tirto.id - Sudah satu bulan Anjani menggunakan jasa telemedis dari salah satu aplikasi kesehatan. Tulang punggungnya kerap nyeri, tapi Anjani takut untuk memeriksakan kesehatan secara tatap muka.
Telemedis ialah pemakaian telekomunikasi untuk memberikan informasi dan pelayanan medis jarak-jauh.
“[Aplikasinya] membantu banget saat pandemi begini,” ujarnya kepada Tirto, Rabu (23/12/2020).
Wanita 26 tahun tersebut direkomendasikan oleh seorang teman yang lebih dulu menggunakan jasa telemedis pada aplikasi yang sama. Ia menjadi yakin karena aplikasi tersebut membantu proses penyembuhan temannya.
Menurut Anjani, proses menggunakan telemedis cukup mudah. Mulanya membuka aplikasi dan menuju fitus konsultasi, memilih kategori dokter yang relevan dengan penyakit dan memilih dokter.
Anjani semakin yakin berkonsultasi karena daftar dokter di aplikasi tersebut terpercaya.
“Aku lihat mereka punya nomor STR [surat tanda registrasi]. Aku rasa aman sih,” ujarnya.
Sementara Rizal pernah punya pengalaman sepat ketika berkonsultasi estetika dengan dokter secara daring. Pada akhir 2019, ia menemukan akun klinik estetika di media sosial dan berujung ke WhatsApp untuk tahap konsultasi.
Rizal memiliki persoalan jerawat wajah. Awalnya ia merasa yakin berkonsultasi ke dokter tersebut karena melihat testimoni pasien lainnya. Namun setelah berkonsultasi dan membeli beberapa krim dari sang dokter, Rizal tak menuai manfaat. Jerawat di wajahnya tidak berkurang meski tidak bertambah.
“Gue coba dulu sampai dua bulan dan tetap enggak ada perubahan, ya gini-gini saja. Sempet protes dan disuruh beli krim lagi, gua iya-iya aja tapi enggak beli,” ujarnya kepada Tirto, Rabu.
Rizal mendaku tidak melakukan verifikasi untuk nama klinik dan dokter bahkan obat-obat yang ia beli dari klinik tersebut. Selain karena impulsif, Rizal ternyata tidak mengetahui cara memeriksa keabsahan sebuah praktik kesehatan.
“Memang ceknya bagaimana?” ujarnya.
Praktik Telemedis Menjadi Sarang Dokteroid
Wakil Ketua Majelis Pengembangan Profesi Kedokteran (MPPK) IDI Mahesa Paranadipa mengatakan tren praktik telemedis menjadi hal yang kerap dipertanyakan, sebab menawarkan kemudahan dan memberikan efisiensi waktu. Namun para pasien harus tetap berhati-hati terhadap potensi dokteroid—istilah untuk orang yang bukan dokter tetapi melakukan praktik kedokteran.
Aplikasi yang baik menurutnya sudah terdata di Kementerian Kesehatan dan mampu memberikan data dokter yang akurat.
“Rata-rata aplikasi punya SOP untuk setiap dokter yang bergabung. Tapi bisa saja terjadi human error saat pendataan. Pasien harus tetap cek sendiri,” ujar Mahesa kepada Tirto, Rabu.
IDI memiliki 4 kriteria dokteroid. (1) Orang awam yang melakukan praktik kedokteran; menerima pasien dengan mengaku sebagai dokter dan memeriksa serta memberikan obat kepada pasien (2) Bidan dan perawat dapat dikategorikan dokteroid seandainya turut memberikan praktik kedokteran terhadap pasien.
(3) Seseorang yang bukan dokter namun memberikan seminar kedokteran (4) dokter asing yang membuka praktik tanpa izin di Indonesia.
Pada 2017, IDI pernah mencatat 15 kasus dokteroid di Indonesia. Sebagian besar kasus tersebut, menurutnya, tergolong kategori pertama.
“Yang bukan dokter [kategori pertama] itu termasuk pelanggaran pidana UU praktik kedokteran. Polisi bisa turun tangan langsung,” ujarnya.
Dalam kondisi pandemi dan kebutuhan akan kesehatan semakin tinggi, masyarakat perlu membekali diri dengan pengetahuan melakukan verifikasi dokter.
Masyarakat bisa membedakan seorang dokter itu sah atau tidah sah dengan melakukan beberapa hal. Jika dokter tersebut aktif di media sosial, pasien perlu memperhatikan perilaku dokter di dunia maya.
Seorang dokter yang legal, menurut Mahesa, mengetahui batas berperilaku.
“Ia tidak boleh mempromosikan dirinya secara berlebihan, ‘saya dokter ini dan ahli ini dan berpengalaman dan lain-lain’ Kalau dia taat etika profesi, tidak begitu,” ujarnya.
Langkah selanjutnya, pasien bisa memeriksa nama dokter tersebut di situs idionline.org atau situs Konsil Kedokteran Indonesia: kki.go.id. Kalau pasien tidak mendapati nama dan foto yang sesuai maka dipastikan dokter tersebut illegal atau dokteroid.
Pasien bisa juga melakukan verifikasi luring. Jika pasien mengetahui dokter tersebut bertugas di suatu daerah. Pasien cukup mendatangi kantor cabang IDI dan Dinas Kesehatan setempat.
Serta pasien perlu memeriksa prasyarat legal dokter yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Menurut UU tersebut, dokter harus punya surat tanda registrasi (pasal 29 ayat 1) yang diterbitkan Konsil Kedokteran Indonesia (pasal 29 ayat 2).
Sementara itu, Permenkes Nomor 2052 Tahun 2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran mengatur dokter yang menjalankan praktik kedokteran wajib memiliki Surat Ijin Praktik (Pasal 2 ayat 1) yang diterbitkan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Pasal 2 ayat 2).
Syarat itu mutlak mesti dimiliki seorang dokter karena UU No 29 Tahun 2004 menyebut dokter wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien (pasal 51).
Dokteroid menjadi berbahaya sebab ia tidak memiliki kompetensi di bidang pelayanan kedokteran. Sehingga potensi kesalahan penanganan pada pasien menjadi terbuka lebar.
“Dia tidak belajar cara diagnosis dan memeriksa apalagi terapi. Dia hanya tahu kayak (jualan) tukang obat saja,” tandasnya.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Restu Diantina Putri