tirto.id - Angka stunting di Indonesia berada di level serius, melihat data yang menyatakan satu dari tiga anak Indonesia menderita kekerdilan.
Angka balita Indonesia yang mengalami stunting turun dari 37,2 persen pada 2013 menjadi 29,6 persen pada 2015.
Angka prevalensi sebesar itu, bisa disebut sangat serius. Sebab WHO menetapkan indeks keparahan stunting disebut kritis jika angkanya lebih atau sama dengan 15 persen.
Oleh karena itu, penting kiranya mengenal gejala stunting dalam rangka menjaga nutrisi dan perkembangan yang sehat setiap anak.
Bagaimana cara deteksi dini stunting?
Cara mendeteksi anak terkena stunting salah satunya dengan pemantauan berat badan terutama hingga usianya 2 tahun. Penurunan berat badan merupakan salah satu risiko terjadinya stunting.
Hal ini dijelaskan dokter spesialis anak, nutrisi dan penyakit metabolik dari RSCM, Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, SpA(K) dalam diskusi media bertajuk "MilkVersation" di Jakarta, Rabu (23/1/2019).
"Kalau berat badan mulai turun terus menerus bisa menjadi stunting," ujar Damayanti dilansir Antara.
Ia juga menyampaikan, bila anak di masa awal kehidupannya mengalami penurunan berat badan, segeralah berkonsultasi dengan dokter untuk memastikan penyebabnya. Bisa jadi, ada masalah dalam jumlah asupan nutrisinya dan hal lainnya.
Gejala Stunting
Kekerdilan atau stunting merupakan kondisi anak yang mengalami “gagal tumbuh” dibanding anak lain pada rentang usia sama. Kondisi ini disebabkan oleh kekurangan gizi kronis selama anak masih di dalam kandungan sampai usia dua tahun.
Gejala paling mudah dikenali, tinggi badan anak kurang dari 85 cm pada usia dua tahun. Gejala ini bila tidak ditangani maka akan berakibat fatal. Anak akan mengalami kekerdilan permanen dan kehilangan kemampuan pertumbuhan mereka sampai dewasa.
Penyebab Stunting
World Health Organization (WHO) menyatakan penyebab stunting sangat kompleks karena melibatkan berbagai sektor di sebuah negara. Selain itu, stunting juga bisa menjadi indikator dari pertumbuhan ekonomi politik, kesehatan, pendidikan, kebudayaan, pertanian dan sistem pangan, serta kondisi lingkungan hidup di sebuah negara.
Kondisi itu akan berpengaruh terhadap kurangnya perawatan rumah tangga, makanan pendamping ASI yang kurang memadai, pemberian ASI kurang maksimal, dan terjadinya infeksi terhadap anak di sebuah negara.
Pada akhirnya faktor-faktor inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya stunting.
Damayanti mengatakan, kekurangan nutrisi, meskipun belum menyebabkan berat badan anak turun, itu sudah menurunkan IQ-nya sampai tiga poin. Bila nutrisi tak juga tercukupi, hormon pertumbuhan anak bisa terganggu dan anak berhenti tumbuh.
"Jangka pendek ada hambatan perkembangan, gangguan fungsi kekebalan tubuh, gangguan sistem pembakaran lemak yang akibatnya bisa jadi obesitas. Obesitas bisa berakhir dengan penyakit degeneratif. Bayi sampai usia dua tahun tidak boleh kurang gizi," kata dia.
Cara Mencegah Stunting
Pakar gizi Prof dr Siti Fatimah Muis SpG (K) mengatakan stunting bisa dicegah sejak anak masih dalam kandungan. Menurut dia, parameter pencegahan "stunting" sebenarnya bisa dilihat saat ibu hamil karena kondisi janin di perut membutuhkan pemenuhan gizi optimal hingga 1.000 hari sejak kehidupan pertama.
"Pemenuhan gizi selama kehamilan membantu pembentukan networking otak secara baik. Setelah anak lahir hingga usia 2-2,5 tahun, gizi berperan mengembangkan jaringan otak lebih sempurna," katanya kepada Antara.
Sementara itu Damayanti menyebut, agar stunting tidak terjadi, penting kiranya untuk menjaga asupan nutrisi anak yang cukup, lengkap dan seimbang, terutama protein hewani. Selain itu, pastikan tidak ada penyakit penyerta yang meningkatkan kebutuhan nutrisi seperti ISPA, diare, dan penyakit jantung bawaan.
"Pastikan bayi aktif, deep sleep pada pukul 23.00-2.00 setiap hari. Pantau dengan melakukan pengukuran berat badan, panjang badan, lingkar kepala, sebulan sekali. Segera rujuk ke dokter jika terjadi penurunan berat badan," saran Damayanti.
Dampak Stunting
Darurat stunting dapat menjadi beban negara jika berlanjut terus-terusan, apalagi Indonesia akan melewati fase bonus demografi pada 2035.
Sebab, selain pendek, para balita stunting juga memiliki masalah kesehatan lain yang tidak kalah mengkhawatirkan. Salah satu yang paling gawat adalah tidak berkembangnya neuron otak secara sempurna.
Editor: Agung DH