi

Salah satu yang dibahas adalah soal perbaikan gugatan dari tim hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uno pada tanggal 25 Mei. Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari, menilai semestinya MK tidak menerima itu, dengan berdasarkan pada Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) Nomor 5 tahun 2018, khususnya di pasal 3 ayat 2.

Di sana tertulis perbaikan permohonan hanya bisa dilakukan untuk DPR, DPD, dan DPRD, bukan untuk PHPU Pilpres.

“Artinya berdasarkan pasal pengecualian itu, dan lampiran itu, harusnya MK tegas tidak ada perbaikan permohonan. Ini soal ketegasan,” kata Feri.

Dalam sidang pertama, 14 Juni, revisi ini dipermasalahkan lagi oleh pihak terkait (tim hukum Joko Widodo-Ma'ruf Amin) dan termohon (Komisi Pemilihan Umum) setelah tim hukum Prabowo-Sandiaga membacakannya ulang. Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf, misalnya, mengatakan perkara dokumen mana yang dipakai penting agar jelas pula mana yang mesti dia dan tim tanggapi.

Hakim MK, Suhartoyo, menanggapi santai dengan bilang kalau perkara itu akan dibicarakan para hakim.

Diksi-Diksi Politis

Catatan lain disampaikan pengajar hukum tata negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera, Bivitri Susanti. Ia menilai sidang MK yang selama seminggu berjalan telah menjadi panggung politik terutama bagi kubu pemohon (Prabowo-Sandiaga).

“Begitu banyak yang diungkapkan di sidang itu sebenarnya adalah cara untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pada pendukung,” kata Bivitri.

Panggung politik terlihat saat pada saksi menyampaikan istilah-istilah yang kerap terdengar pada momen kampanye dulu. Beberapa contoh misalnya “KTP palsu”, “KK manipulatif”, hingga “NIK rekayasa”.

“Kita paham bahwa selama berbulan-bulan diksi-diksi tersebut digunakan kampanye, media sosial, secara konsisten,” katanya.

Pernyataan-pernyataan ini, bagi Bivitri, tidak tepat. Seorang saksi mestilah menyampaikan secara ringkas apa yang dia lihat, dengar, atau alami secara langsung, tanpa berupaya menafsirkannya. Diksi-diksi di atas termasuk hasil penafsiran, yang semestinya jadi ranah ahli.

“Mau bagaimanapun diksi-diksi itu tidak tepat untuk dinyatakan oleh seorang saksi,” tegas Bivitri.

Pembuktian Kurang Kuat

Bisa jadi poin ini yang paling penting. Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Veri Junaidi, menilai tim hukum Prabowo-Sandiaga, yang diketuai Bambang Widjojanto, tidak cukup kuat meyakini majelis hakim bahwa memang terjadi pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).

“Kalau membaca dalil permohonan, kalau membaca dari proses persidangan, saya tidak cukup yakin ada bukti yang kuat terjadinya pelanggaran TSM. Kalau pelanggaran TSM, dia harus dibuktikan secara berlapis,” kata Veri.

Salah satu dalil pemohon yang disebut membuktikan bahwa terjadi pelanggaran TSM adalah adanya aparat yang tidak netral. Bagi Veri, itu saja belum cukup selama tidak memengaruhi hasil akhir (selisih Jokowi-Prabowo mencapai 17 juta). Dalam sidang juga sulit melihat keterkaitan antara satu kasus dan kasus lain.

“Apakah ada ketersambungan antara satu kejadian dengan kejadian lain? Apakah ada ketersambungan antara dalil tidak netral TNI, Polri, Intelijen, dalil dukungan pejabat daerah, terkait persoalan-persoalan rekapitulasi? Karena ini semua soal sengketa hasil akhir,” katanya.

Feri Amsari juga menilai serupa. Dia bilang sejauh ini alat bukti yang dibawa tim hukum Prabowo-Sandiaga tidak bisa disebut kuat.

“Contoh, kalau dianggap ada peralihan suara, ternyata pemohon tak pernah menampilkan alat bukti, bahkan ada alat bukti yang kemudian ditarik dalam jumlah besar, 26 kontainer. Ini kan bermasalah. Saya lihat kegagalan pihak pemohon melakukan pembuktian, bukan tidak mungkin akan ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima [oleh hakim],” katanya.

Mulai hari ini (24/6/2019) hingga Kamis depan (27/6/2019), hakim MK akan menggelar rapat permusyarawatan hakim (RPH). Pada rapat inilah mereka akan berdiskusi untuk menentukan akan memutuskan apa.

Sementara sidang pembacaan putusan akan diselenggarakan sehari setelahnya (28/6/2019).

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Hukum
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino