tirto.id - Di antara budaya tandingan yang muncul pada dekade 1960an, hippies sejatinyaadalah kelompok yang paling dipertanyakan faedahnya.
Gerakan tersebut diciptakan oleh kaum muda kulit putih yang rata-rata berprofesi sebagai mahasiswa dan berasal dari kalangan menengah ke atas. Mereka muak atas situasi AS yang kala itu penuh dengan kekerasan--Perang Vietnam yang terjadi sejak 1955-1975 adalah contoh terbaiknya.
Namun, alih-alih bergerak membentuk organisasi sembari mengadvokasi hak-hak kaum minoritas seperti apa yang dilakukan para aktivis Afro Amerika, sejumlah mahasiswa kulit putih ini ternyata lebih suka membayangkan terciptanya dunia baru yang damai dan tanpa kekerasan.
Di dunia baru tersebut, mereka akan hidup berkelompok dan saling membantu. Tak ada aturan mengekang soal seks dan obat terlarang sehingga mereka bebas mengonsumsi ganja, LSD, dan sederet zat psikoaktif lain yang dapat membuat gembira. Dan semua itu dibalut dengan alunan psychedelic rock yang magis.
Situasi yang menurut mereka ideal itu tercipta lewat festival-festival yang diselenggarakan seperti Human be In, Monterey Pop Festival, hingga Summer of Love. Di sana, orang-orang akan bernyanyi, bersenang-senang, bermesraan, sementara lainnya berkeliling membagikan bunga (simbol kedamaian) kepada siapa pun yang ditemui.
“Pemikiran utopis budaya tandingan ini adalah sesuatu yang penting karena melibatkan imajinasi terhadap kehidupan yang lebih baik dan bebas dari represi kaum teknokrat, rasisme, kekerasan seksual, serta campur tangan kaum kapitalis terhadap kepemilikan individu,” kata Andrew Blauvelt, kurator pameran Hippie Modernism, The Struggle for Utopia, kepada BBC.
Kaum hippies tergolong jarang turun ke jalan untuk mengikuti aksi demonstrasi. Tapi, ada satu aksi demonstrasi krusial yang diikuti mereka: March on The Pentagon pada 21 Oktober 1967. Bagi mereka, Pentagon adalah sumber kekerasan dan intensi para hippie saat itu ialah menolak kekerasan berupa keterlibatan AS dalam Perang Vietnam.
Sebagaimana prinsip yang dipercaya para hippies, aksi tersebut mereka lakukan tentunya dengan nir kekerasan. Maka sebab itulah kemudian tercetus ide monumental yang hingga kini masih muncul di kalangan demonstran: memasukkan bunga ke dalam ujung senjata para aparat yang tengah berjaga.
Gaya penampilan kaum hippies kala melakukan aksi tersebut juga khas: rambut gondrong (bagi pria) dan busana yang memuat elemen floral, rumbai, tipis, serta bentuk celana cutbray ketat yang lebar di bagian bawah.
Maka apabila ditanya apa faedah terbesar gerakan hippies, jawabannya adalah gaya busana mereka. Setidaknya itulah yang dipercaya para pelaku di ranah mode: gaya itu berpotensi menjadi tren di kalangan anak muda dan dapat mendatangkan pundi-pundi fulus.
“Influence of 1960’s Hippie Counterculture in Contemporary Fashion” yang terbit dalam International Journal of Textile and Fashion Technology (PDF, 2017) mencatat rumah mode yang terinspirasi dari gaya hippies di antaranya adalah Yves Saint Laurent, Roberto Cavalli, Emilio Pucci, dan Alberta Ferretti. Semuanya merupakan pemain bisnis di ranah adibusana.
Alasan lain yang membuat busana hippies menarik untuk dilestarikan karena gaya tersebut bisa mewakili prinsip fesyen keberlanjutan. Busana ala kaum hippies bisa saja dibuat secara upcycling (memodifikasi busana yang sudah ada) dan recycling (membuat busana dari kain bekas pakai, dan membuat busana dari benang alami).
Lika-Liku Busana dalam Aksi Protes
Para pelaku fesyen zaman sekarang tampak mulai paham bahwa publik tak bisa lagi dimanjakan dengan busana yang bentuknya sekadar unik belaka. Bahwa fesyen rupanya tetap menjadi cara efektif dalam menyampaikan aspirasi. Seperti yang dilakukan dua orang aktivis sosial seperti Katharine Hamnett dan Vivienne Westwood, misalnya.
Hamnett adalah pelopor kaos protes di ranah mode papan atas. Ia pertama kali mendesain kaus protes pada 1970 dan memakainya kala bertemu Margaret Thatcher. Sementara Westwood, desainer punk sekaligus aktivis lingkungan hidup yang getol menyuarakan desain busana ramah lingkungan. Salah satunya dengan memanfaatkan bahan busana yang durabel dan desain yang mampu eksis melintas zaman.
Pemikiran Hamnett dan Westwood ini kemudian menginspirasi desainer-desainer label busana besar yang eksis sekarang. Salah satunya adalah Maria Grazia Chiuri, direktur kreatif DIOR. Ia menciptakan kaus protes bertemakan feminisme dan juga mendesain koleksi busana yang terinspirasi dari para anggota gerakan Black Panther yang menggunakan barett, blazer kulit, dan turtleneck hitam.
Hingga kini dapat dikatakan memang belum banyak desainer rumah mode yang berpikiran layaknya Chiuri, Hamnett, dan Westwood. Namun, yang pasti, beberapa busana yang punya sejarah sebagai ‘baju protes’ terus diproduksi dan bahkan jadi busana esensial yang dikenakan publik.
Selain turtleneck, denim adalah busana protes yang paling dilestarikan dan jadi busana sehari-hari. Alasannya: busana ini tergolong awet, mudah didapat, bentuknya bervariasi, dan bisa diproduksi dengan harga terjangkau.
Pada 1960an, kelompok mahasiswa yang tergabung dalam gerakan Student Nonviolent Coordinating Committee menjadikan busana ini sebagai busana protes lantaran jenis busana tersebut dikenakan para pekerja Afro Amerika di AS yang berasal dari kelas menengah bawah: kaum yang hendak mereka advokasi hak-hak hidupnya.
Masih belum jelas jenis busana protes apalagi yang akan jadi tren di masa depan. Mungkin saja terinspirasi dari Suffrage Movement--komunitas yang didirikan para perempuan di AS pada 1913 yang menuntut hak pilih bagi kaum perempuan. Biasanya dalam protes mereka mengenakan rok panjang berpotongan lurus, blazer panjang yang menunjukkan siluet pinggul, kemeja dengan berbagai macam bentuk kerah, serta topi.
Inspirasi busana protes yang digunakan berpuluh-puluh tahun lalu ini masih terus punya potensi untuk menjadi tren di hari depan. Mengingat berbagai protes dan aktivisme juga terus bersinggungan dengan ranah fesyen.
Kasus protes perubahan iklim yang terjadi pada ajang London Fashion Week beberapa minggu lalu bisa jadi satu pertanda bahwa ke depannya fesyen masih akan bersinggungan dengan semangat aktivisme.
Editor: Eddward S Kennedy