tirto.id - Perwakilan buruh dari 150 pimpinan unit kerja (PUK) perusahaan di Kawasan Industri Pulogadung, Jakarta Timur memusatkan aksi penolakan terhadap Omnibus Law Undang-Undang (UU) Cipta Kerja di Kawasan Industri Pulogadung.
"Hari ini estimasi massa berdasarkan hasil rapat kemarin ada sekitar 5.000 orang yang sudah kita laporkan jumlahnya ke Polsek dan Polres," kata Koordinator Forum Buruh Kawasan (FBK) Pulogadung Hilman Firmansyah, di Jakarta (6/10/2020) dilansir dari Antara.
Hilman mengatakan massa aksi adalah utusan 150 PUK perusahaan nasional dan mancanegara yang kini bergerak pada berbagai bidang usaha di Kawasan Industri Pulogadung.
"Ada yang dari PT Yamaha Music, PT Total Detergent, PT Bintang Tujuh, PT SOHO dan lainnya. Hari ini ada 150 PUK dari total 270 perusahaan di Kawasan Industri Pulogadung," katanya.
Selain itu FBK sebagai aliansi buruh juga menyertakan massa aksi dari perwakilan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI).
Aksi diawali dengan berkumpul di sekitar Bundaran Pajak Kawasan Industri Pulogadung untuk berorasi. Dari titik kumpul di Bundaran Pajak, mereka mengecek seluruh pabrik untuk memastikan arahan mogok kerja massal berjalan di seluruh perusahaan.
"Kami bersepakat dengan pimpinan buruh bahwa tidak ada produksi hari ini," katanya.
Berdasarkan izin yang diperoleh dari kepolisian maupun perusahaan, kata Hilman, massa hanya diperbolehkan menggelar aksi di wilayah masing-masing.
"Tidak boleh aksi sampai ke Senayan, hanya di kawasan [industri] saja. Aksi ini rencananya hingga pukul 18.00 WIB pada 6-8 Oktober 2020," katanya.
Aksi penolakan terhadap UU Cipta Kerja dilakukan massa dengan memasang spanduk di setiap perusahaan serta berkeliling menggunakan empat unit mobil komando. Massa menyuarakan penolakan terhadap Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Mereka meminta agar tetap ada Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) tanpa syarat dan tidak menghilangkan Upah Minimum Sektoral, nilai pesangon tidak berkurang, tidak boleh ada Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau karyawan kontrak seumur hidup serta tidak boleh ada "outsourcing" seumur hidup.
Tidak hanya itu para buruh menyerukan agar waktu kerja tidak boleh eksploitatif, cuti dan hak upah atas cuti tidak boleh hilang, karyawan kontrak dan "outsourcing" harus mendapat jaminan kesehatan dan pensiun.
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Bayu Septianto