tirto.id - Rabu (12/7), sebuah gunung es raksasa berukuran sangat besar terpisah dari deretan lempengan es Larsen C di wilayah semenanjung Antartika. Perkiraan proses lepasnya gunung es triliunan ton itu terjadi mulai 10 sampai 12 Juli. Peristiwa itu diketahui setelah para ilmuwan memeriksa data satelit terbaru di daerah Antartika.
Dampaknya cukup signifikan bagi lempengan es Larsen C. Diperkirakan berkurangnya luas wilayah es mencapai 12 persen. Bagi para periset, runtuhnya lempengan es Larsen C dan menjadi sebuah onggokan Gung Es raksasa yang dinamai A-68 ini menjadi peristiwa berkurangnya wilayah es yang terbesar di lempengan Larsen C tersebut.
"Ini menjadi peristiwa sangat besar dalam hal ukuran tablet es yang kita miliki dan sekarang telah hanyut," kata Anna Hogg, ahli observasi satelit gletser dari Universitas Leeds seperti dikutip dari The Guardian.
Sejatinya, perkembangan keretakan sudah dipantau dalam setahun terakhir menggunakan data satelit European Space Agency Sentinel-1 yang merupakan bagian dari European Copernicus Space Component. Sentinel-1 merupakan sistem pencitraan radar yang mampu memperoleh gambar sekalipun terhalang awan dan kegelapan di musim dingin.
Menurut MIDAS Project, organisasi yang berfokus pada riset di Antartika, meski lapisan es dapat tumbuh kembali di lempengan es Larsen C, akan tetapi susunannya diyakini kurang stabil dibanding sebelum benar-benar terpisah menjadi gunung es sendiri. Terdapat risiko Larsen C pada akhirnya mengikuti tetangganya, Larsen B, yang telah hancur pada 2002 silam.
Periset MIDAS Project telah memantau keretakan di Larsen C selama bertahun-tahun setelah jatuhnya lempengan es Larsen A pada 1995 dan putusnya secara tiba-tiba Larsen C itu. Laporan perkembangan keretakan telah dikeluarkan sejak Januari, Mei dan Juni kemari. Terakhir dilaporkan, panjang retakannya mencapai lebih 200 kilometer.
Lempengan es Larsen merupakan lempengan panjang yang berada di sebelah barat laut Laut Weddell, membentang dari pantai timur semenanjung Antartika sampai sebelah selatan Pulau Hearst. Dari utara ke selatan, segmen tersebut disebut Larsen A (yang terkecil), Larsen B, dan Larsen C (terbesar). Selanjutnya di selatan terdapat Larsen D, E, F dan G seperti disebutkan oleh artikel "Ice Shelf Melting Around Antarctica" hasil penelitian University of California.
Peristiwa runtuhnya lempengan es menjadi bongkahan gunung es, baik ukuran sedang maupun raksasa, bukan sekali ini saja terjadi. Secara berkala, dalam jangka waktu tertentu, laporan-laporan sejenis terus saja bermunculan.
Pada Maret 2000, gunung es B-15 seluas 11.000 km2, atau melebihi luasnya Pulau Jamaika, pecah dari lempengan Ross dekat Pulau Roosevelt di Antartika. Pecahannya kemudian menjadi es terbesar di dunia yang tercatat sejarah.
Terdapat miskonsepsi antara lempengan es atau gunung es dengan gletser.
Gunung es, sebagaimana lempengan es, mulanya mulanya mengambang di air asin lautan yang terbentuk dari air tawar es gletser. Sebuah gunung es yang runtuh dari lempengan besar tidak akan menyebabkan permukaan air laut menjadi naik karena gunung es sendiri sejak mulanya sudah mengapung di lautan.
Sedangkan gletser adalah sebuah bongkahan es besar yang berada di permukaan daratan. Ini terjadi umumnya karena endapan salju yang kemudian menumpuk dan mengeras hingga menutupi daratan dalam kurun waktu yang lama. Pembekuan air tawar di daratan karena musim dingin juga dapat membentuk sebuah gletser.
Jika gletser ini meleleh karena adanya perubahan suhu dan iklim global, dan mengalir ke lautan, maka ini yang akan memengaruhi kenaikan permukaan air laut. Itulah yang dijelaskan dalam artikel berjudul Common Misconceptions about Icebergs and Glaciers.
Gunung es yang lepas dari lempengan utama sendiri sebagian besarnya punya kontak atau menempel dengan dasar laut perairan dangkal. Maka tak heran bahwa mayoritas gunung es berada di dalam air laut dan hanya menampilkan sebagian gundukan saja di permukaan. Hal ini juga dipengaruhi perbedaan massa jenis antara air tawar dan air laut. Lempengan es hanya dapat ditemui di daerah daratan bersuhu super dingin seperti Antartika, Greenland, Kanada dan Arktik.
Sedangkan air laut sendiri yang membeku menjadi lapisan es laut biasanya memiliki tebal kurang dari tiga meter dan dapat ditemui di seluruh Samudera Arktik, juga di sekitar benua Antartika. Dalam buku berjudul Introduction To The Biology Of Marine Life: Biology karya CTI Review, lapisan es laut mencakup sekitar 7% dari total permukaan bumi dan sekitar 12% dari samudera di dunia.
Runtuhnya lempengan es Lersen C menjadi gunung es A-68 tidak langsung membuat permukaan air laut naik. Lempengan es sejatinya berperan sebagai penahan yang mencegah aliran gletser dari daratan langsung masuk ke laut. Jika penahan ini hilang, maka gletser dari daratan akan leluasa masuk ke lautan dan ini dapat menyebabkan kenaikan air laut.
Di Indonesia, gunung es memang mustahil ada lantaran tidak adanya lempengan es yang terbentuk di bibir pantai pulau-pulau di Indonesia. Tetapi gletser masih bisa ditemui di area pegunungan Puncak Jaya. Kondisi gletser yang dinamai Gletser Carstensz dari tahun ke tahun menunjukkan penyusutan sebagai dampak dari pemanasan global.
Dilaporkan oleh situs lingkungan hidup Mongabay, citra satelit yang dirilis oleh NASA memperlihatkan cepatnya gletser di puncak pegunungan Jayawijaya musnah dengan perbandingan gambar yang direkam pada 1989 dan rekaman pada 2009 silam.
Pada tahun 1989 lima gletser di Puncak Jaya masih terlihat, namun di tahun 2009, dua gletser diantaranya hilang total, dan tiga sisanya menyusut secara drastis. Perkiraan NASA, seluruh gletser di Papua dapat lenyap dalam 20 tahun mendatang.
Penulis: Tony Firman
Editor: Zen RS