tirto.id - Pada Januari 2018, Kementerian Kesehatan mengungkap sindikat penyedia jasa pembuatan surat izin sakit. Sindikat itu berperan sebagai dokter. Siapa pun bisa mendapatkan surat tersebut dengan biaya sebesar Rp25-50 ribu per lembar surat.
Enam bulan sebelumnya, sebuah video yang menampilkan Jeng Ana menjadi viral di media sosial. Dalam video tersebut, Jeng Ana mengomentari hasil pemindaian Magnetic Resonance Imaging (MRI) seorang penderita tumor otak.
Dua peristiwa tersebut modusnya berbeda, tapi sama-sama dilakukan oleh orang-orang yang bukan dokter. Kasubdit II Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Kombes Pol Asep Safrudin menerangkan bahwa dua anggota sindikat, MKM dan NDY, adalah mahasiswi. Seorang lainnya, MJS, adalah seorang pengangguran. Sementara itu, Jeng Ana adalah seorang ahli pengobatan herbal. Keempat orang tersebut tidak memiliki latar belakang pendidikan dokter, apalagi keahlian menganalisis hasil pemindaian MRI.
Orang-orang yang bertindak semacam itu digolongkan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dengan sebutan dokteroid.
Ketua Bidang Keorganisasian dan Sistem Informasi Kelembagaan Pengurus Besar (PB) IDI Mahesa Paranadipa menyatakan dokteroid, secara umum, merujuk pada orang yang bukan dokter tetapi melakukan praktek kedokteran. Pemakaian kata dokteroid diilhami dari istilah ginekoid yang sempat ramai semasa 1970-an. Istilah itu menunjuk kepada dokter umum yang berpraktik sebagai dokter kandungan, padahal dia bukan ginekolog.
Apa itu Dokteroid?
IDI memiliki 4 kriteria seseorang digolongkan sebagai dokteroid. "Kategori pertama adalah orang awam yang melakukan praktek kedokteran. Jadi, dia menerima pasien, mengaku sebagai dokter, kemudian memeriksa dan juga memberikan obat kepada pasien tersebut," ujar Mahesa.
Kedua, seseorang yang berprofesi di bidang kesehatan, seperti bidan atau perawat, juga dapat dikategorikan dokteroid. Hal itu berlaku apabila mereka turut memberikan praktek kedokteran kepada seorang pasien.
"[Yang disebut dokteroid itu] misalnya, perawat kan tidak boleh mengoperasi, tetapi dia melakukannya. Itu kasus dokteroid," ujar laki-laki yang kini juga menjadi staf pengajar di UIN Syarief Hidayatullah, Jakarta.
Dua kategori dokteroid lainnya mencakup orang yang bukan dokter tetapi memberikan seminar atau ceramah soal kedokteran, serta dokter asing yang membuka praktek tanpa izin di Indonesia.
"Dokter asing sebenarnya bisa membuka praktek di Indonesia, asal memenuhi syarat-syarat yang berlaku," ungkap Mahesa.
Mahesa mengatakan IDI mencatat ada 15 kasus dokteroid di Indonesia yang dilaporkan kepada IDI selama 2017. Sebagian besar kasus tersebut, menurutnya, tergolong kategori pertama.
Fenomena dokteroid pun juga bukan barang baru di negara ini. Mahesa pernah membuka klinik di Jakarta Timur. Dia ingat betul, pada 2008, seorang pasien penderita TB datang ke kiniknya. Awalnya, pasien itu berobat ke Puskesmas. Kemudian, dia beralih untuk berobat klinik lain yang tergolong dalam kategori dokteroid sebelum datang ke klinik Mahesa.
"Kalau berobat kan bisa sampai 9 bulan. Mungkin karena tidak tahan minum obat setiap hari, dia pergi ke pengobatan lain. Dokteroidnya menawarkan obat yang diklaim bisa bikin cepat sembuh. Nyatanya, pasien itu tidak kunjung sembuh selama minum obat dokteroid itu. Akhirnya dia minum obat puskesmas lagi, tapi mulai dari nol," Mahesa mengingat pengalamannya berhadapan dengan korban dokteroid.
Pada 2016, Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Pekanbaru dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Pekanbaru juga mengungkap praktik dokteroid yang dilakukan seorang bernama RS. Laki-laki yang saat itu berumur 24 tahun itu membuka klinik dokter gigi di sebuah ruko tanpa disertai Surat Ijin Praktik (SIP). Menurut laporan Republika, dia mengaku sebagai dokter lulusan Universitas Sumatera Utara untuk meyakinkan konsumennya.
Setahun sebelumnya, Polres Jakarta Selatan menangkap seorang bernama JS. Dia membuka klinik kecantikan di sebuah mal di Jakarta Selatan. Namun, sebanyak 6 pasien JS melaporkan mereka menjadi sakit setelah ditangani JS. Bahkan, seorang pasien menyatakan bahwa alat kelaminnya rusak setelah disuntik JS.
"Kalau pengakuan pelaku, ada 15 orangan. Tapi, yang lapor kan baru 6 orang ini. Satu orang di RSCM, satu lagi di RS Sari Asih. Keduanya akan menjalani operasi akibat rekonstruksi pelaku yang gagal," ujar Wakapolres Jakarta Selatan AKBP Surawan kepada Detik.
Berdasarkan laporan Polres Jakarta Selatan, pendidikan terakhir JS adalah SMA. Untuk meyakinkan calon pasiennya, ia mengaku sebagai dokter ahli bedah yang sudah menjalankan praktik sejak 2013. Setiap kali melakukan perawatan, Jenny menarik bayaran setidaknya Rp6 juta.
Praktik berbahaya semacam ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Pada Senin (6/2/2018), The New York Times melaporkan sebanyak 33 orang terjangkit HIV di Distrik Unnao, Uttar Pradesh, India setelah disuntik seorang yang mengaku dokter - di India orang seperti ini disebut jhola chhaap doctor.
Laporan tersebut menyebutkan si jhola chhaap doctor berkeliling desa dan menawarkan penyembuhan penyakit melalui suntikan. Kepada calon pasiennya, dia mengatakan suntikan tersebut bisa membuat mereka merasa lebih baik. Namun, dokter gadungan itu menggunakan satu suntikan untuk banyak orang tanpa membersihkannya.
Sementara itu, Kepala Pusat Pengobatan Sosial dan Kesehatan Masyarakat di Universitas Jawaharlal Nehru, New Delhi, Mohan Rao mengatakan jhola chhaap doctor tumbuh subur di India karena sistem kesehatan India buruk.
"Orang yang putus asa menemukan cara putus asa untuk mendapatkan perawatan kesehatan,'' kata Rao. "Ini adalah kegagalan masyarakat India, sebuah kegagalan politik India. Kami mengucurkan [dana] yang terendah untuk perawatan kesehatan masyarakat di dunia."
Di Eropa dan Amerika Serikat, orang dengan tindakan serupa dokteroid dikenal dengan istilah quack atau quacksalver. Contohnya adalah yang terjadi pada 2016, di Virginia, AS. Malachi Love-Robinson ditangkap dan dipenjara setelah menyelenggarakan praktik dokter tanpa izin.
Perhatikan Prasyarat Legal Dokter
Menurut Mahesa, yang paling mempengaruhi seseorang datang ke dokteroid adalah testimoni orang yang mengklaim sembuh setelah berobat ke dokteroid tersebut. "Sebagian besar masyarakat tertarik karena testimoni. Padahal itu dibuat dokteroid sendiri," Mahesa.
"Sebenarnya Jeng Ana tidak masalah jika hanya menyelenggarakan pengobatan herbal/pengobatan alternatif, selama memberikan treatment sesuai dengan [profesi pemberi terapi alternatif]. Namun, dia [Jeng Ana] tidak memiliki keahlian untuk mengomentari hasil pindai MRI. Itu wewenang dokter," imbuhnya.
Untuk menghindari praktik dokteroid, calon pasien sebenarnya dapat meninjau prasyarat legal dokter yang diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Menurut UU tersebut, dokter harus punya surat tanda registrasi (pasal 29 ayat 1) yang diterbitkan Konsil Kedokteran Indonesia (pasal 29 ayat 2).
Sementara itu, Permenkes Nomor 2052 Tahun 2011 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran mengatur dokter yang menjalankan praktik kedokteran wajib memiliki Surat Ijin Praktik (Pasal 2 ayat 1) yang diterbitkan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota (Pasal 2 ayat 2).
Syarat itu mutlak mesti dimiliki seorang dokter karena UU No 29 Tahun 2004 menyebut dokter wajib memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien (pasal 51).
Calon pasien juga dapat memeriksa nama dan kesesuaian wajah dokter di IDI idionline.org atau Konsil Kedokteran Indonesia kki.go.id. Selain itu, setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Pasal 66).
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani