Menuju konten utama

Hati-Hati Saat Membedong dan Menggendong Bayi

Sebanyak 90 persen kelainan ortopedi pada anak dapat sembuh dengan sendirinya. Namun, terlalu ketat membedong anak bisa membuat masalah fatal.

Hati-Hati Saat Membedong dan Menggendong Bayi
Ilustrasi tangis bayi. FOTO/REUTERS

tirto.id - Jangan kira hanya kecelakaan saja yang bisa membikin kelainan tulang dan sendi pada anak. Ragam kebiasaan yang mungkin terlihat sepele seperti menggendong, membedong, atau menggunakan baby walker ternyata merupakan salah satu faktor penyebab kelainan. Aktivitas itu, singkatnya malah membuat perkembangan motorik anak jadi terganggu.

“Dok, kaki anak saya kok bengkok, apa gara-gara waktu kecil jarang dibedong?”

Begitulah kira-kira pertanyaan sebagian orangtua ketika mengeluh soal kelainan tungkai pada anaknya. Banyak orangtua masih menggunakan teknik bedong dengan tujuan menghangatkan anak, selain untuk menjaga agar pertumbuhan kaki tetap lurus. Faktanya, aktivitas ini justru membikin dislokasi panggul pada anak.

Jika dilakukan terus menerus dan dalam jangka panjang, maka bedong bisa menyebabkan perbedaan panjang tungkai, sehingga anak berdiri atau berjalan miring. dr Faisal Miraj, Sp.OT, dokter spesialis bedah ortopedi anak RSPI mengatakan ketika kaki dirapatkan dengan bedong, kelenturan sendi panggul dipaksa bergeser ke depan dan menjadi kaku. Dislokasi panggul dapat dilihat secara kasat mata dengan ciri-ciri lipatan kulit bawah kaki tidak simetris.

“Ketika kedua tungkai disejajarkan, tingginya tak sama panjang,” ujar Faisal.

Saat berada di dalam rahim, kaki bayi berada dalam posisi menekuk dan menyilang, sehingga wajar bagi bayi berusia 0-3 bulan tungkainya masih cenderung berbentuk O. Pertumbuhan tungkai anak mulai cenderung X ketika menginjak umur 3-7 tahun. Perlahan, bentuk tungkai akan menjadi tetap dan lurus sampai usianya menginjak 12 tahun.

Selain berisiko mengalami dislokasi panggul, melakukan bedong terlalu ketat pada anak juga meningkatkan risiko kematian bayi mendadak atau Sudden Infant Death Syndrome (SIDS). Lazimnya, kasus ini terjadi karena bedong terlalu ketat, atau memakai bahan terlalu tebal, sehingga bayi kepanasan, sesak napas, dan susah bergerak. Dimuat laman Healthy Children, Rachel Moon, perwakilan American Academy of Pediatrics merekomendasikan pembedongan dilakukan longgar dan dihentikan sebelum umur 2 bulan.

“Bayi yang dibedong lebih sering tidur karena mereka susah bangun. Itu alasan bayi meninggal karena SIDS,” paparnya. Bedong masih bisa dikatakan aman, ketika dibuat dengan kain tipis, lembut, dan longgar, sehingga memungkinkan anak bergerak bebas.

Untuk mengatasi masalah dislokasi panggul pada anak, dokter Faisal menyarankan agar tungkai anak lebih sering diposisikan mengangkang. Selain itu, ia juga menganjurkan orangtua agar menerapkan cara menggendong anak yang tepat, yakni menghadap ke penggendong seperti berpelukan, yang disebut posisi M shape atau J shape.

“Kebiasaan lain yang perlu dihindari adalah menggunakan baby walker karena memaksa anak berjalan sebelum waktunya,” ujarnya. Penggunaan baby walker terbukti malah membikin perkembangan motorik bayi tertunda karena tulang dan sendi yang masih lentur dipaksa untuk siap berjalan.

Infografik Kelainan Tulang dan Sendi Pada Anak

Tak Perlu Resah Berlebih

Kelainan ortopedi pada anak dapat dibedakan menjadi dua jenis, bawaan (kongenital) dan kelainan yang didapat (acquired) setelah lahir. Kelainan kongenital diperoleh anak semenjak ia lahir, sementara kelainan acquired diperoleh karena kebiasaan, posisi bayi dalam rahim, dan laksitas ligamen. Namun, kebanyakan kelainan acquired pada anak merupakan variasi normal yang dapat dimaklumi.

Satu dari 80 anak juga lahir dengan laksitas, dan sebanyak 90 persen kelainan tersebut dapat sembuh dengan sendirinya. Misal: tungkai berbentuk O saat umur anak belum mencapai 3 tahun, atau tungkai berbentuk X saat anak berumur antara 3-7 tahun. Setelah melewati umur tersebut, lazimnya postur anak akan berubah normal, kecuali ia memiliki bakat bawaan laxity.

“Jadi orangtua tak perlu buru-buru bawa anak ke dokter, lihat dan cocokkan dengan tingkat pertumbuhan umurnya,” saran Faisal.

Selain tungkai bentuk O, tungkai bawah bentuk X, dan kaki datar, ada beberapa kelainan ortopedi lain pada anak, diantaranya Blount Disease, kaki menghadap ke dalam/luar, leher miring, dan dislokasi panggul. Obesitas menjadi salah satu faktor kelainan tungkai O karena tungkai sebagai penopang tak mendapat beban tubuh yang seimbang.

Selama Faisal menjadi dokter spesialis bedah ortopedi anak, ada beberapa kelainan yang sering dikeluhkan para orangtua tentang anaknya. Kaki berbentuk O dan telapak kaki datar menyumbang 40-60 persen keluhan. Sementara kaki O masih dianggap normal sampai usia 3 tahun, keluhan telapak kaki datar dapat diatasi dengan memberi terapi lempengan berbentuk alas kaki.

Jamaknya, kelainan acquired pada anak dapat ditangani dengan terapi karena anak masih memiliki laksitas dan lempeng pertumbuhan. Lempeng ini berada di bawah tulang paha, di ujung-ujung tulang panjang. Bagian yang paling besar berada di sekitar lutut dan mulai hilang ketika anak laki-laki menginjak usia 18 tahun, sementara anak perempuan 16 tahun.

Di akhir perbincangan dr. Faisal memberi saran kepada para orangtua agar memperhatikan kesesuaian pertumbuhan anak, sebab tak semua kelainan harus dirisaukan berlebih. Namun, perlu juga bagi mereka segera memeriksakan anak ketika pertumbuhannya tak sesuai standar normal. Penanganan telat bisa membikin terapi sederhana berubah menjadi tindakan operasi.

Baca juga artikel terkait BAYI atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani