Menuju konten utama
29 November 2017

Investigasi Bondan Winarno terhadap Perusahaan Tambang Kanada

Selain terkenal di dunia kuliner, Bondan Winarno juga pernah melakukan investigasi hebat atas kasus tambang emas Bre-X.

Investigasi Bondan Winarno terhadap Perusahaan Tambang Kanada
Ilustrasi Mozaik Bondan Winarno. tirto.id/Quita

tirto.id - Bondan Winarno meninggal pada 29 November 2017, tepat hari ini empat tahun lalu. 24 tahun sebelumnya, saat masih berusia 47 tahun, ia mengendus sesuatu yang janggal telah terjadi di belantara Kalimantan.

Selama berhari-hari, sekitar Maret 1997, koran lokal Balikpapan, Manuntung, memberitakan Michael de Guzman. Sosok itu dikabarkan hilang pada 19 Maret 1997. Siapa de Guzman sebenarnya?

Laki-laki berdarah Filipina itu adalah geolog yang menjadi direktur urusan eksplorasi perusahaan emas Bre-X. Guzman hilang dalam perjalanan menuju tambang emas Busang. Ia lenyap dalam perjalanan naik helikopter Aloutte III yang disewa dari PT Indonesia Air Transport, yang merupakan anak perusahaan PT Bimantara Citra. Perusahaan itu milik Bambang Trihatmodjo--anak Presiden Soeharto--yang juga pernah jadi Presiden Direktur Bimantara.

Helikopter yang dipiloti oleh Letnan Kolonel Edi Tursono itu berangkat dari Balikpapan. Mereka sempat mendarat di Bandara Temindung, Samarinda. Rudy Vega, yang ikut bersama Guzman menumpang helikopter, turun di Termindung. Ia tidak ikut melanjutkan penerbangan ke Busang yang letaknya di Desa Persiapan Mekarbaru, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur.

“Menurut penerbang Letnan Kolonel Edi Tursono dan juru mesin Andrean yang keduanya duduk di depan, pada menit ke 17 setelah meninggalkan Samarinda (dari Bandara Temindung) pada pukul 10.13, mereka merasakan hempasan angin dari arah belakang. Ketika itu helikopter pada ketinggian 800 kaki dengan kecepatan 90 knot. Pada saat menoleh, kursi belakang dengan satu-satunya penumpang itu sudah kosong, dan pintu kanan helikopter terbuka,” tulis Bondan Winarno dalam laporan investigasinya atas skandal Bre-X dalam buku berjudul Bre-X: Sebongkah Emas di Kaki Pelangi (1997:117).

Helikopter kemudian berusaha mencari Guzman. Setelah 20 menit berputar dan gagal menemukannya, helikopter pun kembali ke Samarinda.

Empat hari setelah Guzman hilang, pada 23 Maret 1997, sesosok mayat dengan tubuh dan wajah yang sudah rusak ditemukan. Setelah otopsi, dokter dari Bre-X bersama Kapolres Kutai Iwan Ismet dan juga Konsul Jenderal Filipina Jerry Alo meyakini mayat itu adalah Michael de Guzman. Jenazahnya lalu dimakamkan di Filipina.

Bondan merasa janggal dengan susunan gigi mayat yang tidak punya gigi palsu, padahal Guzman punya gigi palsu. Hal janggal lain, seperti dicatat Bondan, “Setelah kejadian, Edi Tursono dan Andrean bagaikan lenyap. Demikian pula Rudy Vega yang tak pernah terlihat lagi terdengar kabarnya maupun terlihat kemunculannya sejak kejadian itu. Tak pernah lagi ada wartawan yang berhasil mewawancarai mereka. Ketiga tokoh kunci [hilangnya Guzman] itu bahkan dinyatakan tidak bertugas lagi di Kalimantan Timur.”

Untuk kepentingan investigasi, seperti dicatat Septiawan Santana dalam buku yang diberi kata pengantar oleh Bondan Winarno, Jurmanisme Investigasi: Edisi Revisi (2003:18), Bondan harus terbang lintas negara. Selain ke Filipina, negara asal Guzman, Bondan juga terbang ke Kanada dan berkunjung ke Calgary dan Toronto. Bre-X adalah perusahaan asal Kanada. David Walsch berasal dari Calgary dan di pasar saham Toronto, Bre-X pernah berjaya.

Di Manila, Filipina, dari petugas makam tempat Guzman dimakamkan, Bondan mendapat keterangan: sejak dikebumikan tak seorang pun keluarga Guzman yang datang berziarah. Bondan semakin mengendus keanehan.

Guzman dianggap pria sukses bagi sebagian orang Filipina. Geological Society of Philippines begitu kagum atas penemuan gunung emas di Busang yang ditemukannya. Kisah gunung emas temuan geolog Filipina ini memancing rasa penasaran petinggi Freeport. Pada hari hilangnya Guzman, Wakil Presiden Eksplorasi PT Freeport Indonesia, David Potter, Wakil Presiden Seniornya, Stave van Noort, juga enam anggota timnya sedang menunggu Guzman di Busang.

Freeport belakangan memeriksa kandungan emas Busang di lab mereka. Hasilnya tak seperti yang digembar-gemborkan Bre-X. Temuan itu hanyalah pepesan kosong belaka.

Bondan mulanya mencoba membuktikan teori bunuh diri dalam kematian Guzman, apalagi yang bersangkutan pernah menulis surat tentang rasa frustasinya mengidap penyakit hepatitis. Namun penelusuran tentang rekam media Guzman, juga pengakuan dua istri Guzman, membuat Bondan yakin yang bersangkutan tidak mengidap hepatitis. Teori bunuh diri pun dicoret.

Laporan visum yang diperoleh Bondan semakin membuatnya curiga. Visum menyebutkan tubuh korban yang ditemukan tidak menampakkan ciri-ciri tubuh yang jatuh dari ketinggian 800-an meter, melainkan lebih mirip korban yang jatuh dari pohon kelapa.

Bondan memang tidak berhasil menemukan keberadaan Guzman, namun rentetan bukti yang ia temukan membuat publik yakin: Guzman belum mati, dan korban yang ditemukan serta sudah dikuburkan bukanlah Guzman.

Dari sanalah satu per satu kebohongan Bre-X terkuak. Klaim soal gundukan emas di Busang hanyalah satu lapisan kebohongan Bre-X. Laporan investigatif Bondan berhasil meruntuhkan reputasi Bre-X seketika.

Menurut catatan Oryza Ardyansyah Wirawan, nilai saham Bre-X anjlok. Tanggal 6 Mei 1997, pada suatu transaksi di Toronto Stock Exchange, harga saham Be-X hanya 6 sen. Bre-X lantas dicoret dari bursa saham Toronto, Alberta, dan Vancouver. Bre-X kemudian mengundurkan diri dari NASDAQ di New York.

Infografik Mozaik Bondan Winarno

Infografik Mozaik Bondan Winarno. tirto.id/Quita

Dalam buku legendaris Bre-X: Sebongkah Emas di Kaki Pelangi itu, Bondan menjelaskan Bre-X adalah perusahaan yang didirikan David Walsh pada 1988. Pada 1993, Walsh ke Jakarta dan berusaha menemui John Felderhof. Setelah itu mereka 12 hari di Kalimantan. Walsh disarankan Felderhof untuk membeli properti Busang.

Bulan Oktober 1995, Bre-X mengumumkan bahwa cebakan Busang mengandung potensi emas lebih dari 30 juta ons. Bre-X punya saingan yakni Barrick—yang dapat surat rekomendasi dari Presiden Amerika George Bush kepada Presiden Soeharto—dalam usaha menjadi penambang di Busang. Bre-X pun mendekati PT Panutan milik Sigit Harjojudanto. Bre-X akan membayar US $ I juta per bulan kepada Panutan Daya sebagai konsultan teknis dan administrasi. Panutan Daya juga diimingi saham di Busang.

Tanggal 3 Desember 1996, Bre-X umumkan lagi bahwa kandungan emas di Busang mencapai 57,33 juta ton. Selain Sigit, dari jejaring Presiden Soeharto muncul pula Mohammad Hasan alias Bob Hasan yang ikut bergabung. Januari 1997, Bob Hasan mengakuisisi 50 persen saham PT Askatindo Karya Mineral yang menguasai penambangan Busang II dan PT Amsya Lina yang menguasai penambangan Busang II.

Buku hasil investigasi Bondan itu tentu saja menarik. Apalagi orang dekat Presiden Soeharto disebut ikut terlibat dalam usaha menambang emas di Busang.

“Sayang sekali buku itu kini tak bisa dijual bebas karena gugatan hukum dari mantan Menteri Pertambangan dan Energi (alm) I.B. Sudjana yang merasa nama baiknya dicemarkan. Keluarga Sudjana pun menggugat Bondan Rp 1 Trilyun,” tulis Dandhy Dwi Laksono dalam Jurnalisme Investigasi (2010).

Kala melakukan investigasi, usia Bondan 47 tahun. Tidak muda bagi seorang wartawan untuk turun ke lapangan mengusut sebuah kasus yang pelik, kompleks dan lintas negara itu. Usia itu, menurut Dandhy, bagi seorang wartawan senior Indonesia adalah waktunya memerintahkan anak buah untuk ke lapangan. Namun untuk kasus Bre-X, Bondan rela terjun ke lapangan.

“Apa yang dilakukan Bondan adalah gambaran sebuah praktik jurnalistik yang kerap disebut dengan gagah sebagai: Jurnalisme Investigasi,” ulas Dandhy.

Dan, buku Bre-X: Sebongkah Emas di Kaki Pelangi adalah kerja hebat Bondan yang layak diapresiasi namun mulai dilupakan--setidaknya tidak sepopuler ucapan "maknyus" beberapa tahun belakangan ini.

==========

Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 29 November 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.

Baca juga artikel terkait BONDAN WINARNO atau tulisan lainnya dari Petrik Matanasi

tirto.id - Hukum
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Zen RS & Irfan Teguh Pribadi