tirto.id - Semua perhatian dunia sedang tertuju pada Yerusalem setelah Presiden AS Donald Trump membuat keputusan mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Wilayah-wilayah yang diperebutkan dengan Palestina satu per satu mulai jatuh ke tangan Israel.
Ketika Israel sibuk menduduki kota-kota penting bagi penduduk Palestina, seorang pengembang kaya raya asal Palestina Bashar Masri sibuk membangun kota modern bagi warga Palestina. Letaknya sekitar 35 km di utara Yerusalem yakni di wilayah Rawabi.
Kota itu terletak di perbukitan di Tepi Barat dan telah dibangun sejak sembilan tahun lalu dengan nilai $1,4 miliar. Melalui anak perusahaan dari Massar International yaitu Bayti Real Estate Investment Company, Masri membangun Rawabi menjadi kota metropolitan yang dilengkapi bioskop, pusat perbelanjaan, sekolah, perkantoran, pusat konferensi, restoran dan kafe.
Rawabi adalah kota buatan pertama di Palestina dan jika rampung nanti, akan ada 8.000 hunian bagi 40.000 warga Palestina. Sang pengembang juga menyediakan lahan khusus untuk membangun gereja bagi bagi warga Palestina yang beragama Kristen.
Baca juga:Keputusan Trump dalam Bingkai Sejarah Konflik Yerusalem
Rencana ambisius ini dilatarbelakangi oleh berbagai tindakan represif Israel kepada warga Palestina. Tepi Barat adalah wilayah yang juga diduduki Israel sejak tahun 1967. Sejak saat itu, sebagian besar warga Palestina diusir dari tanahnya.
Kota Rawabi pun tak begitu jauh dari pemukiman Yahudi yang dibangun Israel untuk menduduki wilayah Tepi Barat. Bagi warga Palestina, pembangunan kota seperti Rawabi ini adalah salah satu cara profesional untuk menentang pendudukan Israel.
Selain itu, warga Palestina yang ingin menikmati hiburan misalnya di mal atau tempat hiburan lainnya di Israel sering terkendala izin dari pihak Israel di pos pemeriksaan. Jalan-satu-satunya, menurut Masri yaitu membangun mal sendiri dan pusat hiburan bagi warga Palestina. Begitulah cara membangun sebuah negara, menurutnya.
Meski demikian, pembangunan Rawabi tetap tak lepas dari segudang tantangan yang datang dari pemerintah Israel dan juga Palestina. Rawabi yang berada di wilayah pendudukan Israel dianggap tak memiliki prospek (di sektor bisnis) yang jelas. Sebab hingga saat ini akses jalan masih dikuasai Israel.
Wilayah tersebut juga harus mengandalkan pasokan air yang berasal dari Israel. Hampir seluruh pasokan air di Tepi Barat dikuasai Israel sejak 50 tahun. Ketika Israel menutup pasokan airnya, sekitar 452 dari 539 pembeli langsung membatalkan kesepakatan pembelian hunian. Potensi menjadi kota mati pun menghantui Rawabi.
Baca juga: Sekolah-Sekolah Palestina dalam Cengkeraman Israel
Ini juga menjadi kritik bagi pemerintah Palestina, sebab hingga saat ini janji untuk membangun proyek infrastruktur senilai $150 masih belum terealisasi. Akibatnya, para investor di Rabawi harus mengeluarkan sejumlah uang untuk pengadaan listrik, air, jalan dan lainnya.
Kini sekitar 3.000 penduduk Palestina memilih bermukim di wilayah tersebut. Rawabi pun kerap dikunjungi wisatawan mancanegara yang sekadar ingin melihat pembangunan kota yang sebelumnya belum pernah terjadi di wilayah Palestina.
Saat ini, salah satu mal dengan 28 toko dan puluhan brand luar negeri, bioskop, klub malam dan cafe dalam tahap penyelesaian.
"Saya selalu percaya kita akan berhasil," kata Shaida Jaradat, salah satu insinyur Rawabi kepada seorang profesor harvard yang sedang berkunjung ke kota tersebut.
Proyek pembangunan ambisius ini rencananya akan selesai sekitar tahun 2020. Sang pengembang yang merupakan lulusan lulusan Teknik Kimia dari Virginia Tech, AS itu berencana akan membangun kota-kota seperti Rawabi di wilayah lainnya.
Dari UNESCO hingga FIFA
Upaya lain yang dilakukan Palestina selain membangun kota, yaitu dengan menjaga warisan budayanya. Pada Juli lalu, UNESCO menetapkan Kota Tua Hebron di Tepi Barat sebagai Warisan Dunia yang harus dilindungi. Penetapan itu berdasarkan usulan Palestina.
Israel tak terima keputusan tersebut sebab dengan diakuinya Hebron sebagai kota Palestina, yang mengacu pada kota Palestina dinilai sebagai upaya untuk menolak karakter dan warisan Yahudi dari beberapa situs utama di wilayah tersebut.
Sedangkan menurut Palestina, Hebron perlu dilindungi sebab Israel kerap melakukan beragam pelanggaran mulai dari vandalisme hingga perombakan bangunan di Kota Tua itu sebab kini Israel gencar membangun pemukiman Yahudi di wilayah tersebut.
Oleh berbagai pengamat, Resolusi Hebron ini menjadi sebuah kemenangan diplomasi bagi Palestina. Secara tak langsung, pengakuan itu menunjukkan bahwa Hebron adalah bagian dari Palestina bukan Israel. Oleh sebab itu Israel dan AS langsung angkat kaki dari keanggotaannya di UNESCO karena keputusan tersebut dianggap memiliki unsur politik.
Sukses mendapat pengakuan dari UNESCO, di penghujung tahun ini Palestina kembali mencatat sejarah baru. Untuk pertama kalinya, tim nasional sepak bola Palestina mengalahkan Israel dalam peringkat FIFA.
Timnas Palestina berhasil naik dua peringkat di posisi 82 sedangkan Israel terseok di urutan 98. Dikutip dari Middle East Monitor, kesuksesan ini berkat debut timnas Palestina di Asian Football Confederation dan menjadi capaian bersejarah di tengah berbagai tindakan represif Israel seperti penolakan visa bagi pemain, penahanan administratif anggota tim serta kerusakan fasilitas seperti Stadion Palestina di Gaza.
"Dengan klasifikasi ini, kami telah mengalahkan tindakan pendudukan dan pelecehan sehari-hari, dari mencegah kebebasan bergerak atlet sampai ke semua tindakan yang menghalangi olahraga Palestina," kata kepala Asosiasi Sepak Bola Palestina (FA) Jibril Rajoub.
Di sisi lain Israel, Menteri Kebudayaan dan Olahraga Israel Miri Regev langsung bereaksi setelah mengetahui posisi Israel yang kian terpuruk dalam sepak bola meski setiap tahun pemerintah menganggarkan dana terbesar untuk olahraga tersebut. Keterpurukan ini pun dianggap Miri “krisis” dalam Timnas Israel.
Meski Palestina kini mulai menunjukkan eksistensinya di dunia internasional yang membuat Israel sedikit kerepotan, namun jalan menuju negara Palestina yang berdaulat masih jauh. Pengakuan AS bahwa Yerusalem adalah ibu kota Israel menjadi pukulan keras bagi Palestina.
Baca juga: 50 Tahun Perang 6 Hari dan Pendudukan Israel atas Palestina
Jika dibiarkan, maka Palestina harus merelakan Kota Tua itu termasuk Masjid Suci Al-Aqsa menjadi milik Israel. Jika melawan, tentu akan memunculkan berbagai tindakan kekerasan dan mungkin dapat meningkatkan tindakan represif Israel terhadap warga sipil Palestina.
Desakan negara-negara di dunia agar DK PBB mengambil sikap terhadap Israel tentu akan dihalangi Paman Sam. Tak heran selama 50 tahun pendudukan Israel di Palestina, PBB sebagai organisasi internasional masih belum mampu memperoleh jalan keluar untuk perdamaian kedua negara.
Sedangkan dalam urusan lobi melobi untuk mencari dukungan negara-negara lain, Israel adalah salah satu yang paling mahir untuk urusan tersebut. Mungkin yang perlu dilakukan Palestina, mengutip kalimat Pengembang Masri adalah “melawan dengan bata bukan dengan peluru.”
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti