tirto.id - Ruang Wirjono Projodikoro 3 yang terletak di lantai dua, gedung Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 1 Agustus 2018 lalu, kembali ramai dipadati pengunjung. Ruang segi empat bercat putih dilengkapi bangku kayu panjang bersandar, kembali menjadi saksi bisu atas rapat Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) PT Sunprima Nusantara Pembiayaan alias SNP Finance yang sudah berkali-kali digelar.
Proses PKPU yang diajukan SNP Finance kepada para kreditur cukup alot. Sejak masuk belenggu PKPU pada 8 Mei 2018 dan menggelar rapat kreditur perdana pada 16 Mei 2018, SNP Finance sebagai pihak pemohon PKPU belum memberikan proposal yang meyakinkan kreditur untuk proses pelunasan utang. Atas hal itu, pengurus PKPU SNP Finance memutuskan untuk melibatkan pihak ketiga yaitu AJ Capital sebagai konsultan keuangan dalam membantu proses ini.
“Karena memang tidak ada progres dan terkesan jalan di tempat, maka pengurus berinisiatif untuk menunjuk konsultan keuangan setelah bertemu dengan OJK pada 23 Juli lalu,” jelas Irfan Aghasar yang merupakan pengurus PKPU SNP Finance seusai rapat awal Agustus lalu.
Pengurus PKPU berharap agar AJ Capital dapat membantu SNP Finance dalam menyusun proposal perdamaian dalam kurun waktu selama 270 hari sesuai ketentuan, dan dapat mengakomodir kepentingan kreditur atas utang senilai triliunan rupiah yang harus dilunasi. Ada batas waktu sampai dengan Oktober 2018 untuk tercapainya kesepakatan damai dalam PKPU SNP Finance.
"Bantuan dari konsultan keuangan diharapkan dapat membantu dalam menyusun rencana perdamaian yang proper yang selama ini belum tercapai," imbuh Irfan.
Fransiscus Alip, Direktur AJ Capital, dalam rapat hari itu langsung mengucap sumpah atas pengangkatan resmi sebagai konsultan PKPU SNP Finance di hadapan Hakim Pengawas Marulak Purba. Ia menargetkan proposal perdamaian SNP Finance dengan para kreditur dapat rampung dalam kurun waktu satu bulan sesuai dengan jadwal yang diberikan pengurus PKPU dan pengadilan.
Dua pekan pertama bekerja dalam perkara PKPU ini, AJ Capital akan secara agresif melakukan riset data keuangan debitur dan mengumpulkan data berbagai tagihan pembiayaan konsumen milik SNP Finance, untuk selanjutnya dianalisis. Pekan selanjutnya, AJ Capital diharapkan bisa melakukan roadshow atau kunjungan kepada para kreditur SNP Finance.
Gunanya adalah untuk mencari tahu dan mengakomodir keinginan para kreditur dalam skema pelunasan utang yang diperkirakan akan memakan waktu lama. "Pekan terakhir, diharapkan masuk langkah finalisasi proposal dan dibahas dalam rapat PKPU lanjutan sehingga dapat dilakukan voting atas proposal perdamaian yang diajukan SNP Finance. Hasilnya tentu diharapkan berupa kesepakatan damai," ucap Alip di luar ruang sidang.
Nah, dalam menyusun proposal perdamaian itu, AJ Capital akan mulai menelusuri cashflow SNP Finance. Utamanya adalah mendata dana yang dapat dikumpulkan dari para end user atau konsumen SNP Finance. Data tagihan konsumen aktif atau collection tersebut dapat menjadi dasar penilaian serta acuan penghitungan kemampuan SNP Finance dalam rencana pelunasan utang, dan penelusuran aset-aset SNP Finance lainnya.
"Collection data konsumen atau nasabah SNP Finance adalah hal yang utama, karena merupakan sumber pendapatan perusahaan pembiayaan. Seberapa besar dana, termasuk potensi dana yang bisa dikumpulkan dari nasabah oleh debitur, plus akan menghitung apakah ada aset yang dijaminkan atau non operational asset yang bisa dijual untuk membantu melunasi utang," rinci Alip.
Alotnya Proses PKPU SNP Finance
Proses PKPU SNP Finance memang alot, karena permintaan para kreditur agar SNP Finance menyertakan laporan keuangan tak kunjung dilaksanakan. Alasan yang diutarakan pun beragam mulai dari sempitnya tenggat waktu penyusunan laporan keuangan, sampai dengan pengunduran diri pejabat keuangan SNP Finance. Begitu pula dengan permintaan kehadiran para pemegang saham SNP Finance di ruang sidang yang tak kunjung direspons.
Dalam berbagai kesempatan rapat PKPU gagal bayar bunga utang jangka menengah atau Medium Term Notes (MTN) milik SNP Finance ini, para pemegang saham perseroan tidak pernah menunjukkan batang hidungnya. Laporan PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menuliskan bahwa pemegang saham SNP Finance adalah Leo Chandra yang memiliki saham melalui kepemilikan langsung sebesar 33,34 persen maupun bersama keluarga melalui PT Cipta Pratama Mandiri sebesar 66,66 persen per 31 Desember 2017.
Leo Chandra merupakan pendiri dan pemegang saham pengendali Grup Columbia yang bergerak di segmen pembiayaan perabot rumah tangga dan retail. Grup ini memiliki jaringan sekitar 358 outlet dan 27 mobile outlet yang tersebar di Indonesia untuk memasarkan produk elektronik, perabot rumah tangga, dan perangkat elektronik lainnya.
Grup Columbia merupakan gabungan kelompok usaha yang terdiri dari beberapa perusahaan, di antaranya yaitu PT Cipta Pratama Mandiri, PT Citra Prima Mandiri, PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance) serta Citra Panji Mandiri (CPM). PT Cipta Pratama Mandiri maupun PT Citra Prima Mandiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang retail. Sedangkan SNP Finance dan juga Citra Panji Mandiri (CPM) merupakan perusahaan pembiayaan.
Columbia dikenal dengan nama Columbia Cash and Credit, yang artinya menawarkan skema cicilan atau kredit untuk pembelian barang di gerai tersebut. Inilah yang menjadi akar permasalahan gagal bayarnya bunga utang MTN yang diterbitkan oleh SNP Finance.
"Bisnis Columbia masih berjalan dan biasa-biasa saja perkembangannya, tapi saingannya sangat luar biasa berat. Segmen pasar kami memang agak lain dibandingkan dengan perusahaan lain. Untuk penagihan tergantung dengan kemampuan masing-masing kepala cabang Columbia," kata Leo saat ditemui Tirto di gedung Sahid Sudirman Center pada Rabu (13/8).
Alur hubungan bisnis Columbia hingga sampai ke SNP Finance antara lain, Pertama, Columbia menerima order pembelian berbagai barang elektronika maupun perabot rumah tangga lainnya dari konsumen. Kedua, order tersebut diteruskan kepada PT Cipta Pratama Mandiri maupun PT Citra Prima Mandiri yang merupakan perusahaan ritel untuk pengadaan barang.
Selanjutnya, proses pembiayaan atas pengadaan barang tersebut diproses oleh SNP Finance. "Columbia adalah atasnya atau network-nya dan SNP Finance adalah pembiayaannya. Pembiayaan SNP Finance termasuk juga untuk konsumen gerai Columbia," kata Leo.
Namun manajemen SNP Finance belum dapat menyebutkan berapa besar pengaruh kredit macet yang disebabkan konsumen oleh Columbia terhadap gagal bayar bunga utang SNP Finance. "Seberapa besar pengaruhnya, manajemen perusahaan belum menghitung, karena masih dalam proses pemeriksaan dan investigasi oleh konsultan keuangan," ujar sumber SNP Finance kepada Tirto.
Sumber ini mengakui bahwa bisnis Columbia memang mengalami goncangan. Oleh karena pemasukan yang berkurang, manajemen Columbia melakukan efisiensi karyawan dengan cara tidak memperpanjang karyawan berstatus kontrak.
"Untuk data berapa banyak dan berapa persen karyawan yang kontraknya tidak diperpanjang belum bisa disebutkan, karena proses masih berjalan," katanya.
Kasus SNP Finance dalam belenggu PKPU bermula dari gagal bayarnya bunga utang jangka menengah atau MTN senilai Rp6,75 miliar. Data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat, terdapat 19 seri MTN yang diterbitkan oleh SNP Finance dengan total nilai mencapai Rp1,852 triliun.
OJK membekukan kegiatan usaha SNP Finance, terhitung sejak 14 Mei 2018. OJK memberikan sanksi peringatan pertama hingga peringatan ketiga kepada SNP Finance, lantaran tidak memenuhi ketentuan Pasal 53 POJK 29/2014 berupa menggunakan informasi yang tidak benar yang dapat merugikan kepentingan debitur, kreditur dan pemangku kepentingan termasuk OJK.
Sanksi pembekuan kegiatan usaha kepada SNP Finance dikeluarkan karena perusahaan tersebut belum menyampaikan keterbukaan informasi kepada seluruh kreditur dan pemegang MTN sampai dengan berakhirnya batas waktu sanksi peringatan ketiga. Dengan dibekukannya kegiatan usaha SNP Finance, maka perseroan dilarang melakukan kegiatan usaha pembiayaan.
SNP Finance terbilang cukup masif menerbitkan MTN sepanjang 2017. Banyaknya frekuensi penerbitan surat utang inilah yang mendasari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memeriksa laporan keuangan perseroan lebih mendalam. Penerbitan ini dilakukan tidak melalui penawaran umum, sehingga tidak melalui proses pendaftaran di OJK.
"Berdasarkan hasil pemantauan dan pengawasan OJK, penerbitan MTN yang dilakukan SNP Finance tersebut, terindikasi untuk tujuan yang tidak wajar," jelas OJK melalui pernyataan tertulis kepada Tirto.
Selain itu, OJK juga menduga SNP Finance menyampaikan laporan keuangan yang tidak benar. SNP Finance terindikasi melaporkan data-data keuangan yang tidak mencerminkan kondisi keuangan perusahaan yang sebenarnya dan melakukan penyimpangan penggunaan dana kreditur.
Hasil analisis laporan keuangan yang disampaikan SNP Finance itu, menjadi salah satu dasar OJK secara khusus melakukan pengawasan di tempat. Pengawas OJK menemukan hal-hal yang tidak sesuai dari hasil pendalaman laporan keuangan.
"Seberapa parah kinerja SNP Finance, jelas tidak untuk konsumsi publik. Tapi OJK memastikan perlindungan konsumennya,” jelas Ihsanuddin, Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) I OJK kepada Tirto.
Permasalahan keuangan yang struktural di SNP Finance menjadi salah satu penyebab gagalnya pembayaran bunga kupon MTN yang dikeluarkan perseroan. Permasalahan keuangan yang dialami SNP Finance, menurut Ihsanuddin, diperkirakan dapat berpotensi merugikan kreditur dan masyarakat pemegang MTN serta merusak reputasi industri multifinance.
“Apabila tidak ada upaya perbaikan corrective action yang serius, fundamental dan konkret dari pengurus, maka OJK akan mengambil tindakan lebih tegas terhadap SNP Finance,” kata Ihsanuddin.
Dalam proses PKPU, SNP Finance punya tagihan senilai Rp4,094 triliun. Perinciannya ada lima kreditur tanpa jaminan atau konkuren dengan tagihan Rp338 juta, dan Rp3,957 triliun untuk 354 kreditur separatis alias pemeang jaminan. Selain itu ada tagihan bunga dan denda senilai Rp17,020 miliar dari kreditur separatis.
Sementara rincian kreditur separatis antara lain yaitu 14 kreditur berasal dari perbankan dengan tagihan senilai Rp2,22 triliun. Dari jumlah itu, Rp1,4 triliun merupakan kredit yang diberikan oleh PT Bank Mandiri Tbk. Sisanya, tagihan senilai Rp1,85 triliun adalah jumlah yang harus dibayarkan kepada 336 pemegang MTN terbitan SNP Finance.
Potensi gagal bayar utang dan juga bunga utang SNP Finance ini tentu bisa menyumbang pertumbuhan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) perbankan. Kasus SNP Finance jadi pelajaran bagaimana pengelolaan bisnis keuangan yang tak hati-hati, dan imbas kalah dalam persaingan yang sangat berat.
Editor: Suhendra