tirto.id - “Kalau Anda perhatikan wajahku dengan saksama, aku kelihatan sangat sedih: cowok-cowok ini masih bau kencur. Mereka, seperti banyak orang lainnya, adalah korban mesin peperangan,” tulis Jan Rose Kasmir di kolom The Guardian pada 2014 lalu. Ia mengisahkan bagaimana dirinya menjadi sebuah ikon protes tahun 1960an.
Siang itu, 1967, Kasmir yang masih duduk di bangku SMA adalah satu dari ribuan orang yang long march ke Pentagon guna mendesak pemerintah AS menarik pasukan dari Perang Vietnam. Pose Kasmir menyorongkan setangkai bunga ke hadapan anggota Garda Nasional tertangkap kamera seorang fotografer Perancis, kemudian mendunia.
Angkatan Kasmir dikenal sebagai Generasi Bunga, sebuah generasi penolak perang dan pengecam kemapanan. Mungkin salah seorang kawan Kasmir kelak menjatuhkan bom di desa-desa Vietcong, tapi mungkin juga pulang ke kampung halaman dalam kantung mayat.
Untuk yang tiada pula, generasi Kasmir perlu mengirimkan bunga, setangkai atau sekeranjang, sebagai laku mengenang hidup yang terbuang sekaligus menyesali—atau juga memperingatkan—kesia-siaan perang bagi satu bangsa yang tiap pemudanya sewaktu-waktu bisa dikirim ke Vietnam. Satu hal yang bersinggungan dengan motif dalam lukisan still-life neoklasik: jukstaposisi bunga dan tengkorak adalah pesan moral tentang perlunya mengingat kematian (memento mori).
Tapi bau kematian itu tak nampak di Portugal tujuh tahun kemudian, ketika faksi kiri dalam tentara Portugal mengambil alih kekuasaan dan terjadilah Revolusi Anggrek. Gerakan Angkatan Bersenjata (Movimento das Forças Armadas, MFA) mengkudeta rezim kediktatoran sayap kanan Estado Novo (Negara Baru) yang bertahan selama 50 tahun, kemudian menyiapkan pemerintahan junta guna membuka pintu demokrasi. Saat itu, Februari 1974, ketika bunga bermekaran, warga Lisbon berduyun-duyun memenuhi alun-alun kota mendukung pemerintahan baru. Tentara menyelipkan bunga di ujung bedil.
Reforma agraria di pedesaan dan partisipasi politik rakyat di tempat kerja maupun di ruang-ruang terbuka kota menjadi pemandangan keseharian. Pada saat bersamaan, teror dari faksi tentara sayap kanan beserta milisinya mulai merebak. Satu kudeta lain menyusul pada November 1975, menghentikan persaingan sengit kedua kubu. Namun konsekuensi Revolusi Anggrek di negeri-negeri jajahan Portugal ternyata besar dan tak bisa dipukul mundur. Tercatat Angola, Mozambique, dan Timor-Portugis menyatakan merdeka. Kendati pergolakan di Portugal berlangsung relatif damai, proses dekolonisasi Angola dan Mozambique sempat melewati periode perang sipil, sementara rakyat Timor Portugis diperkosa habis-habisan dalam pendudukan pasukan Indonesia antara 1975 hingga 1999.
Bunga sebagai Metafor Gerakan Buruh
Sosialisme, khususnya varian sosialisme demokratik, juga mengadopsi bunga sebagai logo organisasi. Mahkota bunga mewakili komunitas, merah adalah warna ideologis, duri melambangkan perjuangan, dan ringkihnya fisik bunga itu sendiri merupakan statement keberpihakan pada kaum tertindas.
Politisasi bunga, dari sekadar lambang simpati ke simbol gerakan buruh sosialis, bermula pada 1 Mei 1886 di Lapangan Haymarket, Chicago. Pada hari itu serikat-serikat buruh nasional menggelar aksi mogok menuntut 8 jam kerja. Namun, begitu rombongan dibubarkan aparat, seorang tak dikenal melempar bom ke arah polisi. Buntutnya, delapan orang tewas dan tiga buruh dipidana. Kaum sosialis dan para aktivis serikat buruh mulai mengenakan anggrek merah di kerah untuk menunjukkan solidaritas terhadap para pemimpin gerakan buruh yang didakwa sebagai penghasut. Sejak itu mawar (atau anggrek) jadi bagian dari perayaan Hari Buruh Internasional.
Pasca Perang Dunia II, mawar merah diadopsi sebagai simbol partai Sosialis dan Sosial Demokrat di negara-negara Eropa Barat. Corak logo sebelumnya—roda gigi, palu arit, bintang merah—dipandang terlalu maskulin. Mawar diajukan sebagai alternatif logo yang netral secara gender.
Dalam syair dan lirik, saking seringnya dikutip, bunga jadi metafor picisan cinta-cintaan. Namun pada tahun 1912, selama tiga bulan slogan “kami butuh roti dan mawar” diusung dengan gagah berani oleh para buruh perempuan yang tergabung dalam Industrial Workers of the World (IWW) dalam aksi mogok di sebuah pabrik tekstil di kota Lawrence, Massachussets. Mereka menuntut kenaikan upah 15 persen, jaminan upah lembur, dan menolak kriminalisasi aktivis buruh. Saking terorganisirnya gerakan ini, pemerintah setempat menurunkan milisi, menyogok beberapa anggota serikat, dan menanam bom di beberapa tempat kerumunan di kota tersebut.
Pemogokan buruh tekstil Lawrence yang berlangsung selama tiga bulan, gagal mencapai tuntutannya, namun berhasil melambungkan “Bread and Roses”, lagu gubahan seorang aktivis buruh James Oppenheim yang hingga kini identik dengan gerakan feminis sosialis: “Tak semestinya kami diperas sepanjang hayat/Hati pun bisa selapar perut/Kami butuh roti, juga mawar.”
Di saat jadi lambang solidaritas, simpati, dan kelembutan, Wiji Thukul memberi sentuhan garang pada bunga. Dalam syair “Bunga dan Tembok” (1987), ia menulis “Jika kami bunga/Engkau adalah tembok itu/Tapi di tubuh tembok itu/Telah kami sebar biji-biji/Suatu saat kami akan tumbuh bersama/Dengan keyakinan: engkau harus hancur!”. Bunga dalam imajinasi Thukul adalah keliaran organik yang tak dikehendaki tumbuh, yang dirontokkan penguasa penyembah pagar besi dan jalan raya, sekaligus yang beranak-pinak tanpa bisa dikontrol dan akhirnya menggerogoti kaki kekuasaan.
Penyair buruh yang telah hilang yaris dua puluh tahun itu tak pernah sekalipun berteriak “bakar” pada bunga.
Penulis: Windu Jusuf
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti