tirto.id - Tahun 2016 adalah tahun menggembirakan bagi pembaca buku-buku berbahasa Indonesia. Ada Hidup di Luar Tempurung, memoar pakar Asia Tenggara Benedict Anderson terbitan Marjin Kiri, yang menguraikan latar belakang keluarga dan lingkungan serta pendidikannya hingga pengalaman riset di Indonesia, Thailand, dan Filipina. Buku itu diterjemahkan Ronny Agustinus ke dalam bahasa Indonesia yang plastis dan enak dibaca, seakan-akan ia memang ditulis Anderson dalam bahasa Indonesia.
Bentang Pustaka, penerbit dari ibukota perbukuan Republik, Yogyakarta, juga merilis memoar yang menarik pada 2016. Salah satunya: terjemahan The Seven Good Years karya pengarang Israel Etgar Keret.
Adam Wilson menulis di New York Times: jika buku-buku kumpulan cerita pendek Keret seperti album punk rock yang bagus: ngebut, asyik, dan dapat mengundang sejumlah kecil pengikut setia—yang sanggup menggores telapak tangan masing-masing sambil berikrar pejah gesang nderek Pak Etgar, The Seven Good Years menawarkan kesinambungan naratif. Buku itu secara ajek menampilkan kegembiraan dan keharuan personal Keret yang berkelindan dengan politik pemerintahan Benjamin Netanyahu serta ketakutan menahun orang-orang Israel terhadap ancaman rudal, bom bunuh diri, dan serbuan milisi bersenjata.
“Aroma kematian di Timur Tengah lebih kuat ketimbang di mana pun di planet ini,” tulis Keret.
Dari kategori fiksi, Bentang Pustaka menerbitkan terjemahan The Black Book, yang lazim dianggap sebagai salah satu novel Orhan Pamuk paling rumit, dan The Circle karya Dave Eggers, novel distopia posmodern yang membayangkan bagaimana seandainya perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti Google dan Facebook memutuskan mengadopsi cara berpikir pemerintah Britania Raya dalam novel klasik George Orwell, 1984, dan membikin pahit hidup kita semua.
Gramedia Pustaka Utama (GPU) menerbitkan terjemahan seri novel grafis Barefoot Gen karya Keiji Nakazawa. Cerita yang semula muncul sebagai rangkaian komik strip itu menampilkan kehidupan seorang bocah laki-laki Jepang di sekitar Perang Dunia II. Barefoot Gen menampilkan detail-detail visual yang serba grotesk, mulai dari orang-orang yang berkeliaran dengan tubuh meleleh hingga adegan seorang ibu yang menyuapi anaknya yang sekarat dengan serbuk tulang manusia.
Tentu tak semua bacaan menarik tahun ini datang dari luar negeri. Goenawan Mohamad, salah satu penyair terbaik dalam sejarah sastra Indonesia, menghimpun 25 puisi baru yang ia tulis dalam rentang 2003 hingga 2016 dan menerbitkannya sebagai Fragmen.
Buku itu mungkin tak istimewa bila dibandingkan dengan delapan buku kumpulan sajak lain milik si penyair, tapi, ketika banyak orang di sekeliling kita termehek-mehek membaca Love and Misadventure karya Lang Leav, yang baik edisi berbahasa Inggris maupun terjemahan bahasa Indonesianya tak lebih puitis ketimbang pengumuman kelurahan, karya-karya baru Mohamad jelas merupakan penghiburan.
Penghiburan lain bagi para pembaca puisi Indonesia adalah Pendidikan Jasmani dan Kesunyian karya Beni Satryo yang diterbitkan EA Books dan Sergius Mencari Bacchus karya Norman Erikson Pasaribu (GPU). Buku pertama mungkin akan mengingatkan sebagian pembaca kepada semangat bermain-main dan komedi gelap yang diangkut puisi-puisi Yudhistira ANM Massardi dan Joko Pinurbo—ketika Jokpin sendiri sibuk membongkar kardus-kardus arsip mewakili para penggemarnya dan mahasiswa jurusan sastra Indonesia, kemudian menerbitkan sebagian temuannya dalam Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (GPU).
Sergius Mencari Bacchus adalah pemenang Sayembara Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2015. Mikael Johani, salah seorang juror sayembara itu, menyatakan dalam esainya “Stop Asking is This Puisi, No one’s Interested in Your Answer” bahwa buku itu “bisa menjadi sangat penting karena ia mendobrak tabu tentang tema queer dalam puisi Indonesia.” Dan di luar perkara tema, Sergius menarik karena ia ditulis dalam gaya “puisi pengakuan” atau “confessional poetry” yang jarang digunakan penyair Indonesia, dengan acuan-acuan yang bukan cuma kolam lele atau hutan kampung sebelah.
Pada 2011, kumpulan cerita pendek Rumah Kopi Singa Tertawa memasuki pasar buku Indonesia dan pasar adem-adem saja. Beberapa tahun kemudian, sejumlah kecil pembaca mengaku menyesal karena terlambat mengetahui keberadaan buku tersebut. Penyesalan itu menular dengan cepat. Maka, ketika Yusi Avianto Pareanom, penulis buku itu, menerbitkan novel Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi, ribuan orang menyerbu lapak-lapak buku. Mereka membicarakan Raden Mandasia, yang diolah dari sekeping cerita dalam Babad Tanah Jawi, seperti membicarakan seks hebat yang cuma dialami oleh satu dari seribu orang dan terjadi sekali dalam seribu pekan.
Bagaimana dengan tahun depan? Apa saja kah buku-buku menarik yang bakal terbit?
Berdasarkan informasi dari sejumlah penerbit dan pekerja buku, ditambah kesempatan di sana-sini buat mengintip naskah yang sedang digodok oleh penulis yang punya reputasi sebagai penghasil karya-karya bagus, Tirto.id menyusun perkiraan yang, meski tak lengkap—sebab kami tak datang dari masa depan, sekiranya dapat dijadikan gambaran kecil tentang perbukuan sekaligus panduan belanja bagi pembaca buku-buku berbahasa Indonesia pada 2017.
“Bumi, langit dan angkasa raya bukan lagi kotak-kotak bersekat, begitu pula lapis-lapis waktu. Para tokoh naskah novel ini bertualang ke ruang angkasa, bolak-balik antara Bandung abad ke-21 dan Auschwitz 1944, lalu kembali lagi ke angkasa yang lepas dari perhitungan waktu manusia. Cerita bergerak berdasarkan penuturan sebuah bus kota dengan tokoh utama seorang anak lelaki yang disapa 'Beliau' dan punya kekuatan Ilahiah dalam menciptakan segala sesuatu.”
Demikianlah Dewan Juri Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2016 (Bramantyo, Seno Gumira Ajidarma, dan Zen Hae) menggambarkan Semua Ikan di Langit karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie, naskah pemenang perlombaan tersebut. Mereka menyebutnya “ditulis dengan kemampuan berbahasa di atas rata-rata para peserta Sayembara kali ini”, “unggul dalam pengorganisasian setiap elemen novel”, dan sanggup “terus membawa pembaca dalam arus metafora yang berbinar di setiap titiknya.”
Ziggy adalah pengarang novel Di Tanah Lada, yang menjadi juara kedua dalam Sayembara Novel DKJ 2014. Cerita dalam novel itu dituturkan oleh bocah perempuan berumur enam tahun yang memandang dunia dan memahami kenyataan di sekitarnya lewat kamus. Meski di beberapa bagian novel itu kurang bisa dipercaya karena karakter si bocah terkesan kelewat pandai untuk usianya, dan urut-urutan peristiwa kadang membingungkan, Di Tanah Lada adalah bacaan yang mengasyikkan karena penuturannya unik. Mengingat penjelasan Dewan Juri yang memenangkan Semua Ikan di Langit, agaknya novel yang bakal diterbitkan Grasindo itu lebih bagus ketimbang pendahulunya.
Dari sayembara yang sama, ada satu lagi novel yang tampak menjanjikan: 24 Jam Bersama Gaspar karya Sabda Armandio. Cerita dalam novel itu berpusat pada rencana dan usaha Gaspar buat merampok pecahan meteorit bertuah milik juragan toko emas. Seperti Danny Ocean dalam film Ocean's 11, ia dibantu oleh beberapa tokoh lain. 24 Jam Bersama Gaspar dituturkan oleh Arthur Harahap, manusia ajaib yang dapat melintasi ruang dan waktu sesukanya seperti Nabi Khidir, dalam narasi yang berselang-seling dengan wawancara polisi. Novel itu akan diterbitkan oleh Buku Mojok.
“Setiap bagian dimulai dengan semacam repetisi tentang peristiwa yang akan berlangsung, tetapi kemudian melebar ke arah yang tidak terduga. Dialog tokoh-tokohnya tampak berbobot, mengena, dengan alusi yang mengarah ke semesta dunia,” tulis Dewan Juri.
Tahun 2017 juga akan diisi terjemahan karya-karya bermutu. Beberapa di antaranya kumpulan cerita pendek Runaway karya Alice Munro, pemenang Nobel Sastra 2013; novel The Name of the Rose karya Umberto Eco (cetak ulang); dan Reunion karya Alan Lightman. Dua judul pertama akan diterbitkan Bentang Pustaka, sedangkan yang terakhir oleh Penerbit Banana.
Ada pula kabar gembira untuk para penggemar Seno Gumira Ajidarma, Eka Kurniawan, dan Intan Paramaditha. GPU akan menerbitkan novel baru Seno berjudul Drupadi, kumpulan cerita pendek baru Eka Kurniawan, dan novel perdana Intan sekaligus buku fiksinya yang ketiga—setelah Sihir Perempuan yang terbit sebelas tahun silam dan Spinner of Darkness & Other Tales, kumpulan cerita dalam tiga bahasa yang merupakan bagian dari proyek pemerintah Indonesia buat Frankfurt Bookfair 2015. Judul buku-buku baru Eka dan Intan masih dirahasiakan.
Sejumlah buku lawas sastra Indonesia yang lazim dianggap penting dan berpengaruh akan diterbitkan ulang. Sapardi Djoko Damono, yang beberapa tahun belakangan mengelola sendiri penerbitan buku-bukunya lewat Editum, mengoper hak siar enam buku kumpulan puisi plus satu novelnya kepada GPU. Sementara itu, Bentang Pustaka berencana mencetak ulang Jazz, Parfum, dan Insiden karya Seno Gumira Ajidarma.
Di luar rangkaian kabar yang besar kemungkinan bakal terwujud itu, ada juga desas-desus tentang dua novel menarik yang bakal terbit pada 2017: Anak-Anak Gerhana karya Yusi Avianto Pareanom dan Medan Perang karya AS Laksana.
Dalam satu acara di toko buku Post di Pasar Santa, Jakarta, pada Juli 2016, Yusi membacakan bagian pembuka Anak-anak Gerhana. Meski melibatkan deskripsi soal matahari, preambul itu jauh dari membosankan. Ia menampilkan gambaran yang suram, menekan, sekaligus menggelikan (ada papan nama jalan yang mencong sehabis diajak berkelahi oleh seseorang) di suatu kampung di Semarang pada 1980-an ketika matahari terbungkus gerhana. Dalam sejumlah kesempatan, Yusi mengatakan bahwa novel itu mengisahkan pengalaman generasinya tumbuh di bawah bayang-bayang kekuasaan Orde Baru. Dan dalam beberapa kesempatan lain, sewaktu didesak oleh para pembacanya yang kelihatan beringas, ia bilang naskah itu sebetulnya sudah selesai dan sedang diperiksa kembali.
Demikian pula Medan Perang: cerita panjang yang pernah diterbitkan secara berkala di Koran Tempo dan sudah dinantikan para pembaca selama belasan tahun. Sebagian orang yang menunggu itu kalem saja karena mereka percaya bahwa cerita itu akan muncul begitu ia mencapai bentuk terbaiknya dan sebagian lagi bertingkah seperti orang yang hidungnya kemasukan semut rangrang dan terus-terusan merongrong si pengarang.
“Novel kelarin, malah ternak lempung,” ujar pemilik akun Twitter @arman_dhani pada 20 Desember lalu kepada @aslaksana. Sekitar dua bulan sebelumnya, ia bersenandika: “Dulu AS Laksana sregep nulis novel. Sekarang sibuk menggandakan alasan.”
"Mungkin perlu daftar satu lagi: naskah-naskah yang di tengah jalan dibenci oleh pengarangnya sendiri,” kata AS Laksana ketika kami menanyakan keadaan Medan Perang dan memberitahunya tentang daftar ini. “Atau, daftar para penulis yang ingin bunuh diri tiap pagi.”
Medan Perang, sejauh yang kami ketahui dari potongan-potongan yang dibagikan oleh penulisnya, adalah cerita berbingkai. Pusatnya adalah Walmiki, pria berotak burung yang berkelana buat mencari satu-satunya orang yang ia tahu senang mendengarkan kisah-kisah tentang pergumulannya dengan pelacur semasa mereka belajar di sekolah menengah. Beginilah penutup Bab Satu novel itu:
“Aku datang mencari Alit. Sampai enam tahun kemudian, ketika seorang pemimpin tarekat membakar diri bersama para pengikutnya, aku masih tetap di kota ini, pedih dan tersiksa dan kehilangan kawan baik tepat pada hari aku menemukannya. Aku menyimpan keyakinan bahwa Syekh pemimpin tarekat itu adalah Alit—orang yang lebih dekat kepadaku dibandingkan urat leherku sendiri, namun ia tidak mengakuiku sebagai kawannya.”
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Fahri Salam