Menuju konten utama

Bunuh Diri Siswi SMP di Blitar dan Kritik Sistem Zonasi PPDB

Kebijakan sistem zonasi dinilai belum mempertimbangkan data kecukupan sekolah negeri di suatu lokasi.

Bunuh Diri Siswi SMP di Blitar dan Kritik Sistem Zonasi PPDB
Warga memasang selebaran protes Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) online melalui sistem zonasi saat melakukan aksi segel sekolah di depan SMKN 1 Tambun Utara, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Rabu (12/7). ANTARA FOTO/Risky Andrianto

tirto.id - Kontroversi sudah terjadi sejak sistem zonasi untuk penerimaan peserta didik baru (PPDB) diterapkan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada Juli 2017 lalu. Sistem ini dikritik salah satunya karena dianggap membatasi hak siswa bersekolah di tempat yang mereka idamkan. Namun, Muhadjir bersikukuh sistem zonasi mesti tetap diterapkan demi tujuan pemerataan kualitas pendidikan. Ia juga mengeluarkan landasan hukum baru penerapan sistem tersebut yang tertuang dalam Permendikbud nomor 14 tahun 2018.

Kontroversi tentang sistem zonasi kembali menghangat setelah seorang siswi SMP Negeri 1 Blitar berinisial EPA (16 tahun) bunuh diri. EPA diduga bunuh diri lantaran takut tidak bisa diterima di SMA Negeri 1 Kota Blitar pascapenerapan sistem zonasi. Dugaan itu berasal dari pengakuan teman korban yang menyebut bahwa EP kerap khawatir tak bisa diterima di sekolah idamannya karena berdomisili di Kabupaten Blitar.

Bagi Muhadjir bunuh diri yang dilakukan EPA disebabkan kurangnya informasi tentang sistem zonasi. "Jadi yang bersangkutan (siswi tersebut) merasa tidak bisa masuk ke sekolah yang dicita-citakan. Hal ini diduga karena kurangnya informasi yang diperoleh yang bersangkutan baik dari pihak sekolah maupun orang tua," ujar Muhadjir di Jakarta, pada Rabu (30/5/2018) seperti dikutip Antara.

Muhadjir menjelaskan berdasar Permendikbud nomor 14 tahun 2018 tentang PPDB, calon siswa asal luar zonasi sekolah masih memiliki kesempatan diterima di lembaga pendidikan tujuannya. Karena itu, menurut Muhadjir, insiden di Blitar itu tidak seharusnya terjadi. Selain itu, Muhadjir juga menduga siswa di Blitar itu mengalami sejumlah masalah karena selama ini tidak tinggal dengan orang tuanya. "Bayangkan, anak SMP tidak tinggal dengan orang tuanya, pasti ada kekosongan," kata Muhadjir.

Dia mengaku menerima informasi siswa lulusan SMP di Blitar itu sebenarnya memiliki prestasi akademik yang bagus. Bahkan, siswa itu pernah ikut olimpiade sains. Untuk itu, menurut Muhadjir, kasus ini membuktikan pentingnya pihak sekolah dan orang tua memberikan bimbingan bagi anak usia SD dan SMP saat hendak memilih sekolah untuk melanjutkan pendidikan. "Jangan biarkan anak berjalan tanpa bimbingan orang tua dan keluarga. Dalam sistem zonasi, perlu adanya bimbingan orang tua dan juga sekolah ke mana anak itu sekolah. Jangan dibiarkan anak tersebut memutuskan sendiri," kata dia.

Harus Dievaluasi

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim mengatakan, meninggalnya EP mestinya menjadi perhatian dan evaluasi Kemendikbud terhadap pemberlakuan sistem zonasi. Ia mencontohkan ada beberapa daerah yang jumlah sekolah negerinya lebih sedikit dibandingkan calon peserta didik baru. Sehingga sekolah negeri mengalami penumpukan pendaftaran siswa yang berdampak terhadap ketatnya persaingan siswa diterima di sekolah yang kadung di anggap favorit.

Seharusnya, menurut Satriwan, sistem zonasi diterapkan dengan mempertimbangkan data kecukupan sekolah negeri di suatu lokasi. Dalam kondisi tertentu, hal itu dianggap dapat menghilangkan hak-hak siswa untuk belajar di tempat yang mereka inginkan. Kebijakan ini menurutnya sama dengan ujian nasional yang menurut Salim cenderung menyederhanakan persoalan pendidikan di Indonesia yang beragam dan unik secara geografis.

"Makanya Pemerintah harus melakukan pemetaan yang benar-benar utuh, valid, dan menyeluruh terkait pembagian zonasi sehingga siswa yang berasal dari kecamatan yang tidak memiliki sekolah negeri bisa mempunyai akses yang sama untuk bersekolah di sekolah negeri," terangnya.

Dalam hal pemetaan tersebut, ia juga menyebut pentingnya peran musyawarah kerja kepala sekolah (MMKS) dalam mendata jumlah calon peserta didik baru serta minat siswa untuk melanjutkan sekolah ke jenjang menengah berikutnya di suatu wilayah. "Sehingga MKKS bisa saling koordinasi mana sekolah yang sudah kelebihan mana yg belum," ujar Satriwan.

Meski begitu Satriwan setuju dengan Muhadjir bahwa menghilangkan favoritisme lewat sistem zonasi sekolah adalah itikad baik yang perlu didukung. Namun, ia mengingatkan bahwa kemudahan akses menuju sekolah, kelayakan infrastruktur, serta pemerataan tenaga pendidik adalah persoalan yang harus didahulukan.

Jika hal tersebut belum dapat terselesaikan, ia menyarankan agar penerapan sistem zonasi ditunda hingga Kemendikbud berhasil memetakan masalah ketimpangan sekolah dengan jumlah siswa di tiap daerah, "mengingat karakteristik wilayah geografis kita (yang berbeda)."

Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbud, Hamid Muhammad mengakui bahwa timpangnya jumlah sekolah dengan calon peserta didik baru adalah kendala dalam penerapan sistem zonasi. Namun, ia mengklaim, sejauh ini hal tersebut bisa diatasi di masing-masing daerah dan program tersebut tetap bisa berjalan dengan baik. "Umumnya berjalan bagus kecuali di kota-kota yang kepadatan siswanya tinggi," ujarnya sebelum meninggalkan gedung Kemendikbud Rabu malam (30/5/2018).

Karena itu lah, ia enggan berkomentar soal dugaan adanya korban meninggal akibat takut tak bisa diterima di sekolah yang dianggap favorit di daerahnya. "Siapa itu yang bilang karena sistem zonasi? Itu yang menyimpulkan kan wartawan. Saya enggak mau menyimpulkan berdasarkan dugaan. Tunggu nanti aparat hukum selesai," tuturnya singkat.

Menurut Hamid, penerapan sistem zonasi tahun ini tak banyak berubah dibandingkan tahun lalu. Dalam Permendikbud nomor 14/2018, kriteria yang diutamakan dalam PPDB juga masih sama, yakni jarak antara rumah siswa dengan sekolah. Setelah itu, barulah pertimbangan didasarkan pada usia, prestasi dan perkara-perkara lain bisa menjadi pertimbangan sekolah menerima siswa baru.

Hamid juga tak menampik bahwa posisi geografis sekolah di setiap daerah berbeda-beda dan karena itu, bobot penilaian setiap kriteria diserahkan kepada masing-masing daerah. "Jadi sama, kuotanya juga 90 persen dalam zona, 10 persen di luar zona, lima persen untuk berprestasi, lima persen untuk alasan khusus ditentukan sekolah masing-masing."

Dalam konteks tersebut, Hamid menyampaikan dirinya telah meminta setiap daerah membuat zonasi dan menyesuaikannya dengan jumlah calon peserta didik. Zonasi tersebut, kata Hamid, tak hanya dipakai untuk menentukan jumlah kuota siswa di masing-masing sekolah, melainkan juga salah satu acuan Kemendikbud untuk merevitalisasi sekolah di berbagai daerah.

Baca juga artikel terkait PPDB atau tulisan lainnya dari Hendra Friana

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Hendra Friana
Editor: Jay Akbar