tirto.id - Tak ada waktu untuk berleha-leha bagi pemerintahan baru Malaysia di bawah komando Perdana Menteri Mahathir Mohammad. Setelah berhasil mengalahkan Najib Razak dan sekutunya di kotak suara, kali ini mereka harus menghadapi permasalahan kompleks lainnya berupa pelunasan utang negara yang jumlahnya mencapai triliunan ringgit.
Guna mengurangi beban utang yang setara dengan 80% PDB Malaysia ($250,6 miliar) tersebut, pada Rabu (30/5), Mahathir menyatakan akan menciptakan suatu wadah untuk menampung partisipasi masyarakat Malaysia. Singkatnya, Mahathir mendorong kontribusi warga negara untuk mengentaskan utang.
“Ada banyak orang Malaysia yang bersedia menyumbangkan hartanya ke pemerintah ketika mereka tahu betapa buruknya situasi keuangan kami. Dan kami menyambut baik sikap patriotik mereka,” tegas Mahathir dilansir The New York Times.
Malaysia Hope Fund, demikian nama wadah tersebut, akan diurus oleh Kementerian Keuangan. Janji mereka: inisiatif ini akan dikelola secara sistematis dan transparan.
Sejak resmi beroperasi, Malaysia Hope Fund sudah mengumpulkan sekitar 7 juta ringgit ($1,8 juta), demikian terang juru bicara Kementerian Keuangan kepada BBC. Jumlah uang yang masuk diprediksi bakal terus bertambah.
Selain mengajak masyarakat untuk menyumbang, pemerintah Malaysia juga menempuh beberapa langkah seperti memangkas dana proyek kereta api super cepat, meninjau ulang pembangunan infrastruktur besar lainnya, sampai membuka kembali penyelidikan skandal 1MDB yang disinyalir merugikan kas negara senilai $4,5 miliar.
Mahathir berpendapat bahwa menumpuknya utang Malaysia disebabkan oleh kebijakan ekonomi rezim Najib yang tak tepat sasaran serta budaya korupsi yang masif dilakukan kroni-kroninya.
Atas Nama Inisiatif dan Solidaritas
Ide pengumpulan dana ini bermula dari inisiatif Nik Shazarina Bakti, perempuan 27 tahun asal Malaysia yang bekerja di LSM Sisters in Islam (SIS). Setelah mengetahui kabar bahwa negaranya punya utang yang banyak, Shazarina langsung tergerak mengajak masyarakat, baik di dalam maupun di luar negeri, untuk membantu meringankan beban pemerintah.
“Kita dapat kasih tahu anak dan cucu kita nantinya bahwa prakarsa ini diambil sebagai bagian dalam upaya menyelamatkan tanah air,” ungkapnya dikutip The Washington Post.
Dari situlah Shazarina menciptakan wadah bernama “Please Help Malaysia” di situsweb GoGetFunding. Shazarina meminta warga Malaysia menyumbangkan uang, perhiasan, serta barang berharga lainnya untuk menyelamatkan negara dari krisis.
Shazarina mengibaratkan bahwa aktivitas ini sama seperti ketika rakyat Malaysia mengumpulkan bekal untuk keberangkatan Tuanku Abdul Rahman (mantan Perdana Menteri) ke London dalam rangka memperjuangkan kemerdekaan dari Inggris.
Sampai sekarang, “Please Help Malaysia” telah mengumpulkan uang sekitar $3.600 dan masih akan terus dibuka hingga 31 Juli mendatang. Shazarina menegaskan, semua hasil donasi bakal diserahkan ke pemerintah tanpa terkecuali. Ia juga akan mengunggah kuitansinya ke laman “Please Help Malaysia.”
Aktivis sosial sekaligus putri Mahathir, Marina, menegaskan upaya Shazarina adalah wujud cinta kasih warga terhadap negaranya. Tak lupa, Marina juga mengajak masyarakat untuk memberikan dukungan atas nama "menyelamatkan Malaysia".
Tak cuma terjadi di Malaysia, aksi serupa ternyata pernah dilakukan Thom Feeney pada 2015 silam. Feeney, yang bekerja sebagai pegawai toko sepatu di London, membuat laman penggalangan dana untuk membantu Yunani keluar dari jerat utang kepada kreditor senilai €1,6 miliar imbas dari krisis ekonomi 2008.
“Uni Eropa merupakan rumah bagi 503 juta orang. Jika kita semua menyisihkan sedikit euro dari dompet kita, maka bukan tidak mungkin kita bisa membantu kondisi Yunani. Semoga mereka bisa segera kembali pulih. Ini hal yang cukup mudah,” katanya kepada BBC.
Feeney menjalankan misinya tersebut melalui situs crowdfunding bernama Indiegogo. Motivasi Feeney melakukan aksi ini didasari sikap “muak terhadap para politisi” yang kerja-kerjanya terkesan tak memberikan dampak signifikan bagi masa depan Yunani.
Yang menarik dari penggalangan dana tersebut ialah timbal balik yang diberikan kepada donatur. Mereka yang menyumbang donasi minimal yakni €3 akan memperoleh kartu pos ucapan dari Alexis Tsipiras, Perdana Menteri Yunani waktu itu, atau sebotol anggur Yunani seharga €25.
Sementara, mereka yang berkenan memberi €5.000, dalam hal ini angka donasi maksimal, akan menerima imbalan berupa kesempatan liburan ke Yunani. Ia berkali-kali menegaskan bahwa apa yang ditawarkannya itu “bukan lelucon” seperti yang diungkapkan orang-orang kepadanya.
Sama seperti program Shazarina, crowdfunding milik Feeney juga menekankan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Ia bahkan menjamin bahwa apabila dana yang dikumpulkan tidak memenuhi target, donasi bakal segera dikembalikan ke masing-masing pihak terkait.
Al Jazeera mencatat, penggalangan dana yang diinisiasi Feeney berhasil mengumpulkan total €1.740.959. Untuk ukuran crowdfunding, angka itu tidak bisa dibilang sedikit. Namun, yang jadi soal ialah bisakah inisiatif semacam itu bisa punya dampak signifikan terhadap pengurangan utang negara?
Belajar dari Korea
Target yang terlalu tinggi sering menjadi ganjalan crowdfunding, meski sangat banyak orang yang berkontribusi. Program Feeney, misalnya, hanya menyumbang nol sekian persen terhadap bantuan krisis di Yunani.
Dalam kasus Malaysia, ekonom Capital Economics, Krystal Tan, menyebutkan bahwa penggalangan dana yang dilakukan pemerintah dan masyarakat “tidak mungkin berdampak banyak.” Alasannya, kata Tan, “skala utang di Malaysia sangat tinggi.”
Senada dengan Tan, Robert Kahn, analis senior Council Foreign Relations, mengungkapkan program pengumpulan dana untuk mengeluarkan negara dari krisis ekonomi “tidak akan berhasil” karena crowdfunding seperti itu tidak akan mengumpulkan cukup uang.
Namun, sejarah mencatat tidak semua crowdfunding berujung kegagalan. Korea Selatan telah membuktikannya ketika krisis 1997.
Korea Selatan, sebuah negeri miskin bekas jajahan Jepang, berubah menjadi salah satu Macan Asia akibat serangkaian kebijakan reformasi ekonomi yang ampuh serta investasi besar-besaran di bidang pendidikan.
Namun, semuanya berbalik tatkala krisis mata uang Baht di Thailand pada 1997 menjalar ke Seoul; memukul Won hingga jadi bancakan para spekulan untuk menarik dolar besar-besaran ($18 miliar). Tindakan para spekulan akhirnya membuat perbankan Korea Selatan kolaps dan ratusan ribu orang kehilangan pekerjaan.
Pemerintah Korsel akhirnya menghampiri IMF dan meminta bantuan pinjaman dana. Kesepakatan diteken, paket bailout senilai $58 miliar pun dikucurkan pada Desember 1997.
Selesaikah masalah? Tentu saja tidak. Bukannya bangkit, perekonomian Korsel malah semakin jatuh karena IMF mewajibkan Korsel untuk meliberalisasi perdagangan dan neraca modal, mereformasi pasar tenaga kerja, sampai merestrukturisasi tata kelola BUMN sesuai formula yang selalu dirumuskan IMF setiap menangani negara yang mengalami krisis ekonomi.
Di tengah tekanan tersebut, pemerintah Korsel mengambil langkah tak terduga. Seperti dicatat BBC, pada 5 Januari 1998, pemerintah Korsel meluncurkan sebuah kampanye nasional yang mengajak tiap warganya untuk menyumbangkan emas miliknya demi membantu negara keluar dari krisis dan membayar utang.
Dalam catatan Frank Holmes berjudul “How Gold Rude to the Rescue of South Korea” yang dimuat di Forbes, saat itu diperkirakan masyarakat Korsel menyimpan emas senilai $20 miliar dalam bentuk kalung, koin, batangan, pernak-pernik, patung, medali, liontin, sampai lencana militer.
Bagi masyarakat Korsel, emas adalah satu hal yang lekat dalam kehidupan sehari-hari. Ia digunakan dalam perayaan ulang tahun, dijadikan hadiah pernikahan, dan dihadiahkan ke pegawai perusahaan saat masa pensiun tiba di depan mata. Singkatnya, emas adalah alat penjaga martabat, simbol sosial, serta investasi kekayaan yang berharga tinggi untuk masyarakat Korsel.
Gayung pun bersambut. Ajakan pemerintah direspons dengan antusias oleh masyarakat Korsel. Forbes melaporkan, hampir 3,5 juta orang—seperempat dari total jumlah penduduk saat itu—berpartisipasi secara sukarela dalam kampanye ini. Kaya, miskin, tua, muda berbondong-bondong menyerahkan emas ke titik-titik pengumpulan yang disediakan pemerintah. Statistik mencatat, setiap orang rata-rata memberikan 65 gram emas atau setara dengan valuasi saat itu, $640. Tak sekedar warga sipil, perusahaan dengan nama besar macam Samsung, Hyundai hingga Daewoo juga ikut menyumbang.
Dalam kurun waktu dua bulan, emas yang kemudian diuangkan menjadi senilai $2,2 miliar sukses dikumpulkan. Angka itu, catat Holmes, “berkontribusi besar dalam usaha Korsel membayar pinjaman utangnya” yang lunas pada Agustus 2001—lebih cepat tiga tahun dari perjanjian.
Yang lebih penting dari pelunasan utang: rakyat Korsel menunjukkan solidaritas, dukungan, serta perasaan senasib-sepenanggungan ketika tanah air mereka dihajar krisis.
Kata “solidaritas” pula yang mendasari Shazarina dan Feeney tatkala keduanya memutuskan untuk memprakarsai aksi crowdfunding utang di Malaysia dan Yunani.
“Jika kita tidak mencapai target, setidaknya ada pesan yang disampaikan. Tak peduli apakah kamu pemuda kelas pekerja di Yorkshire, Skotlandia, atau Athena, apakah orang lain peduli akan dirimu, atau mungkin pemerintah melupakanmu, yang jelas kamu bisa membuat perbedaan,” tandas Feeney.
Bisakah Malaysia?