tirto.id - Direktur Utama Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Fahmi Idris membantah pemutusan kerja sama dengan sejumlah rumah sakit karena defisit keuangan.
“Kontrak berhenti bukan karena ada hubungannya dengan defisit. Ini murni kesepakatan antar kedua pihak yang membutuhkan syarat-syarat tertentu, namun tidak terpenuhi,” kata Fahmi di Kementerian Kesehatan, Jakarta pada Senin (7/1/2019).
Usai pemutusan kontrak, menurut data BPJS Kesehatan, ada 341 rumah sakit yang telah berkomitmen untuk memenuhi akreditasi hingga 30 Juni 2019. Kemudian, ada dua rumah sakit sudah terakreditasi, tapi juga diputus kontrak.
Menurut Fahmi, pemutusan kontrak dengan rumah sakit lantaran tidak memenuhi persyaratan yang bersifat kredensial. Di antaranya, keberadaan surat izin operasional, akreditasi dan wanprestasi.
Dalam perjanjian, kata Fahmi, minimal dua aspek pelanggaran, BPJS Kesehatan bisa memutus kontrak, kemudian kontrak berlanjut setelah rumah sakit memenuhi persyaratan.
“Ini kan jadi isunya ke mana-mana. Ada anggapan, penghentian kontrak dikaitkan dengan kondisi defisit keuangan. Padahal informasi itu salah. Kalau kami telat bayar pun, BPJS Kesehatan juga akan dihukum dengan bentuk denda 1 persen per bulannya,” jelas Fahmi.
Fahmi mengklaim pembayaran dari BPJS Kesehatan ke rumah sakit tetap berjalan sesuai ketentuan yang berlaku. Bila belum terbayarkan, kata dia, rumah sakit bisa menggunakan skema supply chain financing dengan mengambil alih invoice sebelum jatuh tempo pembayaran.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Zakki Amali