Menuju konten utama

Berebut Kaveling di Antartika: Demi Penelitian atau Minyak?

Inggris, Perancis, Norwegia, Australia, Selandia Baru, Cile, dan Argentina mengklaim teritori Antartika. Iran, Turki, India, Pakistan, dan Cina menyusul.

Berebut Kaveling di Antartika: Demi Penelitian atau Minyak?
Para penumpang berkumpul di dek kapal Orion dalam ekspedisi di Cape Jules, Antartika. Getty Images/iStock Editorial

tirto.id - Antartika adalah satu-satunya benua di Planet Bumi yang tidak memiliki penduduk asli yang menetap. Wilayahnya terisolir jauh tepat di area sumbu Bumi bagian selatan. Dengan luas sekitar 14 juta kilometer persegi, 98 persennya ditutupi oleh tebalnya es yang kemudian disebut Kutub Selatan.

Ukuran benua Antartika hanya sedikit lebih besar dari Benua Australia. Ketebalan es yang menutupi daratan benua ini rata-rata mencapai 1.900 meter. Wilayah Antartika juga tidak hanya berupa hamparan es, tetapi juga meliputi gunung dan sedikit wilayah pesisir yang tidak tertutup lapisan es. Ketinggian Benua Antartika sendiri rata-rata 2.300 meter yang menjadikannya benua tertinggi di Bumi.

Kondisi geografis yang sedemikian rupa membuat suhu rata-rata tahunan di Kutub Selatan menembus angka -60 derajat celcius pada musim dingin, sedangkan pada musim panas mencapai -28.2 derajat celcius. Di wilayah bagian Tanjung Adare yang tidak tertutup oleh lapisan es, sering dijumpai kawanan Pinguin Adelia yang merupakan hewan endemik di Kutub Selatan.

Baca juga: Peristiwa Lepasnya Gunung Es dan Sejumlah Miskonsepsi

Karena letak geografisnya yang jauh terisolir, ditambah cuaca yang tidak bersahabat dan tidak banyak yang bisa dilakukan di daerah ini, selama ratusan tahun Antartika tidak banyak menarik minat kolonisasi bangsa-bangsa di penjuru dunia. Roald Amundsen masih tercatat sebagai seorang penjelajah pertama berkebangsaan Norwegia yang sampai di Kutub Selatan pada 19 Desember 1911.

Namun sejatinya wilayah Antartika sudah dikaveling oleh berbagai negara. Setidaknya saat ini ada tujuh negara yang mengklaim kepemilikan teritori di Antartika, yaitu Inggris, Perancis, Norwegia, Australia, Selandia Baru, Cile, dan Argentina.

Sejarah klaim negara-negara ini atas teritori Antartika memang panjang bahkan sebelum Sistem Traktat Antartika diberlakukan pada 1961. Hampir semua negara ini menyatakan klaim yang mirip: warganegara mereka pernah mendarat untuk pertama kalinya di wilayah Kutub Selatan.

Baca juga: Pulau-Pulau yang Menunggu Tenggelam

Meski berlakunya sistem yang berdasar pada Traktat Antartika membuat klaim teritorial tersebut tidak diakui, tetapi niat tujuh negara tersebut untuk mengendurkan wilayah teritorinya di Antartika tak surut. Dilansir dari BBC, cara terbaik yang bisa dilakukan adalah bertindak seolah-olah negara tersebut memiliki tempat di Antartika.

Salah satunya adalah dengan memberi paspor. Ketika para wisatawan berkunjung ke Antartika, negara-negara tersebut akan menerbitkan cap paspor sesuai batas-batas teritori yang mereka klaim di Antartika.

Sejak perjanjian Antartika, banyak negara telah mendirikan pos-pos penelitian di Antartika. Saat ini terdapat 66 pos yang telah berdiri, memfasilitasi para peneliti seraya menjajaki tanah untuk mengkaveling wilayah di masa depan.

Kehidupan orang-orang di Antartika terbagi menjadi dua kelompok utama. Yaitu para pekerja di pos peneliti dan wisatawan.

Infografik Antartika Milik Siapa

Sejauh ini tidak seorangpun sengaja menetap atau tinggal lama di Antarika. Infrastruktur penunjang kehidupan masih minim. Kecuali di area pos penelitian, tidak ada perkotaan dan pusat keramaian.

Dilansir dari Cool Antarctica, ada sekitar 4.000 orang yang berada di Antartika selama musim panas per tahunnya, dan sekitar 1.000 orang di musim dingin. Pada musim panas, rata-rata mereka tinggal selama tiga sampai enam bulan saja.

Baca juga: Cepat atau Lambat, Es di Kutub Akan Meleleh

Ilmu pengetahuan memang menggerakkan penyelidikan manusia di Antartika. Namun ada alasan mengapa peran ahli geologi lebih menonjol. Banyak negara benar-benar ingin tahu apa yang terkandung di bawah lapisan es kutub selatan.

Kenyataannya, keberadaan cadangan minyak bumi di Antartika menambah daya tarik bagi negara-negara di dunia untuk terus berlama-lama meneliti. British Antarctic Survey menyebutkan keberadaan cadangan minyak dan batu bara berlimpah di benua Antartika.

Sementara laporan panjang Lowy Institute menyebut ada 203 miliar barel cadangan minyak, dengan 50 miliar barel diperkirakan ada di Laut Weddell dan Laut Ross yang masih tertutup es tebal dan berdekatan dengan wilayah yang diklaim Australia dan Selandia Baru.

Tentu saja untuk saat ini menambang di Antartika adalah pekerjaan yang maha sulit dan berbahaya. Biayanya mahal karena iklim yang ekstrem, mantel es yang tebalnya ribuan meter, dan jauhnya antartika dari dari populasi manusia.

Aktivitas penambangan jelas bertentangan dengan Traktat Antartika yang ditandatangani oleh 12 negara anggota pada 1 Desember 1959 dan mulai berlaku pada 1961. Traktat tersebut mengatur wilayah Antartika sebatas sebagai keperluan penelitian ilmiah dan pelestarian alam, serta melarang segala kegiatan militer.

Baca juga: Sulitnya Menumbangkan Emisi Gas Lewat Kesepakatan Paris

Dalam beberapa tahun terakhir banyak negara di luar Inggris, Perancis, Norwegia, Australia, Selandia Baru, Cile, dan Argentina yang mulai melirik Antartika. Iran telah menyatakan akan membangun pos penelitian di Antartika, begitu juga dengan Turki, India, dan Pakistan. Semua atas nama kerjasama ilmiah.

Cina tidak ketinggalan. Pada 2013 lalu sebuah kapal besar pemecah es bernama Snow Dragon dilepas untuk memulai ekspedisi 155 hari menuju Antartika. Snow Dragon memuat 256 awak yang mayoritas adalah ilmuwan. Termasuk berbagai macam material bangunan untuk mendirikan pos penelitian bernama Taishan di Antartika Timur yang dikenal menyimpan kekayaan batu bara, bijih besi, mangan dan hidrokarbon.

Pihak-pihak pro-eksplorasi sumber daya alam menyerukan agar larangan penambangan di Antartika ditinjau kembali. Alasannya, cadangan minyak di dunia menipis. Permintaan minyak bumi diklaim masih tinggi meski pengembangan dan penggunaan energi terbarukan seperti matahari dan angin meningkat.

Mereka memprediksi bahwa pada 2048, iklim di Bumi yang lebih panas akan menipiskan lapisan es yang menutupi Antartika dan membuka peluang lebih besar untuk dilakukan pengeboran minyak. Sementara di daerah lain cadangan minyak makin sulit ditemui dan berdampak pada melejitnya harga minyak.

Baca juga: Kiamat Season ke-6 di Depan Mata

Traktat Antartika makin lama terus terdesak menghadapi perlombaan eksploitasi sumber daya alam. Kutub Selatan saat ini bukan hanya dipandang sebagai rumah bagi habitat para pinguin dan biota laut lainnya, tetapi sebagai lumbung minyak bumi dan tambang alam lainnya yang siap digarap.

Baca juga artikel terkait KRISIS MINYAK atau tulisan lainnya dari Tony Firman

tirto.id - Politik
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf