tirto.id - Penembakan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat adalah hasil pembelaan diri Bharada Richard Eliezer sekaligus upaya melindungi istri Kadiv Propam Irjen Ferdy Sambo, Putri Candrawathi. Demikianlah narasi awal skandal yang menyedot perhatian banyak orang sejak satu bulan terakhir.
Cerita lengkapnya, yang dirilis oleh kepolisian, sebagai berikut: Yosua, atau yang kerap disebut Brigadir J, mendatangi rumah dinas Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat 8 Juli 2022. Brigadir J tidak lain adalah ajudan Sambo yang juga bertugas mengawal Putri.
“Brigadir J memasuki kamar Kadiv Propam. Saat itu, istri Kadiv Propam sedang istirahat. Kemudian Brigadir J melakukan tindakan pelecehan dan menodongkan pistol ke kepala istri Kadiv Propam,” kata Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan, di Mabes Polri, Jakarta, Senin 11 Juli.
Putri kemudian berteriak, Brigadir J panik, lalu angkat kaki. Bharada E mendengar dan lekas menghampiri. Ketika Bharada E bertanya apa yang terjadi, Brigadir J malah melepaskan tembakan. Brigadir J disebut melepas tujuh peluru dan semua meleset. Sementara letusan dari Bharada E bersarang dan menewaskan lawan.
Posisi Bharada E saat itu di lantai 2, sementara Brigadir J lantai 1. Keduanya dipisahkan tangga dan hanya berjarak 10 meter.
Waktu berlalu dan terbukti banyak kejanggalan dari versi cerita awal di atas. Kapolres Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto, misalnya, mengatakan bahwa Bharada E jago menembak, klaim yang kemudian dibantah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Bharada E sebenarnya tidak ahli menembak meski LPSK tak menampik bahwa ia punya kemampuan cukup sampai diperbolehkan memegang senjata. Menurut mereka Brigadir J-lah yang lebih dikenal sebagai jago tembak.
Keluarga Brigadir J juga tidak tinggal diam. Mereka ikut membeberkan kejanggalan. Menurut keluarga, ketika datang mengantarkan jenazah Brigadir J ke Jambi, Kepala Biro Pengamanan Internal Divisi Profesi dan Pengamanan (Karo Paminal Divpropam) Polri Brigjen Hendra Kurniawan melarang membuka peti, mengambil foto, dan merekam. Hal ini mereka anggap sebagai upaya intimidasi.
Beberapa hari kemudian Polri akhirnya menonaktifkan dua orang itu karena dianggap tidak profesional.
Sedangkan Komnas HAM, yang menyelidiki kasus secara terpisah dari Polri, mengungkap ada tembakan yang dilepaskan dari jarak dekat untuk menghabisi nyawa Brigadir J. Tembakan itu juga bukan dari arah depan melainkan belakang kepala.
Belakangan bahkan tim khusus mengetahui bahwa rekaman kamera pengawas (CCTV) di kompleks perumahan yang dikatakan rusak sebenarnya baik-baik saja, tapi ada orang tak dikenal yang memang mengambil isinya.
Dari sekian banyak yang membeberkan kejanggalan kasus, dari mulai Komnas HAM, LPSK, bahkan Polri sendiri, ada satu institusi yang terlihat sangat pasif padahal punya peran, yaitu Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas). Kompolnas bahkan mengulang narasi awal di atas.
Lemahnya Kompolnas
Kompolnas disorot dan banyak mendapat kritik karena sang ketua harian, Benny Mamoto, menyebut “tidak ada kejanggalan” dalam penyelidikan awal Polri. Klaim-klaim dari keluarga korban--bahwa ada luka lebam dan ada jari putus pada jenazah Brigadir Y--juga ia patahkan. Dia menyatakan hal ini di Kompas TV 13 Juli lalu.
Pernyataan ini sempat viral di media sosial dan nama Benny Mamoto trending. Ia bahkan didesak mundur oleh seorang anggota DPR.
Sadar bahwa pernyataannya memicu kritik, Benny memberikan keterangan lanjutan. Ia menjelaskan bagaimana penilaian prematur--“tak ada kejanggalan”--bisa keluar.
Benny mengaku bahwa setelah masuk aduan dari keluarga, dia langsung meminta klarifikasi ke Polres Jakarta Selatan--yang awalnya bertanggung jawab terhadap perkara tersebut. Dari hasil temuan seperti foto-foto jenazah dan tempat kejadian perkara (TKP) yang ditunjukan Polres Jakarta Selatan, memang tidak ditemukan hal-hal seperti yang disampaikan keluarga.
“Bagaimana rilis Polri itulah acuan kami, karena itu dari sumber resmi,” kata Benny. Jawaban soal “tidak ada kejanggalan” pun dia dapat dari omongan Polres Jakarta Selatan.
Sementara lembaga yang menemukan kejanggalan kasus seperti Komnas HAM “diberi kewenangan penyelidikan,” Kompolnas “tidak,” katanya. “Sehingga dalam posisi ketika menerima klarifikasi, ya, kami percaya.”
Ringkasnya, kerja-kerja Kompolnas sangat bergantung pada kerja anggota Polri itu sendiri.
Tidak heran jika kemudian sebagian orang berpendapat bahwa Kompolnas tak lebih dari sekadar humas Polri, padahal fungsinya lebih dari itu. Kompolnas adalah pengawas Polri yang tugasnya diakui dan diamanatkan oleh negara.
Kompolnas dibentuk berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Eksistensi Kompolnas juga diperkuat oleh Perpres Nomor 17 Tahun 2011 tentang Kompolnas dan Perpres Nomor 20 Tahun 2019 tentang pendapatan pengurus dan anggota Kompolnas.
Dalam Perpres 17/2011, fungsi Kompolnas adalah pengawas fungsional, sedangkan tugas utamanya adalah membantu presiden menetapkan arah kebijakan Polri. Selain itu Kompolnas juga bisa membantu presiden dalam pertimbangan memilih Kapolri.
Ismantoro Dwi Yuwono dalam buku Kisah Para Makelar Kasus (2010) menganggap kehadiran Kompolnas dapat membuat citra polisi yang buruk menjadi lebih baik dengan mempertegas sanksi-sanksi kepada mereka yang melakukan pelanggaran. Namun, pada kenyataannya, sanksi-sanksi itu baru bisa diharapkan jika memang kesalahan Polri semacam Sambo terendus publik.
Tidak berlebihan bila Ismantoro kemudian menyebut harapan memperbaiki citra Polri “tentu saja berlebihan.” Bagi Ismantoro, peran Kompolnas hanya sebagai penasihat dan penasihat tidak akan bisa “mendongkrak citra Polri.”
Sejumlah riset juga menyebut berbagai keterbatasan Kompolnas, misalnya dari Mochammad Nasser, yang tidak lain adalah mantan komisioner Kompolnas. Dalam Jurnal Hukum Sasana(Vol. 7, No. 1, Juni 2021), ia mengatakan tugas dan wewenang Kompolnas saat ini belum mampu membuat mereka maksimal “menjalankan fungsi sebagai lembaga negara pembantu dalam pengawasan kinerja Polri.”
Disebutkan bahwa fungsi mereka “terlampau abstrak untuk bisa melakukan pengawasan efektif.” Lalu, arena kedudukannya dengan Polri sama-sama di bawah presiden, Kompolnas sulit “memberikan penilaian objektif terhadap Polri.”
Demikian pula soal wewenang. Nasser menyebut “wewenang yang dimiliki Kompolnas saat ini masih terbatas pada wilayah teknis pemantauan yang tidak memiliki kekuatan hukum untuk menindaklanjuti hasil pemantauan dan evaluasi.”
Di Inggris, lembaga seperti Kompolnas disebut Independent Police Complaints Commission (IPCC)--yang sekarang berganti menjadi Independent Office for Police Conduct (IOPC). Tapi, berbeda dengan Kompolnas, tim yang diisi oleh kalangan sipil ini punya kewenangan untuk melakukan investigasi aduan masyarakat. Bahkan, dalam kasus tertentu, mereka bisa melakukan supervisi kasus yang tengah diselidiki polisi.
Hasil kerja mereka seringkali menjadi bahan kritik untuk polisi.
Di Indonesia, kewenangan semacam ini tidak diatur meski sudah disinggung sejak hampir satu dekade lalu. Pada 2014 lalu M. Nasser mengatakan “kehadiran Kompolnas itu tidak ada manfaatnya.” Misalnya, ketika masukan Kompolnas diterima oleh Polri, perbaikan tetap tidak dilakukan.
Perbaikan pada institusi Polri memang seakan tidak berjalan. Setiap tahun, aduan terhadap tindakan Polri justru bertambah. Pada 2018 ada setidaknya 1.104 aduan soal kinerja Polri. Setahun berikutnya ada 2.059 aduan, dan dari Agustus 2020 hingga Agustus 2021 ada 4.112 laporan yang masuk ke Kompolnas.
Nasser lalu mengatakan hanya ada dua pilihan bagi institusi tersebut: dibubarkan atau diperkuat. “Kalau tetap begini, Kompolnas itu sebaiknya dibubarkan saja,” katanya.
Editor: Rio Apinino