tirto.id - Teror COVID-19 telah membuat cakupan imunisasi anak rendah sehingga ancaman wabah baru membayangi masa depan.
Luty Hardjakusumah gundah karena putranya sudah harus melakukan imunisasi DPT dan Polio kedua. Jadwal imunisasi normal seharusnya jatuh pada 2 April lalu. Tapi bidan yang membantu kelahiran dan tetek bengek urusan vaksin anaknya malah menutup layanan.
Sempat ia meminta undur waktu selama dua minggu, tapi tetap saja ditolak. Kebetulan, stok vaksin DPT milik bidan sedang kosong. Luty akhirnya diarahkan untuk mencari tempat alternatif imunisasi. Setelah mencari informasi di sana-sini soal ketersediaan vaksin dan keamanan fasilitas, ia memutuskan pergi ke Imunicare Biofarma pada 21 April.
“Di bidan saya pakai BPJS, gratis semua tapi karena kondisinya tidak memungkinkan jadi harus keluar biaya mandiri sekitar Rp300 ribuan,” katanya bercerita kepada Tirto.
Sebelum pandemi COVID-19, Luty secara rutin mengimunisasi sang anak sesuai jadwal. Namun saat wabah, jadwal vaksin anaknya mundur selama dua minggu. Ia mengaku sedikit repot mencari fasilitas yang aman untuk anak, tidak begitu ramai, dan menerapkan physical distancing.
Saat situasi tidak kondusif seperti sekarang, wajar jika ia takut membawa anak--yang masih berusia tiga bulan--ke tempat publik. Untungnya kekhawatiran Luty diakomodasi oleh Imunicare Biofarma. Mereka menerapkan langkah-langkah umum pencegahan COVID-19, misalnya dengan memeriksa suhu tubuh pengunjung, mencatat riwayat kesehatan dan perjalanan.
Tapi, yang jadi masalah kemudian adalah biaya. Imunisasi dengan biaya mandiri tentu tak bisa dilakukan sembarang keluarga. COVID-19 telah membuat perekonomian serba susah. Banyak keluarga sulit menyambung hidup dan membeli bahan pokok. Sementara beberapa fasilitas kesehatan BPJS memilih menghentikan layanan vaksin.
“Maunya imunisasi dengan BPJS masih bisa dilaksanakan, mungkin bisa diakali bagaimana caranya supaya tidak terjadi penumpukan orang,” ujar Luty berharap.
Keresahan Luty bisa jadi dirasakan oleh banyak orangtua di seluruh dunia. Di tengah pandemi, para orangtua pasti berpikir bagaimana caranya tetap menjalankan imunisasi aman namun tidak menambah beban ekonomi keluarga. Physical distancing juga ikut membuat orangtua memutuskan untuk menunda imunisasi rutin.
Sementara kebijakan pembatasan atau penutupan wilayah memunculkan masalah baru pada distribusi alat kesehatan, termasuk vaksin. Menurut UNICEF, pembatalan penerbangan dan pembatasan perdagangan membuat akses obat-obatan esensial terbatas.
Ancaman Wabah Akibat Ketiadaan Vaksin
Pandemi COVID-19 membuat sebagian besar negara menangguhkan program vaksin polio massal. UNICEF juga mencatat 25 negara menunda kampanye campak. Situasi wabah saat ini secara langsung diyakini telah berdampak pada penurunan cakupan imunisasi global pada anak.
Bayangkan, bahkan sebelum pandemi COVID-19 sebanyak 20 juta anak di bawah usia satu tahun tidak mendapat vaksin campak dan polio. Lebih dari 13 juta anak di bawah usia satu tahun secara global tidak menerima vaksin sama sekali (2018). Penurunan cakupan imunisasi saat ini berpotensi meretas jalan menuju wabah lain di masa depan.
“Gangguan layanan imunisasi mengancam berjangkitnya penyakit yang telah ada vaksinnya, seperti polio, campak, dan kolera,” kata Direktur Eksekutif UNICEF Henrietta Fore.
Menurut analisis UNICEF, pandemi COVID-19 telah berdampak pada lebih setengah anak di dunia. Sebab sebanyak 99 persen anak di bawah 18 tahun (2,34 miliar) tersebar di 186 negara dengan kebijakan pembatasan. Sekitar 53 persen berada di negara dengan kebijakan penguncian sebagian dan 7 persen lainnya di negara dengan penguncian penuh (1,4 miliar jiwa).
Belajar dari pengalaman Republik Demokratik Kongo, tepat satu tahun setelah negara tersebut melewati wabah Ebola (2018-2019), mereka mendapat serangan campak mematikan yang merenggut lebih dari enam ribu jiwa. UNICEF khawatir ekses serupa akan berulang terutama di wilayah Afrika, Asia, dan Timur Tengah.
Apalagi saat ini Afghanistan, Republik Demokratik Kongo, Somalia, Filipina, Suriah, dan Sudan Selatan tengah bekerja keras memerangi wabah campak, kolera, dan polio. Penurunan tingkat vaksinasi bisa membuat korban--di samping COVID-19--bertambah.
Pekan Imunisasi di Indonesia
Gambaran ancaman wabah di Indonesia akibat rendahnya cakupan imunisasi tak kalah besar. Malaysia dan Filipina yang notabene berbatasan langsung di Indonesia tengah menghadapi wabah polio bersamaan dengan COVID-19. Kondisi itu sangat mungkin menyebar hingga ke Indonesia.
Apalagi beberapa fasilitas kesehatan saat ini mengalami kekosongan stok vaksin. Salah satu faktor penyebabnya adalah penutupan perbatasan antar negara. Anak-anak di daerah pelosok paling terdampak kondisi ini karena banyak fasilitas kesehatan menunda program vaksinasi mereka akibat ketiadaan vaksin.
Lalu seberapa serius ancaman kesehatan di Indonesia?
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, proporsi imunisasi dasar lengkap anak Indonesia usia 12-23 bulan mencapai 57,9 persen. Sementara 32,9 persen masih belum lengkap, dan 9,2 persen anak Indonesia tidak melakukan imunisasi.
Indonesia juga masih menghadapi wabah difteri pada tahun 2019-Februari 2020 dengan jumlah kasus 657 orang dan korban jiwa 23 orang. Kemudian di periode yang sama, kasus campak mencapai 624 jiwa, lalu rubella sebanyak 671 kasus.
Dampak penyakit-penyakit ini bersifat jangka panjang. Campak Indonesia pada periode 2012-2017 membuat 571 jiwa mengalami radang otak, lebih dari 2,8 ribu orang radang paru, dan 5,7 ribu orang mengalami diare serta infeksi telinga. Sementara pada periode 2012-2018 di rumah sakit tipe A sebanyak 1660 bayi lahir cacat akibat rubella.
“Jadi meskipun ada Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) imunisasi boleh dan harus,” jelas Sekretaris Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Soedjatmiko dalam webinar bersama Kemenkes, Selasa, (28/4/2020).
Imunisasi lengkap akan melindungi Indonesia dari kerugian yang lebih akibat sakit berat, cacat, dan kematian di masa datang, sehingga IDAI merekomendasikan beberapa aturan keselamatan imunisasi di kala pandemi. Pertama, orangtua tak perlu takut melakukan imunisasi. Mereka disarankan melakukan perjanjian daring terlebih dulu dan memilih fasilitas kesehatan terdekat.
Kemudian fasilitas kesehatan menerapkan aturan pembatasan fisik dengan mengatur pasien datang tepat waktu serta memisah alur masuk dan keluar. Petugas juga harus mengetahui riwayat kesehatan pasien, suhu tubuh, gejala adanya batuk-pilek, nyeri tenggorokan, dan sesak nafas. Terakhir mengatur kunjungan berikutnya.
“Bila tidak memungkinkan dilaksanakan imunisasi dapat ditunda 1-2 minggu, tapi setelahnya harus segera dilengkapi,” ungkap Soedjatmiko.
Sementara dunia tengah berusaha menuntaskan COVID-19, mari memperkecil risiko kehilangan yang lebih besar. Wabah penyakit tidak akan menjadi ancaman ketika ada vaksin yang aman dan efektif melindungi.
Editor: Windu Jusuf