Menuju konten utama

Cerita Sederhana Jadi Mak Nyus di Tangan Bondan Winarno

Tulisan-tulisan pertama Bondan Winarno di media massa bukan kisah kuliner atau cerita perjalanan. Ia menulis cerpen.

Cerita Sederhana Jadi Mak Nyus di Tangan Bondan Winarno
Bondan Winarno

tirto.id - Tulisan-tulisan pertama Bondan Winarno di media massa bukan kisah kuliner atau cerita perjalanan. Ia menulis cerpen.

Sebuah cerpennya dimuat di majalah Varia, terbitan Jakarta, ketika usianya menginjak 18. Rasa bangga memenuhi kepalanya. Ia merasa seluruh Semarang, kota tempatnya dibesarkan, tahu bahwa dirinya “naik kelas”: bisa menembus media ibukota.

Pada usia 19, cerita pendeknya masuk Indonesia Raya, koran asuhan Mochtar Lubis yang termasyhur itu.

“Wah, itu membuat kepala saya gembung seperti balon,” tulisnya dalam pengantar kumpulan cerpen Pada Sebuah Beranda.

Kegemaran membaca tumbuh pada Bondan sejak kecil. Pada usia 6 tahun, ia sudah membaca majalah Si Kuncung dan majalah Minggu Pagi. Ayahnya yang pegawai Dinas Metrologi, Imam Soepangat, suka memburu majalah-majalah gratis dari berbagai kedutaan.

“Termasuk majalah dari kedutaan dari Uni Soviet. Tapi, kami terpaksa membakarnya saat terjadi peristiwa G30S agar tak dikait-kaitkan dengan ajaran komunisme,” ungkap Bondan kepada Femina. Pada warsa huru-hara itu, Bondan baru 15 tahun – ia lahir di Surabaya, 29 April 1950.

Kegemaran membaca memicu hobi menulis. Pada usia 10, Bondan menjuarai sayembara mengarang di majalah Si Kuncung. Kisahnya tentang kehidupan seorang masinis yang diwawancarainya di stasiun.

Lulus SMA, ia sempat kuliah arsitektur di Universitas Diponegoro untuk menyenangkan hati ibunya. Namun, karena memang tak suka, Bondan meninggalkan kampus.

Ia menuju Jakarta dan menjadi juru kamera Pusat Penerangan Hankam. Hanya setahun ia di sana. Lalu, sempat kuliah di Fakultas Publisistik Universitas Prof. Dr. Mustopo, Jakarta. Ini pun tak kelar.

Lantas, Bondan memasuki dunia periklanan sejak 1973. Ia sempat bekerja di beberapa agensi periklanan sebagai copywriter, account executive, dan creative director. Juga sempat menjadi advertising manager di Union Carbide.

Pada periode sebagai “anak ahensi” ini, Bondan menulis beberapa novel. Di antaranya, Haneda (1977), Tinggal Landas (1977), dan Josephine (1979).

Kembali Menulis Cerpen

Pada 1980, Bondan kembali ke media massa dengan masuk ke Kelompok Sinar Harapan dengan tugas membangun lini penerbitan buku. Ia juga menjadi redaktur pelaksana tabloid Mutiara.

Rutinitas kerja jurnalistik segera membuatnya disergap kejenuhan. Belakangan ia menemukan obatnya: menulis cerpen (lagi).

“…menulis fiksi ternyata merupakan antidote terhadap tirani waktu serta kekakuan dan batasan-batasan yang diciptakan oleh disiplin jurnalistik. Tak heran jika cerpen-cerpen saya justru “meletus” pada saat kesibukan memuncak,” tulis Bondan di pengantar Café Opera.

Ada kalanya, saat menghadapi tenggat, ia justru menyisihkan semua pekerjaan dan menyelesaikan sebuah cerpen. Lalu ia merasa lega dan kelegaan itu kemudian membuatnya mampu dengan cepat menyelesaikan tulisan yang di ambang tenggat.

Bondan mengaku penulis cepat. Banyak cerpen diselesaikan hanya dalam tempo tiga jam.

Selain menjelang tenggat, sejumlah cerpen lain lahir di bandara atau di dalam penerbangan. Karena ia mengaku tak tahan menganggur. Ya, jangan bayangkan pada masa tersebut ada telepon pintar yang membuat orang sibuk menatap layar.

“Jangan heran pula kalau kebanyakan cerpen saya sangat sederhana dan dangkal, serta menggambarkan situasi transit. Mengapa itu-itu saja? Karena pada keadaan transit itulah saya punya kesempatan terluas untuk membiarkan angan saya mengembara,” lanjut Bondan.

Bondan mengatakan cerpen-cerpennya lahir tanpa pesan apa-apa. Dangkal dan sangat di permukan. Mereka hanya merupakan desakan yang tak dapat dicegah keluarnya.

“Lalu, apakah hasil semacam itu dapat dikatakan sastra? Sangat saya ragukan. Mereka hanya buah pena. Lain tidak,” tulis suami Yvonne Raket ini.

Infografik Bondan winarno

Infografik Bondan winarno

Ada satu hal menarik lain terkait cerpen-cerpen Bondan. Pertama kali dibukukan dalam Café Opera (1986) oleh penerbit Grafitipers. Tercakup sembilan cerpen di sana. Penyair dan esais terkemuka, Goenawan Mohamad, menyusun kata pengantar.

“Bagi saya, banyak yang dihasilkan Bondan lebih enak saya ikuti ketimbang novel-novel penuh filsafat atau cerita-cerita penuh problem sosial – yang isinya cukup berharga dan bermanfaat – tapi tak kunjung bisa memikat sejak awal. Yang saya senangi pada Bondan ialah bahwa ia kembali kepada hal yang paling dasar bagi semua cerita: kecakapan bertutur, yang memikat sejak awal sampai akhir,” tulis Goenawan.

Penulis Catatan Pinggir ini tampaknya menyukai gaya menulis Bondan. Pada akhir 1983, sebagai pemimpin redaksi TEMPO, Goenawan mengundang makan. Bondan curiga, ada apa nih. Jangan-jangan diminta tidak lagi menulis kolom di majalah berita itu. Maklum, saat itu Bondan sedang rajin menulis di sana. Bahkan, pernah empat minggu berturut-turut.

Ternyata, Goenawan menawari Bondan untuk menulis secara rutin tentang manajemen.

“Tulis saja hal-hal yang enteng dan sederhana. Real life situation. Bukan teori yang berat,” ujar Goenawan seperti dikutip Bondan dalam Seratus Kiat: Jurus Sukses Kaum Bisnis (1986).

Mereka sepakat: kolom itu akan terbit tiap dua pekan. Bondan menyiapkan empat tulisan sebagai stok. Pada awal Januari 1984, tulisan-tulisan itu mulai meluncur dengan nama rubrik “Kiat.”

Tapi, kok tiap pekan tulisannya muncul. Ingin mengusir penasaran, ia pun mengontak Goenawan.

“Ya, saya lupa memberi tahu Saudara Harun Musawa bahwa rubrik itu muncul dua minggu sekali,” ujar Goenawan. Harun Musawa adalah redaktur TEMPO yang mengampu rubrik tersebut.

Ketika Bondan mengadu, Harun bilang, “Sebaiknya memang jadi rubrik mingguan saja.”

Tulisan-tulisan di “Kiat” juga memperlihatkan kecakapan Bondan memilih sudut pandang, menetapkan intro, mengelola alur, dan menunjuk penutup. Di tangan Bondan, tulisan-tulisan manajemen menjadi renyah dan gampang dikunyah.

Tiga Kumpulan Cerita

Pada 2005, sembilan cerpen di Café Opera ditambahkan dengan 16 cerpen lain yang ditulis Bondan pasca-1986. Sebanyak 25 cerpen ini dihimpun dalam Pada Sebuah Beranda. Penerbitnya beralih menjadi Jalansutra.

Pada Sebuah Beranda diterbitkan untuk merayakan 55 tahun Bondan. Di keluarga inti mereka, baru Bondan-lah pria pertama yang mencapainya. Sang ayah wafat sebelum 54 tahun. Kakak lelaki wafat saat menginjak 53 tahun.

Kemudian, pada 2016, kumpulan itu diterbitkan kembali. Isinya sama persis, tapi ganti penerbit, yaitu Noura Books. Juga judulnya diganti menjadi Petang Panjang di Central Park.

Sudah tak ada lagi pengantar Goenawan dalam Pada Sebuah Beranda dan Petang Panjang di Central Park. Namun,petikan pengantar itu masih dicantumkan di sampul buku. Wajar sebagai bagian dari kerja pemasaran. Siapa sih yang tidak takzim dengan nama besar Goenawan?!

Bondan mempersembahkan cerita-cerita realis. Namun, realisme yang disajikan bukan sekumpulan klise yang biasa diteriakkan para ideolog atau motivator. Cerita-cerita di sana lebih dekat pada memantik keharuan dengan takaran yang pas, membuat penghayatan kita lebih intens kepada sesama manusia.

Dari 25 cerpen itu, praktis hanya 5 cerpen dengan latar tempat Indonesia. Selebihnya adalah lokasi-lokasi di luar negeri: Paris, Bologna, Nairobi, Stockholm, hingga New York. Pernah lama sebagai pebisnis dan jurnalis, Bondan niscaya sering bepergian.

Sejumlah cerita menggambarkan situasi kesepian dan kegamangan dalam perjalanan, ketika jauh dari rumah. Inilah situasi yang mudah menggelincirkan pada godaan untuk memburu cinta sesaat.

Simak, misalnya, pada “Telepon.” Seorang bos penerbitan bertemu perempuan ilustrator buku anak-anak di Bologna, Italia. Sang ilustrator mengeluh belum ada penerbit yang terpikat dengan karya-karyanya… dan kisah pun mulai mendebarkan. Namun, di ujung kita akan tersenyum getir dengan belokan cerita. Nampol, kata anak sekarang.

Sebelum Pada Sebuah Beranda dan Petang Panjang di Central Park terbit, pada 2003, Bondanmeluncurkankumpulan tulisan tentang jalan-jalan dan kuliner. Judul buku itu Jalansutra, seperti komunitas jalan-jalan dan makan-makan yang diasuhnya.

Pada kata pengantar Jalansutra, Bondan membuka dengan menyampaikan alasan tak lagi menulis cerpen.

“Salah satu sebabnya adalah karena saya tidak pernah diakui sebagai penulis cerpen. Padahal, sudah puluhan cerpen saya dimuat di Kompas dan media-media terkemuka lain. Beberapa juga memenangkan sayembara. Tetapi, dalam ulasan-ulasan tentang cerpen Indonesia, saya tidak pernah disebut sebagai cerpenis,” tulis Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan (2001-2003) ini.

Ia tak membual soal rekam jejak. Beberapa kali cerpennya meraih perhargaan di Sayembara Cerpen Femina. Majalah sastra berwibawa, Horison, menampung. Sejumlah cerpen juga masuk dalam antologi cerpen pilihan Kompas yang dihelat saban tahun.

Nah, apakah Bondan benar-benar kecewa lantaran tak dianggap sebagai cerpenis? Mengingat kerendahanhatinya dalam pengantar untuk Café Opera, kita layak menduga ia sedang bergurau.

Sampai ia wafat pada 26 November 2017, tak terlihat cerpen-cerpen terbaru. Tapi 25 kisah yang diwariskan agaknya layak disebut sebagai sejumlah cerita yang sulit terlupa, menaruh tilas yang dalam di hati pembaca. []

Baca juga artikel terkait BONDAN WINARNO atau tulisan lainnya dari Yus Ariyanto

tirto.id - Humaniora
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono