tirto.id - Sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres 2019 di Mahkamah Konstitusi hanya menyisakan rapat permusyawaratan hakim (RPH). Pemohon, termohon, maupun pihak terkait hanya bisa pasrah dengan keputusan RPH yang akan dibacakan majelis hakim pada 28 Juni mendatang.
Salah satu anggota tim hukum pasangan calon nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Hendarsam Marantoko berkata, video sebanyak 80 rekaman yang telah diserahkan sebagai bukti menjadi pertimbangan. Ia berharap video tersebut dapat memengaruhi putusan hakim.
Video tersebut, kata Hendarsam, merupakan permintaan langsung dari Prabowo Subianto.
“Ini permintaan principal kami, Pak Prabowo [...] Iya harapan kami MK bisa memeriksa itu [bukti video yang diserahkan]” kata Hendarsam, di Jakarta, Sabtu (22/6/2019).
Hendarsam dan tim hukum 02 juga sudah memasrahkan diri ke majelis hakim terkait putusan sengketa Pilpres 2019 yang mereka perkarakan. Mereka pun mengakui pembuktian di Mahkamah Konstitusi memang sangat sulit.
Namun jika tidak berhasil, Hendarsam berharap hal itu menjadi catatan ke depan agar pembuktian melalui dokumen atau surat-surat pemilu tidak lagi menjadi utama.
“Masa 800 ribu lebih C1 itu kami buktikan satu-satu [...] sedangkan sampel saja tidak mewakili,” kata dia.
“Kalau kita selalu terkungkung dengan cara berpikir pembuktian seperti itu, enggak perlu ada sidang di MK karena enggak akan bisa terbukti pada tingkat pilpres,” kata Hendarsam menambahkan.
Pembuktian tidak konvensional yang dimaksud oleh Hendarsam merujuk kepada data hasil pemilihan suara yang diungkapkan ahli 02 Jaswar Koto dalam sidang MK.
Jaswar menyebut ada penggelembungan 22 juta suara untuk paslon 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin. Data itu berdasar analisis DPT siluman yang dia temukan.
Dia juga mengatakan bahwa situng seringkali salah menginput data. Padahal situng seringkali mengalami pembaharuan setiap 15 menit. Data situng juga tak dipakai untuk penghitungan suara berjenjang.
"Kalau kita bicara situng cuma untuk informasi publik, tapi indikasinya enggak begitu," kata Jaswar saat persidangan.
Hendarsam mengatakan pihak 02 juga tidak hanya memprotes situng, tapi juga penghitungan manual berjenjang. Namun, pembuktian ini tidak keluar dalam sidang.
Justru mereka menarik bukti nomor P-155 yang berisikan 17,5 juta daftar pemilih tetap yang menurut pihak 02 bermasalah. Hendarsam beralasan, masalah penghitungan suara berjenjang cukup dalam bentuk dokumen saja.
“Ini masalah fokus pembuktian kita ke mana saja,” kata dia.
Untuk masalah saksi, Hendarsam juga mengatakan pihaknya sudah berusaha menghadirkan saksi fakta yang sekiranya bisa membuktikan ketidaknetralan aparat yang dijadikan dasar mereka menuding kecurangan terstruktur, sistematis, dan masif.
Namun, mereka tidak bisa hadir karena masalah teknis. Terkait nama Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang tidak dihadirkan, pihak 02 khawatir dia memberikan keterangan palsu meski di bawah sumpah.
"Mana ada maling ngaku, kan?" kata Hendarsam retoris.
Ahli 01 yang dihadirkan dalam sidang MK, Heru Widodo menyatakan, pembuktian kejahatan TSM sebenarnya tidak begitu sulit sebelum UU Pemilu Nomor 7 tahun 2017 diberlakukan.
"Dibuktikan dengan tidak terlalu rumit, ada bukti rekaman, pertemuan, antar-kepala desa dan camat dengan partai pendukung," kata Heru dalam sidang yang digelar di MK, pada Jumat (21/6/2019).
Saat dikonfirmasi ulang, Heru menegaskan bahwa sebenarnya saksi seperti itu juga yang diperlukan pihak 02 menguatkan tuduhan mereka terkait ketidaknetralan kepala daerah. Bedanya, belum tentu pengakuan itu juga membuktikan kejahatan TSM.
“Harus dikaitkan dengan signifikan mempengaruhi hasil pemilihan suara,” kata Heru saat ditemui reporter Tirto, di Jakarta, Sabtu (22/6/2019).
Salah satu kesulitan lainnya, kata Heru, secara historis, sengketa TSM ini untuk urusan pilpres atau Pilkada memang belum pernah terbukti di persidangan MK. Karena itu, kemungkinan menang Prabowo memang tipis.
"Belum kita jumpai permohonan yang diajukan dengan pembaharuan Pemilukada yang dikabulkan atas pelanggaran TSM," kata dia.
Salah Sejak Awal
Menurut Heru, seharusnya tim hukum 02 sejak awal fokus kepada masalah perhitungan suara manual berjenjang. Mereka harus bisa membuktikan ada kecurangan di sebagian besar TPS yang kemudian di sejumlah tingkatan di atasnya.
Jika tidak, kata Heru, maka pelanggaran TSM sulit dibuktikan karena tingkatannya nasional.
“Mulai dari kecamatan, kabupaten, provinsi, bisa saja dari awal sudah siap, memang terjadi pelanggaran masif, terjadi di beberapa kabupaten, disampaikan ke Bawaslu kabupaten [...] Dihimpun dan disampaikan ke Mahkamah," kata dia menegaskan.
Namun sampai sekarang, kata Heru, tidak ada laporan seperti itu.
Sementara itu, Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi mengatakan memang seharusnya pembuktian dilakukan secara "kuat, otentik, dan berlapis."
"Begitu itu terbukti harus dicek lagi apa ada surat perintah struktur di bawahnya? [...] Apa itu ditindaklanjuti struktur di bawahnya?” kata Veri.
Menurut Veri, kalau hanya mengindikasi pelanggaran, bisa saja hakim MK mengakui itu. Namun, jika hasilnya tidak signifikan dan perolehan suara tak berubah jauh, maka gugatan pemohon tidak akan dikabulkan.
“Rangkaian-rangkaian itu belum terhubung secara menyeluruh. Tidak bisa katakan di ujung seperi sekarang terjadi TSM," kata Veri menambahkan.
Dalam sidang terakhir, pernyataan dari Iwam Satriawan, kuasa hukum 02 bisa jadi lebih banyak, jika bukan sama banyak dengan pertanyaan kepada ahli. Namun, narasi untuk mempengaruhi masyarakat tentu tak bisa serta merta membuat mereka menang gugatan.
“Enggak ada yang bisa menyelamatkan mereka,” kata dosen hukum tata negara di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Jentera Bivitri Susanti kepada reporter Tirto. “C1 saja mereka tidak bisa berikan sehingga ditarik kembali.”
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz