Menuju konten utama

Cara Alfons Tipu Pembeli Obat: Berbahan Kedaluwarsa, Dijual Online

Obat bikinan Alfons cukup sulit dibedakan. Konsumen obat harus punya obat sejenis untuk bahan perbandingan.

Cara Alfons Tipu Pembeli Obat: Berbahan Kedaluwarsa, Dijual Online
Ilustrasi pil obat. Getty Images/iStockphoto

tirto.id - Direktorat Tindak Pidana Tertentu (Dit Tipidter) Bareskrim Polri menangkap Alfons Fitzgerald Arif Prayitno (52), Direktur PT Jaya Karunia Investindo (JKI), atas dugaan pemalsuan dan penjualan obat kedaluwarsa di Semarang, Jawa Tengah, Senin (8/7/2019). Obat bikinan pelaku disebarkan di Jakarta dan Semarang.

Direktur Dit Tipidter Bareskrim Polri Brigjen Pol Fadil Imran menjelaskan, tersangka dibantu enam anak buahnya yang hanya tamatan SD dalam menjalankan aksinya. Tanpa pengetahuan ilmiah, keenamnya diperintahkan mengolah obat-obat asli yang sudah tiga tahun habis masa kedaluwarsanya untuk menjadi obat baru.

“Misalnya harga obat asli dia beli Rp500, lalu ia olah dan dijual Rp10 ribu,” kata Fadil di Bareskrim Polri, Jakarta Pusat, Senin (22/7/2019). Sejauh ini, polisi belum bisa mengungkap apa saja campuran obat bikinan Alfons, lantaran masih diuji forensik.

Bersamaan dengan itu, Alfons juga berani memalsukan obat generik menjadi obat paten. Ia pun beraksi jika ada pemesanan obat dari konsumen. Dari pemalsuan obat generik menjadi obat paten ini, Alfons mendapat keuntungan Rp400 juta per bulan.

Buat memuluskan aksinya, Alfons memberikan merek pada obat racikannya. Supaya konsumen tak curiga, Alfons pun menyertakan dus serta brosur tata cara pakai, menutup dengan stiker, dan hologram palsu agar tampak asli serta menghapus logo BPJS.

“Dia juga merekayasa tanggal kedaluwarsa obat,” jelas Fadil.

Obat tersebut lantas didistribusikan melalui PT JKI ke-197 apotek di wilayah Semarang dan Jakarta. PT JKI ini adalah Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang tercatat di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Atas perbuatannya ini, Alfons dijerat dengan Pasal 196 KUHP juncto Pasal 98 KUHP Ayat (2) dan Ayat (3), dan/atau Pasal 197 KUHP juncto Pasal 106 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan/atau Pasal 62 KUHP Ayat (1) juncto Pasal 8 Ayat (1) huruf a dan/atau huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Ia terancam lima tahun penjara.

Sementara itu, keenam anak buahnya berstatus saksi dalam perkara ini.

Sulit Dibedakan

Pada kesempatan yang sama, Robby Nuzly, bagian penindakan BPOM RI, menilai modus kejahatan yang dilakukan Alfons cukup rapi. Selain karena obat bikinan Alfons ini sulit dibedakan secara fisik, kandungan obat pun sesuai dengan obat asli, tapi bahan bakunya sudah kedaluwarsa.

Salah satu jenis obat yang dipalsukan Alfons adalah Cefilia. Antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri pada saluran pernafasan, infeksi kulit, dan saluran kemih ini punya kandungan serupa dengan cefixime generik. Namun, Alfons mengganti merek dari Cefixime menjadi Cefilia dan membuatnya dengan campuran obat yang telah kedaluwarsa.

Untuk mengidentifikasi keasliannya, kata Robby, seorang konsumen harus memiliki obat sejenis. “Kalau tidak punya obat asli (sebagai pembanding), itu sulit. Yang pengalaman minum obat itu, biasanya tahu (perbedaan),” kata Robby.

Robby mengimbau masyarakat berhati-hati dengan peredaran obat palsu ini. Sebab sejak Desember 2018 hingga Juni 2019, Robby mengaku, BPOM sudah berulang kali menggagalkan peredaran obat palsu.

Ia pun menyarankan masyarakat tak membeli obat lewat daring melainkan langsung ke apotek. “Kalau ada kasus ini yang melibatkan apotek, maka masih bisa dipertanggungjawabkan,” jelas dia.

Sementara itu, Direktur Produksi dan Distribusi Kefarmasian Kementerian Kesehatan, Agusdini Banun Saptaningsih, menyatakan PT JKI hanya memiliki sertifikat distribusi pedagang besar farmasi. Mereka tak punya izin sebagai industri farmasi.

Ini berarti PT JKI telah melanggar aturan karena memproduksi obat, padahal hanya boleh mendistribusikan obat. Oleh karena itu, kata Agusdini, pihaknya akan mencabut sertifikat tersebut jika BPOM merekomendasikan.

“Kalau sekarang sudah proses pencabutan,” kata Agusdini.

Baca juga artikel terkait OBAT atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Mufti Sholih