tirto.id - Bank Indonesia (BI) mengaku tidak mempermasalahkan cara pembayaran parkir di mal-mal Lippo yang menggunakan aplikasi OVO. Adapun BI tidak melihat adanya pelanggaran yang dilakukan Lippo Group selaku induk dari OVO karena izin yang telah dikantongi perusahaan tersebut.
“OVO telah memiliki izin sebagai penerbit e-money,” kata Kepala Departemen Surveilans Sistem Keuangan BI Sempa Sitepu yang disampaikan melalui Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman kepada Tirto pada Jumat (9/2/2018) malam.
Lebih lanjut, Sempa menilai penggunaan aplikasi OVO untuk alat pembayaran di sejumlah tempat yang juga berada di bawah naungan Lippo Group sebagai hal yang wajar. BI sendiri mengklaim pihak manajemen mal tetap menyediakan alternatif cara pembayaran lainnya.
“Berdasarkan pemantauan pengawas, mereka tetap menyediakan cara pembayaran tunai kok,” ucap Sempa.
Sementara itu, pada Jumat (9/2) Tirto juga sudah sempat menghubungi Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko untuk meminta tanggapannya mengenai praktik bayar parkir dengan menggunakan OVO di mal milik Lippo.
Onny pun ternyata belum bisa memberikan jawaban pasti mengenai hal itu. “Saya belum bisa jawab mengenai itu. Karena untuk itu perlu dicek,” ujar Onny.
Berdasarkan reportase yang dilakukan Tirto di sejumlah mal milik Lippo, seperti Lippo Mall Kemang, Pejaten Village, dan Plaza Semanggi, pada Sabtu (3/2/2018) pekan lalu, terpampang pengumuman yang menyatakan sejak 18 Januari 2018 setiap kendaraan wajib bayar parkir menggunakan OVO.
Sebagai upaya promosi, pengelola parkir pun mengiming-imingi tarif parkir yang hanya sebesar Rp1.000,00 kepada pengguna OVO. Seorang petugas di pos Parking Payment Station (PPS) pun sempat menyebutkan mekanisme semacam itu akan tetap dipertahankan sampai informasi ketentuan menggunakan OVO diketahui banyak orang.
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Syarkawi Rauf menyatakan apabila pelaku usaha terbukti hanya memperbolehkan pengguna lahan parkir untuk membayar dengan aplikasi OVO, maka hal itu bisa dikategorikan sebagai diskriminasi terhadap pelaku usaha lain.
“Kalau melanggar, jelas sanksinya berupa denda atau sanksi lain. Tapi jangan berandai-andai dulu. Kami akan lihat faktanya seperti apa,” kata Syarkawi pada Kamis (8/2/2018).
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Alexander Haryanto