tirto.id - Gerakan Nasional Substitusi Impor Anggur (Gernas SIA) untuk mengurangi buah anggur impor sebesar 20% pada tahun 2030 dimajukan pencapaian targetnya pada tahun 2027. Optimisme Dirjen Hortikultura-Kementerian pertanian cukup beralasan, karena berbagai prasyarat penting bakal terpenuhi seperti: sumberdaya, aksesibilitas dan kerterjangkaunya. Namun tantangan utama Gernas SIA terletak pada sejauh mana pembangunan pertanian tidak hanya mengejar jumlah produksi, tetapi dapat mewujudkan kelembagaan yang inklusif, memiliki perspektif kesetaraan gender, dan berkelanjutan bagi masyarakat lokal.
Gernas SIA
Gerakan SIA diambil untuk mengurangi ketergantungan pada impor yang selama ini menyumbang sekitar 40% dari total konsumsi anggur di Indonesia. World Trade Integrated Solution (WITS) Bank Dunia menampilkan nilai impor anggur Indonesia sebesar USD 303,4 juta pada tahun 2022 atau lebih dari Rp 5 triliun dengan volume perdagangan sebesar 101.899-ton anggur per tahun.
Substitusi impor buah anggur dipilih sebagai target prioritas nasional dengan berbagai pertimbangan mendasar menyangkut aspek ekologi, kelembagaan, sosiologi dan ekonomi. Pertama, kesesuaian ekologis. Naturalisasi varietas anggur telah meluas. Ratusan varietas anggur dari berbagai negara manca telah dicoba dan ditanam diberbagai belahan bumi di negeri ini dengan ragam metode produksi yang beragam. Dengan proses naturalisasi tersebut, bibit anggur telah mampu beradaptasi dengan karakteristik unik setiap daerah, seperti ketersediaan air, jenis tanah, dan iklim lokal. Bahkan tanaman anggur berpeluang untuk ditanam di wilayah perkotaan dan pedesaan, baik lahan luas maupun terbatas. Lebih lanjut, proses pembuahan dimungkinkan untuk dipercepat sehingga produktivitas menjadi lebih baik.
Kedua, aspek kelembagaan. UU 29 Tahun 2000 Tentang Perlindungan Varietas Tanaman memandatkan tentang pentingnya pemuliaan tanaman secara lokal dan syarat syarat peredaran bibit yang harus terjaga dari aspek legal, kualitas dan jumlah. Oleh karena itu, Kementerian Pertanian telah memasuki sertifikasi varietas lokal tahap akhir di Jawa Timur. Varietas lokal yang telah beradaptasi di Kota dan Kabupaten Blitar dinamai lokal Jatinoman, Boekari, Takripan, dan Gurdisom.
Ketiga, aspek sosiologis. Hal ini tercermin pada maraknya komunitas petani anggur yang aktif, bahkan telah terbentuk paguyuban nasional, yakni Asosiasi Penggiat Anggur Indonesia (ASPAI). Komunikasi personal dengan Ketua ASPAI Blitar Jawa Timur, Heri Setiawan menyatakan komunitas petani anggur telah tersebar di banyak tempat dan membudidayakan varietas anggur yang beragam, mereka tersebar di Buleleng (Bali), Porbolinggo dan Blitar (Jawa Timur), Bogor dan Bandung (Jawa Barat), Konawe (Sulawesi Tenggara) dan Lombok (NTB). Boleh jadi lebih banyak lagi komunitas yang belum tergabung dalam asosiasi atau belum disapa oleh asosiasi.
Keempat, aspek ekonomi pertanian. Penelitian Ramadani (2022) menampilkan bahwa produksi buah anggur telah dikerjakan di hampir semua provinsi dengan rata-rata produksi 976 ton per tahun pada periode 2017-2021. Produksi terbanyak masih didominasi oleh lima Provinsi: Bali, NTB, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Anggur termasuk buah segar yang bernilai tinggi di pasaran, sehingga mampu meningkatkan pendapatan bagi para pekebun/petani. Data produksi tersebut masih jauh dari kebutuhan untuk mengganti kebutuhan konsumsi buah anggur impor.
Singkatnya gerakan nasional SIA memang pilihan strategis yang patut diapresiasi dan didukung, namun juga tetap penting mempertimbangkan bentuk pilihan etika lingkungan, kesetaraan, dan keseimbangan dalam sistem pembangunan.
Tantangan SIA
Tanaman anggur menjadi komoditas yang sangat potensial untuk dibudidayakan di Indonesia, terutama di daerah dengan iklim yang mendukung, namun sejumlah catatan perlu diberikan.
Mengejar produksi menuai ketimpangan. Program prioritas pemerintah seringkali lebih mengedepankan target pencapaian produksi dan pertumbuhan, sehingga berpotensi muncul adagium lama dari ekonom pembangunan, Profesor Herman E. Daly (1989): Production without Distribution. Langkah teknokratis mengedepankan keterukuran capaian program memang penting, tetapi bukan yang terpenting. Substansi penting pembangunan pertanian adalah kinerja keberlanjutan. Kinerja keberlanjutan merujuk pada aspek ekonomi, efisensi, efektivitas, relevansi, serta dampak jangka panjang yang harus diperkirakan. Kinerja keberlanjutan telah menjadi jargon politik ekplisit dalam berbagai belahan sektor dan bidang pembangunan sejak 2000-an, namun wujud nyatalingkungan pertanian yang tinggi emisi, kemiskinan dan ketimpangan, serta kelembagaan ekonomi ekstraktif masih dirasakan di komunitas.
Menciutnya lahan, distribusi dan aksesnya. Menciutnya lahan pertanian di Indonesia menjadi masalah serius yang berdampak pada ketahanan pangan dan distribusi sumber daya. Faktor penyebab utama menyempitnya lahan adalah alih fungsi lahan, pertumbuhan penduduk, dan perubahan iklim. Hal ini juga mempengaruhi produktivitas pertanian dan dapat menyebabkan lahan yang ada menjadi tidak produktif. Aspek distribusi juga harus menjadi perhatian, sebanyak 60% petani di Indonesia memiliki lahan kurang dari 0,5 hektare di luar Jawa dan di Jawa lahan kurang dari 0.24 hektare. Menciutnya lahan pertanian merupakan salah satu permasalahan yang dihadapi oleh usaha mikro kecil di sektor pertanian. Hal ini hendak menyatakan masyarakat lokal mungkin tidak memiliki akses yang memadai untuk berpartisipasi dalam kegiatan SIA tersebut. Akses lahan yang sempit menyebabkan ketidakstabilan dalam produksi dan pendapatan petani, bahkan secara regional sering menurunkan ketahanan pangan daerah.
Budidaya Anggur dan dampaknya. Budidaya anggur di daerah semi-urban dengan iklim tropis yang cenderung lembab berpotensi meningkatkan serangan hama, jamur dan serangga. Organisme ini membutuhkan asupan kimiawiyang dapat memberikan dampak negatif yang signifikan, baik terhadap lingkungan maupun masyarakat. Hal tersebut memerlukan sistem pengendalian organisme penganggu tanaman prioritas (OPTP) yang memenuhi standar pengelolaan pertanian rendah emisi secara berkelanjutan.
Gerak Ekofeminisme dan Kemandirian
Program Pengabdian Masyarakat kerjasama Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta didanai oleh skema pendanaan Pemberdayaan Berbasis Masyarakat (PBM), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dikti) telah memfasilitasi dan menguatkan peran Kelompok Wanita Tani (KWT) Sidoluhur di Dusun Tiyasan, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta untuk kemandirian ekonomi melalui pengembangan kelembagaan inklusif dan program SIA.
Di tengah ketiadaan petani di komunitas, KWT merupakan entitas petani perempuan yang bangkit untuk mengatasi krisis pangan di tengah Pandemi Covid-19.Vandana Shiva (2014), seorang pemikir dan aktivis lingkungan terkemuka, memiliki pandangan yang mendalam tentang eko-feminisme. Adigium tentang pemberdayaan perempuan mencakup berbagai inisiatif dan program yang bertujuan untuk meningkatkan peran dan posisi perempuan dalam masyarakat, terutama dalam konteks ekonomi, sosial, dan politik.
Ia menekankan pentingnya mengakui dan memberdayakan perempuan sebagai penjaga keanekaragaman hayati dan sumber daya alam.Hal ini penting untuk mengingatkan bahwa program SIA bersifat monokultur yang harus diimbangi dengan usaha menjaga keragaman tanaman pangan dan non pangan lainnya. Saat ini anggur tetap menjadi komoditas komersial yang bernilai tinggi, sehingga mempunyai potensi untuk menggusur tanaman yang bermakna ekologis, tetapi tidak ekonomis.Pemberdayaan perempuan menjadi sangat penting untuk mencapai kesetaraan gender, prinsip ekofeminisme yang berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas hidup rumah tangga dan komunitas secara keseluruhan.
KWT Sidoluhur sangat memahami dan sungguh-sungguh menjalani gerak pembangunan pertanian yang berkelanjutan, namun pembuktian terlaksananya program pengembangan kelembagaan inklusif dan SIA masih menunggu proses dan waktu.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.