tirto.id - Setelah dihapuskannya tanam paksa pada 1870, para pengusaha perkebunan Eropa berdatangan ke Indonesia. Di Deli, Sumatera Timur, adalah tanah kejayaan bagi pengusaha perkebunan tembakau. Atau tanah Pariangan Jawa Barat yang terkenal dengan kebun-kebun teh. Selain dua tanaman itu masih ada karet, gula, kopi dan lainnya.
Perkebunan, alias onderneming itu, menyimpan cerita-cerita pahit, mulai dari sewa tanah yang amat murah sampai eksploitasi kulinya yang juga kejam dengan sebutan Poenale Sancti. Cerita manisnya, ada ditemukan di perkebunan milik Bosscha.
Hingga saat ini cerita tentang tuan kebun, nyaris selalu terdengar buruk dalam sejarah perkebunan di Hindia Belanda. Sejarawan Belanda Jan Breman, dalam karyanya Menjinakkan Sang Kuli (1997), mencatat cerita kejam perkebunan kepada kuli perempuan. Kuli perempuan yang dianggap mengesalkan pihak perkebunan seringkali dihukum dengan olesan cabai di vagina. Belum lagi cerita atau gambar seorang kuli dibuka celana bagian bokongnya lalu dicambuk rotan.
Namun, di lahan yang dikelola oleh tuan kebun bernama Karel Albert Rudolf Bosscha, belum terdengar cerita macam ini hingga sekarang. Sebagian orang di Bandung, Lembang dan Pangalengan tahu bahwa Bosscha yang kaya-raya karena perkebunan dan pabrik tehnya di Malabar, Pangalengan, adalah sosok tuan kebun dermawan.
Menurut Her Suganda, dalam Wisata Parijs van Java (2014), Bosscha telah mendirikan sekolah dasar vervoolgschool untuk anak-anak petani di kebunnya, menyumbang untuk membangun kampus ITB dan membangun observatorium Bosscha yang terkenal itu.
Bosscha termasuk salah satu pendukung politik etis yang diterapkan di Hindia Belanda sejak 1900. Salah satu butirnya terkait pembangunan pendidikan untuk orang-orang pribumi. Meski sekolah dasar yang dibangun derajatnya di bawah sekolah-sekolah untuk anak-anak Eropa atau para pembesar kala itu, akan tetapi tak banyak orang Belanda yang seperti sosok Bosscha yang peduli pada sekelilingnya.
KAR Bosscha adalah putra dari fisikawan Belanda Prof Dr J Bosscha Jr dan ibunya Paulina Emilia Kerkhoven. Ayahnya pernah jadi direktur Sekolah Tinggi Teknik Delft. Sebagian masa mudanya sempat diisi dengan kuliah teknik sipil, meski tidak lulus. Laki-laki kelahiran s-Gravenhage 15 Mei 1865 ini berlayar ke Jawa di usia 22 tahun.
Menurut buku All About Tea (2016) karya Willem Ulkers, Bosscha berlayar di Desember 1887. Dia ditampung pamannya, Eduard Julius Kerkhoven, yang sudah mengelola perkebunan di Sinagar, dekat Sukabumi. Ia sempat juga ke Kalimantan Barat, mencari kemungkinan eksplorasi emas. Namun, pada 1892 dia kembali lagi ke pamannya, ikut mendirikan dan menjadi pengawas dari perusahaan telepon di Priangan. Dia lalu membangun perkebunan di Malabar, di Pangalengan, pada 1896. Tak hanya kebun teh saja tapi kemudian melengkapi dengan laboratorium dan pabriknya.
“Di bawah pengawasan K. A. R Bosscha, Pangalengan, sebagai lahan perkebunan teh yang dapat memproduksi teh yang berkualitas dan mampu bersaing dengan teh dari Cina, India dan Srilangka,” kata Sejarawan Jawa Barat Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya Pemberontakan Tentara Peta di Cileunca, Pangalengan (1996).
Bisnis teh membuat Bosscha kaya raya tapi tetap jadi sosok yang dermawan. Sekolah di dalam kebunnya dan kampus penting di Jawa Barat dia juga ikut bantu pembangunannya. Salah satu sumbangannya kepada sekolah tinggi teknik pertama di Indonesia adalah sebuah ruangan kuliah yang dikenang sesuai namanya: Ruang Bosscha. Dengan uangnya yang berlimpah dia juga bisa mewujudkan obsesinya akan observasi bintang.
“K.A.R. Bosscha, raja teh, salah satu orang Belanda terkaya di koloni itu. Bosscha tinggal di pekarangannya di Malabar, sebuah bukit dekat Bandung dan Lembang,” tulis Mrazek dalam Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006).
Menurut Rudolf Mrazek, demi obsesinya pada ilmu perbintangan, pertengahan 1920-an, Bosscha mewujudkan sebuah tempat yang dikenang terus menerus. “Sudah membawa sejumlah mesin yang menakjubkan ke bukit itu.”
Bukit yang dimaksud adalah bukit yang kini menjadi observatorium Bosscha, Lembang, Bandung Utara, Jawa Barat. Menurut Her Suganda, bukit itu semula milik keluarga Ursone, yang kaya sebagai pengusaha susu di Lembang. Bukit itu berada di kaki Gunung Tangkuban Perahu, dengan ketinggian 1.300 di atas permukaan laut, berudara sejuk dan tenang kala itu.
Bosscha dan kolega-koleganya mulai mengusahakan pembelian beberapa teropong bintang raksasa, yang sangat mahal harganya, dari Jerman. Mereka membeli peralatan mewah kala itu di tengah hancurnya ekonomi Jerman yang telah dipecundangi dalam Perang Dunia I dan Perjanjian Versailles.
Mrazek mencatat, mimpi besar Bosscha adalah membangun observatorium terbaik di bumi belahan selatan. “Pengamatan bintang-bintang di Lembang segera sama populernya dengan perjalanan penerbangan udara, kereta api dan perjalanan darmawisata udara,” tulis Mrazek dalam bukunya.
Majalah terbitan Balai Poestaka, Pandji Poestaka edisi 5 Oktober 1928 mencatat bahwa Dewan Kotapraja Bandung, dalam sidangnya memutuskan Karel Albert Rudolf Bosscha sebagai warga utama dari Kotapraja Bandung. Bosscha dianggap telah memberi sumbangan besar bermanfaat bagi Kota Bandung. Setidaknya, Bosscha telah memberikan tanah seluas 25.000 meter persegi di belakang rumah sakit Juliana untuk kankerinstituut (institut kanker). Bosscha juga menyumbang uang sebesar f. 200.000.
“Peninggalannya berupa kebun teh dan fasilitasnya seperti pabrik, pusat listrik tenaga mikrohidro, perumahan karyawan serta tempat tinggalnya hingga kini masih dipelihara PT Perkebunan Nusantara VIII,” tulis Her Suganda.
Observatoriumnya, meski sudah sangat terganggu dalam melihat bintang oleh banyaknya pemukiman, tetap menjadi observatorium terkenal di Indonesia. Nama Bosscha pun tetap melekat semenjak kematiannya 26 November 1928 dan dimakamkan di Malabar.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Suhendra