tirto.id - “Selamat siang, Pak Menteri! Kami datang menagih janji. Kami datang membawa suara aliansi untuk THR! Kami ada roda empat, roda dua, bahkan kurir yang selama ini kami hanya diperbudak oleh aplikator, di mana kami hanya dijanjikan, namun kami diperas tenaga maupun keringatnya!” begitu kiranya seruan Ketua Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), Lily Pujiati, sesampainya di halaman Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) pada sekitar pukul 10.40 WIB, Senin (17/2/2025).
Lily datang bersama sekitar 50 massa aksi dan menjadi orang-orang yang membuka orasi. Di belakangnya, terus berdatangan para pengojek daring untuk menyampaikan aspirasi, menuntut tunjangan hari raya (THR) yang sejak ojek-ojek daring mengaspal di Indonesia pada sekitar tahun 2015, tak kunjung diberikan oleh para aplikator, alias perusahaan-perusahaan layanan transportasi online (ride hailing).
Alih-alih THR, selama bertahun-tahun, para pengemudi ojol hanya mendapatkan bonus Hari Raya Idul Fitri yang nominalnya tak seberapa. Parahnya, bonus tersebut hanya diperoleh jika si pengojek daring menarik penumpang di Hari Raya.
“Katanya ada THR, tapi ternyata insentif. Bonus yang kita para driver dapatkan, tapi (kalau) masih nge-bid (on beat/menunggu atau mencari orderan masuk) di posisi Hari Raya. Kayak Lebaran Idul Fitri, saya masih nge-bid, tapi mendapatkan insentif Rp3.000, yang di mana (aplikator) nyatakan itu THR,” kata Engking, pengemudi ojol asal Kemayoran, Jakarta Pusat, saat ditemui di halaman Kemenaker.
Sudahlah nilai bonus Hari Raya yang didapatnya minim, penumpang saat hari besar keagamaan itu juga cukup sepi. Apalagi, banyak warga Jakarta mudik atau pulang kampung saat Hari Raya Idul Fitri.
“Yang insentifnya juga nggak manusiawi menurut saya. Rp3.000 itu satu orderan. Jadi, misalnya argo Rp10.200 plus Rp3.000 gitu. (Kalau nggak narik) ya, nggak dapet. Makanya, kan, cuma bullshit doang, yang dikatakan THR (itu) insentif, THR (itu) benefit, atau segala macem lah. Ternyata kita disuruh kerja,” keluh Engking, sembari menjelaskan kalau bonus Hari Raya oleh para aplikator diberikan selama dua hari, H-1 dan hari H Idul Fitri.
THR, lanjut pria 37 tahun itu, cukup penting bagi dirinya dan mitra ojol lain yang memiliki pendapatan tak sampai Rp3 juta per bulan. Apalagi, mulai dari pulsa, bensin, hingga kendaraan untuk mengojek daring, menggunakan aset milik mereka sendiri. Sehingga, jika pulsa atau bensin habis ataupun motor rusak, yang menanggung dan kesulitan mengojek adalah pengemudi ojol sendiri.
“Maka saya bilang, kalau keuntungan buat kita, nggak ada. Kalau buat aplikator, memang benar-benar kita ditindas dari aplikator ini,” lanjut Engking, yang memilih untuk mematikan orderannya dari aplikasi Grab hanya demi dapat menyampaikan aspirasinya langsung kepada pemerintah.
Ketua SPAI, Lily Pujiati, pada gilirannya mengatakan, demo yang diikuti oleh total 1.000 pengemudi ojol ini menjadi puncak kekesalan terhadap aplikator seperti Gojek, Grab, hingga Maxim. Bagaimana tidak, selama 10 tahun menjadi mitra aplikator, tak satupun perusahaan ride hailing tersebut yang memberikan THR kepada para pengojek daring mitranya. Padahal, para pengemudi ojol yang selama 10 tahun terakhir itu masih berstatus sebagai mitra, telah menghasilkan pundi-pundi keuntungan bagi para aplikator.
PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), dalam laporan keuangan terakhirnya di Bursa Efek Indonesia (IDX), mencatatkan pendapatan dan penjualan sebesar Rp11,66 triliun pada Januari-September 2024, naik sekitar 11 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Layanan bisnis On-Demand Services (ODS) perusahaan tersebut, yang di dalamnya termasuk Gojek dan GoFood, tercatat menyumbang pendapatan bruto Rp 10,3 triliun, naik 17 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya.
Kemudian, Grab Holding Limited, dalam siaran persnya, juga mencatatkan kenaikan 17 persen pendapatan ke 716 juta dolar AS pada kuartal III 2024, dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Pendapatan dari segmen mobilitas, seperti GrabBike dan GrabCar, juga naik 17 persen jadi 271 juta dolar AS, dari periode sebelumnya.
“Kalau di dalam Undang-Undang 13 (Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan), ojol ini sudah termasuk pekerja karena sudah memenuhi 3 unsur, yaitu pekerjaan, upah, serta satu lagi (waktu tertentu). Di sini kita sudah dikategorikan sebagai pekerja. Nah, untuk itu kami mendesak (aplikator untuk memberikan THR),” ujar Lily, kepada awak media, di tengah demo ojol.
Soal THR, para pengemudi ojol berharap bisa mendapatkan uang tunai, bukan sembako atau bonus berupa barang lainnya yang selama ini diberikan aplikator. Adapun soal besaran, Lily mengaku akan menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Kemenaker.
“Selain itu, kami juga menuntut dihapuskannya ‘aceng’ dan slot, karena ini merugikan driver. Kami merasa diperbudak dengan adanya ‘aceng’ dan slot ini karena tarifnya sangat murah dan ada pengkotak-kotakan wilayah,” jelasnya, sambil menggebu-gebu.
‘Aceng’, kata Lily, merupakan kependekan dari argo goceng alias Rp5.000 yang diterapkan Gojek. Sedangkan slot merupakan sistem pengantaran berdasarkan wilayah yang diterapkan Grab. Melalui sistem ini, pengemudi ojol hanya akan mendapatkan tarif Rp5.000-Rp6.000 per pengantaran untuk jarak 3-5 kilometer (km). Nominal tersebut jauh lebih rendah dari tarif reguler yang bisa mencapai Rp8.000 per pengantaran.
“Ini sangat merugikan. Bahkan, jarak tempuh maupun pengambilannya pun sangat merugikan kami. Itu ada diterapkan di salah satu aplikasi ijo. Bukan promo, ini tarif murah. Mereka menyebutnya ‘aceng’. Karena mereka memberikan ini sebetulnya upah murah, ya yang diterapkan,” jelas dia.
Dengan berbagai ketidakadilan yang diterima para pengojek daring itu lah yang kemudian membuat massa aksi melakukan ‘Revolusi Pekerja’.
“Supaya ada perubahan di pekerjaan (ojol) itu,” tegas Lily.
Sementara itu, selain kepada Kemenaker, asosiasi-asosiasi pengemudi ojol juga telah menyampaikan rentetan tuntutan mereka kepada salah satu aplikator dan mendapat respon positif. Pun, Kemenaker juga telah menindaklanjuti tuntutan para pengojek daring dengan memanggil perwakilan-perwakilan aplikator.
Dengan ini, Lily dan para pengemudi ojol lainnya berharap mimpi sejahtera mereka dapat terwujud. “Dan kami percaya. Kementerian Ketenagakerjaan mempunyai jurus yang jitu untuk ini. Untuk itu, kami datang mengawal,” sambungnya.
Menanggapi demo yang dilakukan oleh para pengojek daring, public relations specialist Maxim Indonesia, Yuan Ifdal Khoir, meminta Kemenaker dapat memberikan keputusan yang objektif berdasarkan UU Ketenagakerjaan yang berlaku, dalam hal ini UU 13/2003 terkait pemberian bantuan Hari Raya untuk mitra pengemudi ojek online. Tidak hanya itu, Maxim Indonesia juga telah ambil bagian dalam diskusi untuk mendukung mitra pengemudi sebagai gig-workers alias pekerja lepas, yang sebelumnya diadakan pemerintah.
Dalam hal ini, Maxim Indonesia melihat status sebagai pekerja gig sebagai salah satu bentuk tenaga kerja di luar hubungan kerja yang dapat diadopsi.
“Kami memahami bahwa menjelang momen Ramadan dan Hari Raya ini kebutuhan mitra pengemudi akan semakin bertambah. Oleh karena itu, saat ini Maxim tengah berfokus untuk mengadakan charity campaign dengan memberikan bantuan sosial kepada mitra pengemudi di berbagai kota di Indonesia,” kata Yuan, dalam keterangannya, kepada Tirto, Senin (17/2/2025).
Sementara soal aksi off bid, alias penonaktifan aplikasi, selama demo berlangsung, dinilai Yuan, murni sebagai inisiatif mitra pengemudi dan berada di luar jangkauan aplikator. Karenanya, Maxim Indonesia tidak mendukung tindakan protes yang dapat mengganggu ketertiban umum ini.
“Kami mengimbau mitra pengemudi untuk tetap melayani kebutuhan pengguna agar tetap bisa mendapatkan penghasilan dan tidak mudah terprovokasi dalam aksi unjuk rasa dengan selalu menjaga keamanan dan ketertiban,” imbuh dia.
Tak kunjung diberikannya THR kepada para pengemudi ojek online selama satu dekade belakangan, dinilai disebabkan oleh status mitra dari para pengemudi ini. Sehingga, tidak ada ikatan yang jelas antara para pengemudi ojol dengan aplikator.
Karenanya, tepat sudah jika kemudian para pengemudi daring tersebut ‘meminta tolong’ kepada Kementerian Ketenagakerjaan untuk memastikan aplikator memberikan THR kepada mereka. “Jadi pekerja-pekerja ojek online itu tidak menuntut langsung ke operator, tapi dia datang ke Departemen Tangga Kerja (Kemnaker), minta bantuan Departemen Tangga Kerja sebagai pemerintah yang melindungi mereka yang masih abu-abu (statusnya),” jelas Pakar Ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada, Tadjuddin Noer Effendi, kepada Tirto, Senin (17/2/2025).
Status sebagai mitra inilah yang kemudian membuat kurang lebih 5 juta pengemudi ojek online tidak bisa menerima jaminan ketenagakerjaan yang layak, asuransi swasta, atau bahkan jaminan kesehatan nasional (JKN). Dus, untuk meningkatkan kesejahteraan para pekerja ojek daring ini, pemerintah diharapkan bisa memberikan perlindungan hukum bagi seluruh pekerja gig yang ada di Tanah Air.
Adapun menurut riset Permana, Izzati dan Askar tahun 2023, diolah dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2019, terdapat 430 ribu hingga 2,3 juta orang yang bekerja serabutan. Jumlah ini setara dengan 0,3-1,7 persen dari total angkatan kerja yang ada pada Agustus 2019 itu, yang sebanyak 133,56 juta orang.
“Bukan hanya ojek online, semua. Seluruh pekerja yang hubungannya itu adalah pekerja lepas. Katakanlah, tukang-tukang, pekerja lepas, juga itu harus dilindungi oleh pemerintah dengan mendapat aturan yang jelas,” tegas Tadjuddin.
Kepastian status dan perlindungan hukum kepada para pengemudi ojek online menjadi sebuah keniscayaan yang harus diwujudkan pemerintah. Dalam hal ini, jika hubungan kerja antara pengemudi ojek online dan aplikator adalah mitra, maka pengemudi ojek daring dan aplikator sama-sama pengusaha.
“Maka jelas hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk pembayaran iuran BPJS dan persentase bagian pengemudi. Demikian juga bila hubungan kerja mereka sebagai pemberi kerja dan pekerja bagi hasil, disepakatilah hak dan kewajiban masing-masing pihak, termasuk THR,” kata Guru Besar Hukum Ketenagakerjaan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana, Payaman Simanjuntak, kepada Tirto, Senin (17/2/2025).
Dengan ketidakjelasan status ini, tak heran jika kemudian para pengemudi ojek online tak bisa menikmati THR, meski telah bertahun-tahun bekerja kepada perusahaan ride hailing. Sebab, THR tak menjadi tanggung jawab yang harus ditunaikan aplikator kepada mitra.
“Tuntutan THR belum ada landasan hukumnya. Siapa saja yang berhak mendapat THR? Banyak pengemudi online sebagai kerja sambilan atau kerja tambahan,” imbuh dia.
Sementara untuk memberikan kepastian status kepada para pengemudi ojek daring ini, pemerintah seharusnya terlebih dulu merevisi UU 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Apalagi, pada 31 Oktober 2024 lalu, Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian permohonan uji materiil UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja), yang mengamanatkan pemerintah agar segera membentuk UU Ketenagakerjaan baru.
“Dengan sistem norma hukum ketenagakerjaan saat ini, masih belum mengakomodasi hubungan kerja seperti ojol tersebut. Sehingga, THR belum menjadi kewajiban normatif bagi perusahaan. Hanya menjadi kewajiban moral yang diserahkan ke perusahaan. Tanpa mengubah UU Ketenagakerjaan, maka kejelasan status ojol sulit diperjelas,” kata Pakar Ketenagakerjaan dari Universitas Airlangga, Hadi Subhan, kepada Tirto, Senin (17/2/2025).
Dalam hal ini, jika Kemnaker hanya merilis Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), atau bahkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker), memperjelas status pengemudi ojol hanya akan menyalahi UU 13/2003. Karena pada aturan tersebut sama sekali tidak diatur soal status para pekerja yang menggantungkan nafkah pada perusahaan ride hailing.
Hadi mengakui, untuk melakukan perubahan atas UU Ketenagakerjaan memang membutuhkan waktu. Namun, revisi atas UU yang sudah diterbitkan lebih dari dua dekade lalu itu memang menjadi sebuah keniscayaan untuk memperjelas status para pengojek daring.
“Karena dalam UU Ketenagakerjaan, hubungan kerja harus memenuhi 3 unsur: pekerjaan, perintah dan upah. Ojol kan tidak terpenuhi unsur upah,” kata dosen mata kuliah Hukum Perburuhan tersebut.
Sementara dengan adanya tuntutan ini, Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer Gerungan, memaksa aplikator untuk membayarkan THR untuk para pengojek online maupun pengemudi taksi online (taksol). Ini karena negara tidak ingin swasta mengeksploitasi warga negaranya.
Apalagi, yang menjadi tuntutan massa aksi bukanlah kenaikan gaji atau bahkan saham perusahaan, melainkan THR dan juga status kerja yang telah menjadi hak para pekerja layanan transportasi online tersebut.
“Jadi, kita negara atau pemerintah berharap aplikator ini berilah mereka hak yang menjadi tuntutan mereka. Mereka tidak minta gaji direksi, mereka tidak minta yang namanya saham, mereka hanya meminta hak mereka selama di jalanan,” jelasnya, melalui pengeras suara yang ada di atas mobil komando, saat memberi tanggapan demo ojol, di Kemenaker, Senin (17/2/2025).
Tidak hanya itu, aplikator juga harus memastikan bahwa yang diberikan ialah THR berupa uang tunai, bukan barang atau sembako. Pada saat yang sama, ia juga tidak ingin ada aplikator yang memberikan sanksi berupa suspend kepada para pengemudi daring yang mengikuti demo. Sebab, yang mereka lakukan hanyalah menyalurkan aspirasi yang mana diperbolehkan dan dilindungi Undang-Undang.
“Jadi tidak boleh ada nanti ketika kawan-kawan aksi kemudian pulang dari aksi ini, ada yang namanya sanksi atau suspend. Jika ada itu, laporkan ke kita. Setuju?” tegas Noel, sapaan Immanuel.
Selain THR, Kemenaker juga berkomitmen untuk memberikan kejelasan status pada para pengojek daring, melalui regulasi baru. Noel pun menarget pembahasan dan pengkajian aturan soal status kerja para pengemudi ojek dan taksi online ini akan rampung usai Lebaran 2025. Meski begitu, Noel belum bisa memastikan aturan baru tersebut akan berbentuk PP atau Permenaker.
“Ke depan ini, kita akan membangun yang namanya regulasi terkait legal standing mereka. Bahwa mereka adalah sebagai pekerja, bukan lagi mitra. Itu penting sekali. (Kapan?) Setelah lebaran,” pungkas Noel.
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Farida Susanty