tirto.id - Dua bom rakitan meledak di sebuah acara lari maraton di Boston, Amerika Serikat, pada 15 April 2013. Bom pertama meledak di 671 Boylston Street pukul 14.49, sementara bom kedua 12 detik kemudian di sekitar garis finis yang padat dengan berbagai ornamen bendera negara dan orang-orang. Asap putih bercampur hitam segera membumbung ke angkasa.
Tiga orang meninggal dunia dalam serangan tersebut. Mereka adalah Krystle Campbell, Lingzi Zu, dan Martin Richard. Tak satu pun dari mereka berstatus partisipan maraton. Maraton Boston, salah satu acara lari tertua yang ada di dunia dan diadakan setiap tahun, biasanya ditonton langsung oleh puluhan ribu orang.
Campbell adalah pria berusia 29 yang bekerja sebagai manajer sebuah restoran di kota tersebut. Hampir setiap tahun ia menyempatkan diri menikmati salah satu acara terbesar di tempat tinggalnya ini. Sementara Lingzi adalah mahasiswa pascasarjana di Universitas Boston asal Cina. Ia datang ke acara itu bersama dua rekan--yang selamat. Sebelum serangan terjadi, Lingzi masih sempat mengunggah foto sarapan dengan keterangan: “my wonderful breakfast.”
Korban terakhir, Martin, baru berusia 8. Bocah yang duduk di kelas 3 SD di Neighborhood House Charter School itu menyaksikan lomba bersama keluarga. Ibu dan ayahnya selamat, begitu pun dengan kakaknya, Henry, dan sang adik Jane. Meski demikian baik Jane, Denis, dan ibu terluka parah.
Serangan memang tak hanya menyebabkan korban tewas, tapi juga ratusan terluka. Bahkan ada yang harus melanjutkan hidup dengan anggota tubuh tak lagi lengkap.
Biro Investigasi Federal (FBI) membeberkan hasil rekaman kamera pengawas kepada publik. Meski tidak terlalu jelas, tapi identitas pelaku terungkap dengan cepat hanya beberapa jam setelah kejadian. Otoritas AS percaya bahwa mereka melakukan serangan karena alasan agama.
Lima hari kemudian, 18 April 2013, FBI secara resmi merilis nama pelaku yang bertanggung jawab terhadap serangan tersebut. Mereka adalah adik kakak Tamerlan dan Dzhokhar Tsarnaev.
Dzhokhar kelak berhasil ditangkap dalam kondisi hidup. Anehnya, kendati seorang pembunuh, dia justru punya banyak penggemar.
Dibela Penganut Konspirasi
Pelarian Dzhokhar dan Tamerlan dimulai setelah FBI memublikasikan rekaman CCTV. Tsarnaev bersaudara pergi ke sebuah apartemen di Cambridge--yang hanya berjarak sekitar 15 menit dari Boston--untuk mengambil pistol Ruger P95. Setelah itu keduanya bergegas ke kampus mereka, Massachusetts Institute of Technology (MIT).
Satpam MIT yang bertugas saat itu, Sean Collier, menjadi korban tewas keempat Tsarnaev bersaudara. Tamerlan diduga menembak Collier dari belakang. Peluru 9 mm bersarang di kepalanya.
Sehari kemudian, Tsarnaev bersaudara terlibat baku tembak dengan tiga polisi di Watertown--sekitar 7 kilometer dari MIT. Tamerlan dan Dzhokhar mendapat luka tembak. Ketika berusaha melarikan diri dengan mengendarai mobil dan menabrak petugas, Dzhokhar malah melindas kakaknya yang terbaring di jalan. Tamerlan akhirnya meninggal hari itu juga.
Dengan luka tembak dan logistik terbatas, Dzhokhar memutuskan bersembunyi di sebuah kapal di lapangan belakang rumah warga. Si pemilik tahu ada orang asing berbaring di propertinya itu dan melaporkannya ke polisi. Aparat langsung mengepung lokasi. Dzhokhar ditangkap tanpa perlawanan berarti. Berakhir sudah perburuan polisi selama 22 jam untuk menangkap remaja berumur 19 tahun tersebut.
Pengadilan kemudian menjatuhkan vonis mati pada Dzhokhar. Tapi tidak semua setuju atau mendukung, bahkan termasuk keluarga korban.
Ada yang percaya bahwa Dzhokhar hanyalah korban indoktrinasi ideologi teror kakaknya. Ada pula yang percaya Dzhokhar tak patut dihukum mati karena sebenarnya serangan ini adalah pekerjaan pemerintah AS sendiri.
Ya, kita sedang bicara tentang teori konspirasi. Menurut peneliti dari Universitas Washington Kate Starbird, ada beragam motif mengapa banyak yang menyebarluaskan teori konspirasi. Pertama karena faktor ekonomi, kedua politik, dan ketiga memang benar-benar percaya.
Pembela Dzhokhar kebanyakan perempuan muda. Ketika sidang berlangsung, mereka berdemonstrasi dan memakai baju bertuliskan “Dzhokhar Tsarnaev is innocent.” Mereka juga membentuk gerakan “Bebaskan Jahar” di media sosial. Jahar adalah nama yang sengaja diciptakan agar orang ini lebih mudah dipanggil.
Penyebabnya diprediksi hanya satu: Dzhokhar punya wajah “imut”.
Beberapa pihak kemudian menyalahkan media yang menampilkan wajah Dzhokhar sehingga menyebabkan perhatian publik tak lagi ke inti perkara. Majalah Rolling Stones bahkan sempat memuat wajah Dzhokhar di halaman depan secara eksklusif. Tampilannya tak beda dari bintang rock papan atas.
Sebenarnya ini bukan kali pertama seorang kriminal punya banyak penggemar. Sebelumnya ada atlet lari Oscar Pistorius yang menembak penggemarnya. Dia didukung oleh grup yang menamakan diri Pistorian.
Ada juga pembunuh berantai Ted Bundy dengan korban setidaknya mencapai 30. Dia punya pendukung dan bahkan menikahi salah satu dari mereka, Carole Ann Boone pada 1980 atau di tengah masa persidangan. Ketika sudah dalam tahanan, Boone tetap percaya Bundy tidak bersalah dan bertukar surat dengannya.
Dalam artikel diThe New Yorker,Paul Bloom mengatakan ada studi yang menunjukkan bahwa punya wajah tampan nan menarik meringankan hidup kriminal. Hukuman mereka yang berwajah menarik cenderung lebih ringan. Di sisi lain, jika korban yang berwajah tampan, maka pelaku bisa mendapat hukuman lebih berat.
Profesor psikologi asal Universitas Brandeis Leslie A. Zebrowitz juga menemukan bahwa lebih banyak orang-orang dengan baby-face selamat dari hukuman daripada mereka yang berpenampilan dewasa.
Faktor tampang memang tak berlaku pada hukuman yang akhirnya dijatuhkan pada Dzhokhar. Hukuman matinya memang sempat dibatalkan pada 2020 setelah mengajukan banding, tapi awal tahun ini Mahkamah Agung AS membatalkan lagi keputusan tingkat dua itu. Dengan kata lain, Dzhokhar tetap divonis mati.
Namun setidaknya kasus ini membuktikan bahwa wajah tampan adalah sebuah keuntungan. Bahkan ketika melakukan kesalahan yang tak termaafkan sekalipun, ditambah dengan teori konspirasi yang berseliweran, akan ada pihak-pihak yang rela untuk memberikan dukungan.
Editor: Rio Apinino