tirto.id - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menduga pencemaran parasetamol di Teluk Jakarta berasal dari tiga sumber, yaitu ekskresi akibat konsumsi masyarakat yang berlebihan, rumah sakit dan industri farmasi.
Anggota peneliti BRIN, Zainal Arifin mengatakan jumlah penduduk yang tinggi di kawasan Jabodetabek dan jenis obat yang dijual bebas tanpa resep dokter memiliki potensi sebagai sumber kontaminasi di Teluk Jakarta.
"Sedangkan sumber potensi dari rumah sakit dan industri farmasi dapat diakibatkan sistem pengelolaan air limbah yang tidak berfungsi optimal, sehingga sisa pemakaian obat atau limbah pembuatan obat masuk ke sungai dan akhirnya ke perairan pantai,” kata Zainal dalam diskusi daring, Senin (4/9/2021).
Zainal menjelaskan hal tersebut diketahui setelah BRIN dan University of Brighton UK meneliti kualitas air laut di beberapa situs terdominasi limbah buangan. Hasil studi tersebut dimuat dalam jurnal Marine Pollution Bulletin berjudul “High concentrations of paracetamol in effluent dominated waters of Jakarta Bay, Indonesia”.
Hasil riset Dr. Wulan Koagouw (BRIN, UoB), Prof. Zainal Arifin (BRIN), Dr. George Olivier (UoB), dan Dr. Corina Ciocan (UoB) ini menginvestigasi beberapa kontaminan air dari empat lokasi di Teluk Jakarta yaitu: Angke, Ancol, Tanjung Priok, dan Cilincing; serta satu lokasi di pantai utara Jawa Tengah yakni Pantai Eretan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa parameter nutrisi seperti Amonia, Nitrat, dan total Fosfat, melebihi batas Baku Mutu Air Laut Indonesia. Selain itu, Parasetamol terdeteksi di dua situs, yakni muara sungai Angke (610 ng/L) dan muara sungai Ciliwung Ancol (420 ng/L), keduanya di Teluk Jakarta.
Konsentrasi Parasetamol yang cukup tinggi meningkatkan kekhawatiran tentang risiko lingkungan yang terkait dengan paparan jangka panjang terhadap organisme laut di Teluk Jakarta.
“Kami melakukan dua lokasi utama, yaitu di Teluk Jakarta dan Teluk Eretan. Kosentrasi paracetamol tertinggi ditemukan dipesisir Teluk Jakarta, sedangkan di Teluk Eretan tidak terdeteksi alat,” ucapnya.
Hasil penelitian menunjukkan, jika dibandingkan dengan pantai-pantai lain di belahan dunia, konsentrasi Parasetamol di Teluk Jakarta adalah relatif tinggi (420-610 ng/L) dibanding di pantai Brazil (34. 6 ng/L), pantai utara Portugis (51.2 – 584 ng/L).
Meskipun memerlukan penelitian lebih lanjut, namun beberapa hasil penelitian di Asian Timur, seperti Korea Selatan menyebutkan bahwa zooplankton yang terpapar paracetamol menyebakan peningkatan stress hewan dan oxydative stress, yakni ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dengan sistem antiosidan yang berperan dalam mempertahankan homeostasis.
Sisa atau limbah obat-obatan atau farmasi memang seharusnya tidak ada di dalam air sungai dan air laut.
“Tugas setiap kita baik industri maupun masyarakat, untuk menjaga kesehatan manusia dan juga kesehatan lingkungan termasuk laut. Semua itu agar kita dapat hidup lebih bermakna,” ungkapnya.
Zainal menyarankan agar pemerintah menguatkan regulasi tata kelola pengelolaan air limbah baik untuk rumah tangga, komplek apartemen, dan industri.
"Sedangkan dalam pemakaian produk farmasi seperti obat dan stimulan, publik perlu lebih bertanggung jawab, misalnya tidak membuang sisa obat sembarangan. Ini yang nampaknya belum ada, perlu ada petunjuk pembuangan sisa-sisa obat,” ujarnya.
Adapun mengenai bahaya Parasetamol tersebut terhadap lingkungan, peneliti BRIN lainnya, Wulan Koaguow mengaku perlu riset lebih lanjut. Namun, bila konsentrasinya selalu tinggi dalam jangka panjang bakal berdampak buruk bagi hewan-hewan laut.
Hasil penelitian di laboratorium yang BRIN lakukan, kata Wulan, menemukan bahwa pemaparan parasetamol pada konsentrasi 40 ng/L telah menyebabkan atresia pada kerang betina dan reaksi pembengkakan.
"Penelitian lanjutan masih perlu dilakukan terkait potensi bahaya paracetamol atau produk farmasi lainnya pada biota-biota laut,” ucapnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan