tirto.id - Sejarah bodyguard adalah sejarah setiap zaman. Baik di dalam kerajaan atau keluarga kaya raya pada masa lalu. Keberadaan bodyguard bahkan sudah dikenal sejak ribuan tahun lalu, di berbagai kerajaan atau negara di dunia.
Konsep bodyguard telah tercatat dalam sejarah Kerajaan Yunani kuno. Pada tahun 356 sebelum masehi, yakni pada masa kepemimpinan Alexander Agung. Kerajaan Yunani kuno tercatat sudah memiliki Somatophylax. Dalam bahasa Inggris, Somatophylax diartikan bodyguard. Sesuai dengan namanya, tugas Somatophylax adalah sebagai pelindung pribadi.
Pada masa itu, Somatophylax bekerja untuk melindungi raja. Mereka adalah orang pilihan yang memang memiliki kemampuan serta loyalitas terhadap kerajaan dan raja. Sebagian besar dari mereka diambil dari unit elite kavaleri Macedonia yang disebut Hetaroi.
Pada masa kekaisaran Romawi berjaya, mereka juga menggunakan konsep bodyguard ala Yunani Kuno. Pada masa itu, Romawi membentuk pasukan khusus untuk melindungi panglima di lapangan. Seiring dengan berjalannya waktu, pasukan khusus yang diberi nama Praetorian itu beralih fungsi menjadi pengawal kaisar.
Mereka selalu berada di dekat kaisar, ke mana pun kaisar pergi. Mereka pun segera mendapat kepercayaan besar dan pengaruh besar dalam politik. Tak jarang, para bodyguard bisa memberi pengaruh kuat dalam kebijakan kaisar.
Sayangnya, usia pasukan bodyguard ini tidak bertahan lama. Pasukan itu dibubarkan lantaran terlibat dalam skandal pembunuhan Kaisar Caligula pada tahun 41 masehi.
Loyalitas Samurai
Di Jepang, konsep bodyguard terlihat dalam diri Samurai. Sebagai ahli bela diri dan teknik pedang, Samurai tercatat sebagai bodyguard yang loyal. Mereka tidak hanya melayani kekaisaran, tetapi juga melayani keluarga-keluarga kaya.
Kemunculan Samurai dimulai tahun 794. Pada masa itu, Samurai bekerja pada tuan tanah. Para Samurai dibayar dengan beras. Besarannya bervariasi. Namun kebanyakan dari Samurai bisa hidup layak dengan bayaran tersebut.
Salah satu yang membedakan Samurai dengan bodyguard di Eropa, yakni pada loyalitas dan semangat. Dalam perkembangannya, Samurai tidak hanya sebatas sebagai sebuah profesi, melainkan sebagai panggilan hidup. Mereka bahkan menerjemahkan Samurai sebagai Bushido, berasal dari dua kata, yakni Bushi dan Do. Bushi berarti kesatria, sementara Do dalam bahasa Jepang berarti cara hidup. Secara sederhana, Bushido diterjemahkan sebagai cara hidup seorang kesatria.
Nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam Bushido adalah kesederhanaan, kesetiaan, penguasaan seni bela diri dan kehormatan sampai mati. Itu sebabnya, ketika seorang Samurai kehilangan kehormatannya, dia akan bunuh diri dengan katana atau pedang miliknya. Aksi bunuh diri itu dikenal dengan sebutan harakiri.
Cara hidup ini kemudian menjadi kultur masyarakat Jepang yang dihayati. Nilai-nilai itu terus mereka amalkan sampai kini. Salah satu perwujudan nilai itu tercermin dalam aksi kamikaze tentara Jepang dalam perang dunia kedua. Mereka rela mati demi kehormatannya dan negaranya.
Para Centeng Betawi
Di Indonesia, konsep bodyguard juga sudah ada sejak lama. Pada masa penjajahan Belanda, di Batavia banyak bodyguard Betawi yang dikenal dengan sebutan centeng. Centeng sendiri mulanya merupakan sebutan untuk penjaga malam, baik rumah, gudang, ataupun pabrik.
Selain sebagai penjaga, centeng juga memiliki beberapa tugas lainnya, seperti menjadi pengawal majikannya. Kebanyakan majikan merupakan orang Tionghoa atau tuan tanah Betawi. Dalam perkembangannya, pemaknaan istilah centeng pun mulai bergeser seiring dengan bertambahnya tugas centeng.
Mereka tidak lagi hanya sebagai penjaga, tapi juga sebagai tukang pukul. Pada awal tahun 1900-an, para jawara Betawi banyak yang menjadi centeng. Mereka dikenal sebagai bodyguard yang loyal terhadap majikan. Mereka bahkan tidak segan-segan membunuh orang atas perintah majikan.
Mulai tahun 1950-an, istilah centeng pun perlahan berubah maknanya menjadi negatif. Centeng yang dulu adalah bodyguard, kemudian disamakan dengan preman. Sejumlah orang yang menjadi centeng pun kebanyakan orang dari dunia kriminal, seperti mantan tahanan.
Para centeng yang semula bekerja pada tuan tanah, menjadi liar. Mereka menjadi orang bebas yang dengan kekuatannya mengintimidasi orang untuk mendapatkan uang. Para pengusaha di wilayah tertentu yang bisnisnya ingin aman, harus memberikan setoran pada centeng.
Seiring berkembangnya zaman, centeng pun kemudian menghilang. Para bodyguard yang semula merupakan jawara-jawara kampung, kini berganti dengan bodyguard profesional yang terlatih. Tidak seperti di film-film Hollywood, para bodyguard bekerja dengan prosedur yang sudah ditetapkan.
Kebanyakan bodyguard pun tidak lagi bekerja pada tuannya langsung, melainkan bekerja pada perusahaan penyedia jasa bodyguard.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti