tirto.id - Selain narasi soal melajang, keputusan untuk tidak memiliki anak (childfree) sebagai pilihan hidup kerap memantik debat tak berkesudahan. Jika pertanyaan "kenapa" lazim ditujukan kepada mereka yang memilih childfree, sekarang mari kita balik posisinya, apa alasan mereka yang mau memiliki anak?
Beberapa tahun lalu di tengah wawancara dengan seorang ginekolog, obrolan kami menyerempet tentang pandangan bereproduksi, melahirkan keturunan. Si dokter bilang berdasar pengalaman praktiknya, jamak pasangan ketar-ketir ketika belum hamil meski usia pernikahan mereka baru 3-6 bulan.
Jangan naif, akui saja bahwa omongan saudara, tetangga, dan lain-lain kerap membikin risau masalah peranakan kita. Biasanya satu atau dua bulan setelah nikah, ada saja celetukan usil mampir ke telinga, "sudah isi belum?"
Jika menjawab "belum" maka nasihat panjang, sekalipun tidak diminta, akan keluar. Pengalaman saya adalah disarankan minum pelbagai jenis jamu atau pergi ke tukang urut, alih-alih rekomendasi dokter untuk program hamil. Jangan tanya seberapa panjang wejangan jika menjawab "menunda dulu" atau "saya childfree".
Masa sih keinginan memiliki anak dimotivasi oleh konstruksi mayoritas: bahwa orang menikah ya lazimnya cepat-cepat punya anak.
Dalam logika rasional saya, seharusnya pertanyaan "kenapa" bukan mampir kepada pasangan yang memilih "menunda" anak atau pro childfree. Sebab pilihan mereka dibuat secara sadar dan matang: tidak mau menambah jejak karbon, pertimbangan kesehatan, latar belakang keluarga, finansial, sampai alasan emosional dan kemanusiaan.
Sementara saya cukup yakin akan ada banyak pasangan yang bingung ketika ditanya alasan memiliki anak. Sejauh ini jawaban yang saya temukan justru retorika belaka--yang lain malah seperti bisnis karena menjadikan anak sebagai investasi hari tua. Kira-kira begini simulasi jawabannya:
“Untuk apa menikah jika tidak punya anak?” Padahal jika cuma mau berkembang biak, tak menikah pun bisa.
“Kalau nggak punya anak, siapa yang ngurus kita nanti?” Setelah punya anak, yakin si anak mau urus kita?
“Supaya ada hiburan, garis keturunannya nggak putus, ada yang melanjutkan impian, dsb.” Mereka silap, anak bukan benda mati, bukan nyawa kedua yang bisa meneruskan ambisi orang tua.
Obrolan singkat bersama ginekolog narasumber saya kala itu selalu menancap di ingatan. Di akhir percakapan kami, si dokter senyum dan bilang:
“Tuhan nggak menjadikan reproduksi sebagai kewajiban. Jangan sampai kamu nggak tahu apa tujuanmu punya anak dan hanya menjadikan anakmu sebagai display semata.”
Sudah Siap Jadi Orang tua?
Berapa banyak pasangan yang benar-benar matang merencanakan kehamilannya? Seluruh aspek: pengetahuan sebagai orang tua, kesehatan pasangan terutama calon ibu, dan mental tentu saja.
"Mau punya anak" bukan hanya perkara menikah, berhubungan seksual, lalu hamil, dan melahirkan. Kenyataan menunjukkan bahwa mayoritas pasangan punya anak tanpa perencanaan matang. Fakta ini diungkap oleh Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dalam gelaran diskusi virtual yang diinisiasi Rutgers, organisasi yang fokus pada isu Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR), serta pencegahan Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS).
“Data kita mengatakan mayoritas pasangan tidak mau punya anak di 1-2 tahun pertama [pernikahan]. Tapi kebobolan karena tak pakai kontrasepsi, mereka tidak memprediksi kelahiran anaknya,” kata Hasto Wardoyo, Kepala BKKBN.
Persiapan untuk punya anak harus dimulai jauh-jauh hari, bahkan sejak remaja. Begitu setidaknya menurut Endang Laksminingsih, ahli gizi sekaligus Kordinator Positive Deviance Resource Center (PDRC), lembaga di Universitas Indonesia yang fokus menggali masalah nutrisi dan kesehatan.
“Sejak remaja, berat badan harus ideal dan tidak anemia. Kapan pun ia hamil, sudah punya cadangan gizi di minggu pertama kehamilan,” jelas Endang.
Perempuan yang berencana hamil tubuhnya harus siap dengan cadangan gizi untuk perkembangan embrio nanti. Sebab setelah terjadi pembuahan, calon organ tubuh mulai terbentuk sampai janin berusia 8 minggu. Celakanya pada periode ini banyak perempuan tidak sadar tengah mengandung.
“Padahal, kekurangan gizi di masa itu tak bisa ditambal di masa mendatang,” imbuhnya.
Kekurangan gizi kronis (KEK) dan anemia saat hamil sangat dipengaruhi pola tubuh saat remaja. Jika ketika remaja anemia atau kurus, maka risiko ini kemungkinan besar berlangsung sampai kehamilan. Walhasil cadangan energi tak cukup, pertumbuhan janin tak optimal, dan berpengaruh pada kondisi prematur.
Pertanyaannya, seberapa sering Anda pergi ke fasilitas kesehatan untuk cek kadar hemoglobin (Hb) dan Lingkar Lengan Atas (LILA)? Jarang atau malah baru mendengar istilah tersebut sekarang?
Risiko kekurangan gizi kronis dapat dideteksi dari pengukuran LILA di setengah jarak antara pundak dan siku di lengan kiri atas. Batas ambang LILA adalah 23,5 cm, di bawah itu artinya KEK dan berisiko menghasilkan bayi berat lahir rendah (BBLR). Sementara kadar Hb digolongkan normal jika berkisar di angka 12 g/dL.
Sekarang mari kita lihat profil umum perempuan yang "siap" secara gizi untuk memiliki anak. Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018 secara umum 14,5 perempuan tidak hamil menderita KEK, jumlahnya bertambah menjadi 17,3 pada kategori hamil. Hampir 30 persen perempuan Indonesia juga menderita anemia.
Gejolak Setelah Persalinan
Pembahasan di atas baru tahap awal persiapan gizi menjadi seorang ibu. Kita belum membahas persiapan mental menghadapi kehamilan, dan yang paling berat pasca-melahirkan. Dulu, sebelum hamil dan punya anak, saya sempat bingung, kenapa ibu hamil harus diprioritaskan dalam segala hal, temasuk berbagi tempat duduk.
Saya pikir hamil cuma perkara menambah beban di perut, ya 10-15 kg mungkin setara memanggul tas berisi tenda dan perlengkapan mendaki gunung. Tapi ternyata selain tambah berat, hamil juga membuat emosi naik turun, punggung serasa mau patah, sesak napas, nyeri terbakar di bagian dada. Setiap hari!
Sebuah studi bertajuk “Psychosocial Stress During Pregnancy” menemukan fakta bahwa 78 persen perempuan perkotaan mengalami stres psikososial ringan saat kehamilan. Sementara yang mengalami stres tingkat tinggi saat hamil proporsinya mencapai 6 persen.
“Kecemasan dalam kehamilan memicu kelahiran prematur, berimplikasi buruk bagi perkembangan saraf janin, dan bayi berat lahir rendah,” terang penelitian lain dari Schetter dan Tanner.
Setelah melahirkan tantangan justru bertambah. Para ibu baru bergulat dengan letih kurang tidur karena bayi harus menyusu setiap satu jam, ditambah gejolak emosi yang naik turun akibat efek hormonal. Depresi pasca-persalinan (PPD) menimpa 10-20 persen perempuan dan lebih dari setengahnya tidak terdiagnosis.
Karena terlalu fokus pada persiapan kelahiran dan baru punya bekal ilmu parenting seadanya, orang tua baru sering “kepleset” menerapkan pola asuh. Memberi makan bayi di bawah enam bulan dengan pisang, atau menjemur bayi di bawah terik matahari tanpa sehelai baju, adalah sejumlah contoh tentang minimnya pengetahuan ibu baru. Contoh keliru lainnya adalah membedong bayi kuat-kuat dan meneteskan air rendaman bunga telang ke mata. Kelakuan para orang tua ini tidak memiliki dasar empiris atau tidak direkomendasikan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), tapi tetap dipraktikkan karena alasan warisan turun-temurun dan kurang wawasan.
Kehamilan Remaja
Di Indonesia persoalan punya anak tak bisa dilihat secara tunggal, namun multidimensi. Selain isu childfree, ada faktor lain yang menjadikan perencanaan kehamilan perlu dilakukan. Apalagi Indonesia punya angka kehamilan remaja yang tinggi.
Setidaknya terdapat sekitar 31 persen perempuan yang melahirkan pertama kali pada usia di bawah 20 tahun, alias remaja. Data Riskedas 2018 menyebut remaja Indonesia di rentang umur 10-19 tahun pernah hamil, dan 25,2 persennya tengah hamil ketika survei dilakukan.
“Dari 3 perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun, dua orang hamil di periode yang sama,” terang perwakilan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Bali, Ni Luh Eka Purni Astuti dalam diskusi terbatas yang diadakan Rutgers.
Dilihat dari status gizi, proporsi anemia pada ibu hamil paling banyak didominasi kelompok umur remaja (15-24 tahun), yakni 84,6 persen. Kemudian pada kelompok perempuan hamil yang lebih muda dengan rentang 15-19 tahun mengalami kurang energi kronis sebanyak 33,5 persen.
Ketika menjajaki fase kehamilan di bawah usia 20 tahun, perempuan akan terhenti pertumbuhannya sehingga cenderung pendek dan mengalami tulang keropos. Diameter panggul juga tak maksimal seperti perempuan dewasa (mencapai 10 cm), sehingga berisiko panggul sempit dan dapat memicu komplikasi persalinan.
Lantaran memiliki banyak dampak negatif pada ibu dan anak, sementara perkawinan anak--yang berkorelasi dengan kehamilan remaja--angkanya belum bisa ditekan maksimal, maka saat ini fokus penyelamatan adalah menunda kehamilan remaja perempuan yang terlanjur menikah.
“Tunda sampai umurnya cukup [untuk hamil dan melahirkan],” kata Ni Luh.
Permasalahan kehamilan remaja harus diatasi dengan solusi sistemik, dimulai dari edukasi kesehatan reproduksi (kespro) hingga menghadirkan layanan kespro ramah remaja. Bukan bermaksud memberi penilaian buruk, namun kemampuan punya anak rasanya tidak selaras dengan kecakapan mengasuh anak.
Editor: Irfan Teguh Pribadi