tirto.id - Meski tidak ada data pasti soal berapa jumlah napi teroris yang bakal segera bebas dari penjara, dan apakah mereka nantinya berpotensi mengancam, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengungkapkan "masih ada lebih dari 400 napi kelompok teroris" yang belum tersentuh program deradikalisasi.
"Saat ini baru sekitar 184 orang mantan teroris di 17 provinsi yang telah mengikuti program deradikalisme," klaim Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir pada Maret lalu. Abdul adalah deputi I yang berwenang menyelesaikan problem akar-akar terorisme melalui program deradikalisasi.
Sejauh ini program deradikalisasi BNPT punya dua fungsi: memantau pelaku terorisme dan upaya mengembalikan mantan teroris ke tengah masyarakat. Program ini, menurut Rahman, menyasar 250 napi teroris di 77 lapas.
Meski begitu, program deradikalisasi di Indonesia tidaklah mudah. Musababnya: internalisasi ideologi, cara pandang, serta perspektif para pelaku teror terhadap dunia.
Beberapa peristiwa teror belakangan ini di Jakarta, termasuk di Sarinah dan Kampung Melayu, dilakukan oleh mantan teroris, yang justru mengalami radikalisasi di penjara sesudah bertemu dengan pelaku teror. Mereka sebenarnya pernah mengikuti program deradikalisasi.
Baca:
- Membedah Jaringan ISIS di Balik Bom Kampung Melayu
- BNPT Tumpul, Deradikalisasi Melempem
- Sulit Merontokkan Radikalisme
Meski publik jarang mengetahui akuntabilitas dan transparansinya, BNPT kerap mengklaim program deradikalisasi "tidak maksimal" lantaran tenaga dan dana terbatas selain tidak semua napi terorisme bersedia mengikutinya.
Mari melihat contoh serupa dalam peristiwa bom di Manchester Arena. Pemerintah Inggris dianggap kecolongan karena pelaku bom, Salman Abedi, telah dilaporkan lima kali karena dugaan keterlibatan terorisme. Bom yang membunuh 22 orang itu menunjukkan Salman diradikalisasi melalui keluarga dekat dan pandangan tentang ide ISIS.
Pertanyaannya: bagaimana mengatasi problem radikalisme dan melakukan upaya radikalisasi bagi para napi teroris?
Sejauh ini program deradikalisasi di Inggris menghadirkan paket konseling, menghadirkan ulama untuk memberikan alternatif pandangan agama, hingga memperlakukan para pelaku teror sebagai orang dengan kesehatan jiwa. Namun belum ada program yang sepenuhnya berhasil.
Jawaban menarik bisa kita pelajari dari Daniel Koehler, direktur German Institute on Radicalization and De-radicalization Studies yang bermarkas di Stuttgart.
Dalam komentarnya, "Bagaimana dan mengapa kita harus menyikapi deradikalisasi secara serius," ada yang kurang tepat dari pemahaman deradikalisasi versi pemerintah dan yang dipahami para sarjana. Menurut Koehler, warga, pembuat kebijakan, dan penegak hukum harus sadar bahwa penggunaan kekerasan berlebihan hanya akan membuat teroris makin brutal; akan tetapi mendiamkannya pun berpotensi melahirkan pelaku baru.
“Kita bisa mengalahkan secara fisik kelompok seperti ISIS atau kelompok kekerasan lain, tapi akan membuat mereka yang tersisa tak tersentuh dan makin menguat,” katanya, dalam satu tanya-jawab mengenai ancaman bila kita gagal membangun standar program deradikalisasi.
Koehler mengkritik program deradikalisasi Amerika Serikat yang menangkap orang-orang terduga teroris sebelum diadili, dan lebih buruk lagi, banyak terduga teroris ditangkap tanpa prosedur hukum yang adil.
Ia menjelaskan perilaku macam ini lebih merusak, karena bakal melahirkan keresahan dan ketidakpercayaan terhadap aparat hukum. Keluarga atau teman pelaku teroris akan melindungi rekannya dengan segala cara karena menganggap pemerintah atau aparat hukum tidak adil. Imbasnya, ia menyulitkan bahkan menghambat perang melawan teror.
Kecurigaan berlebihan terhadap kelompok-kelompok yang dipandang umum terafiliasi dengan kelompok teroris juga berbahaya, demikian Koehler. Misalkan, kita gampang menaruh curiga kepada orang-orang yang memakai burka, berjanggut lebat, celana cingkrang, atau pengajian Salafi.
Menurut Koehler, ada indikasi napi teroris sekeluar dari penjara tidak lagi kembali ke kelompok asalnya. Mereka kadang membuat sel teroris baru yang lebih kejam atau berbeda sama sekali dari kelompok sebelumnya.
“Bagaimana jika residivis teroris kembali ke ideologi yang sama? Bagaimana jika ia tak kembali ke kelompok teror yang sama tapi ke kelompok lain yang ideologinya sama?” tanya Koehler.
Menguji BNPT
Sejauh ini dalam kasus Indonesia, sebelum BNPT dibentuk, Tim Deradikalisasi Polri sejak sekitar 2005 melakukan apa yang disebut Tito Karnavian sebagai "pendekatan lunak." Karnavian pernah menjadi Kepala Densus 88, Kepala BNPT, dan kini Kapolri.
Pendekatan ini, sebagaimana dicatat Ihsan Ali-Fauzi dan Solahudin dalam "Deradikalisasi di Indonesia" (hlm. 233-262), termasuk menyampaikan kontra-narasi terhadap ideologi napi teroris, membantu napi secara ekonomi, dan tiga, bekerjasama dengan psikolog, mengklasifikasi kategori napi berdasarkan sikap kolotnya.
Mantan teroris Khairul Ghazali alias Abu Ahmad Yasin, misalnya, mengatakan orang-orang yang menganut ideologi kekerasan atau teroris tidak bisa disadarkan dengan argumentasi. “Mereka itu bukan orang yang perlu dinasihati karena mereka sudah merasa bahwa mereka bisa dinasihati oleh dirinya sendiri,” ujarnya.
Menurut Khairul, pendekatan ekonomi justru lebih bagus untuk mendekati para penganut ideologi kekerasan daripada pendekatan ideologi. “Kenapa? Mereka melihat negara memperhatikan aku, negara memperhatikan anak-anakku, oh negara memperhatikan istri dan keluargaku. Dengan begitu mereka akan melunak, apalagi bila kondisi perekonomiannya juga baik,” tutur pengasuh Pesantren Darusy Syifa di Deli Serdang, Sumatera Utara ini.
Dalam Kebebasan, Toleransi dan Terorisme: Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia, terbitan terbaru PUSAD, Mei 2017, Ali-Fauzi dan Solahudin dalam artikelnya itu menulis, meski program deradikalisasi jalan, tetapi lemah dalam kualitas riset. Misalnya, program deradikalisasi BNPT kurang mendalam, tidak mempelajari bagaimana proses radikalisasi dan akar-akar terorisme dari para napi teroris, mengabaikan fakta bahwa ekstremisme adalah ancaman yang dinamis dan selalu berkembang.
Sejak BNPT dibentuk pada 2010 pun, di bawah pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, sejumlah inisiatif penting kerap terputus. Atau, sebagaimana dikutip artikel itu dari komentar peneliti, BNPT bekerja tidak berdasarkan pemahaman yang memadai mengenai target sasaran betapapun sudah ditopang dana yang cukup. Pendeknya, BNPT bekerja melalui kebijakan tanpa mendasarkan pada riset-riset soal deradikalisasi yang sistematis, yang sudah tersedia, padahal lembaga ini punya wewenang untuk memanfaatkannya.
Faktor lain, meski bantuan ekonomi penting, tetapi ia bukan satu-satunya faktor dominan yang memicu seseorang berhenti melakukan tindakan radikalisme.
Faktor pemicu lain, seperti dikutip di artikel itu: napi teroris kecewa dengan taktik, kepemimpinan, atau segi-segi lain gerakan atau jaringan; ongkos melanjutkan aksi-aksi kekerasan sangat mahal; terjalinnya kembali hubungan dengan orang atau jaringan di luar lingkaran organisasi ekstremis; tekanan keluarga; berubahnya prioritas personal atau profesional; dan terakhir, perlakuan manusiawi dari pihak yang berwenang.
Seperti saran dari riset Internasional Crisis Group, November 2007, program deradikalisasi bisa berhasil jika diletakkan sebagai bagian dari reformasi sistem lembaga pemasyarakatan, termasuk memberantas korupsi dan suap di dalam penjara. Praktik korupsi bisa menyebabkan para jihadis bisa memengaruhi penghuni sel lain, begitupun sebaliknya. Meski tidak jelas bagaimana seorang napi diradikalisasi, tetapi itulah yang terjadi pada bomber Sarinah, Januari 2016 lalu, dan bomber di terminal Kampung Melayu, 24 Mei lalu.
Untuk itulah, memahami akar masalah teror jadi penting. Setiap pendekatan yang digunakan bisa berbeda, tapi konsep deradikalisasi semestinya sama: mengubah manusia yang memilih jalan kekerasan untuk berbalik (kembali) menjadi pendukung kebaikan dan bersikap damai.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Fahri Salam