tirto.id - Desember 1955, Amerika tengah bersiap merayakan Natal. Seorang perempuan kulit hitam duduk di sebuah bus dan dikerubuti beberapa lelaki kulit putih. Perempuan itu bernama Rosa Parks, yang sebelumnya berdebat dengan James Blake, supir bus yang memintanya pindah.
Saat itu, di bawah Jim Crow Laws, warga kulit hitam boleh menaiki sebuah transportasi umum dengan syarat 75% kursi penumpang adalah milik warga kulit putih dan ada beberapa tempat di barisan kursi bus tidak boleh ditempati oleh warga kulit hitam, seperti di dekat pintu masuk, di barisan depan dan apabila duduk bersamaan dengan warga kulit putih.
Setelah insiden itu Rosa Parks ditahan karena melakukan pembangkangan terhadap Jim Crow Laws. Ia diputus bersalah dan harus membayar denda senilai $10 dan $4 sebagai biaya persidangan. Namun insiden kecil itu lantas meletupkan gerakan besar.
Warga kulit hitam di Amerika mengorganisir boikot nasional yang dikenal sebagai ‘Montgomery Bus Boycott’ sebagai bentuk solidaritas terhadap Rosa Parks. Tercatat 35.000 orang melakukan pemboikotan terhadap kebijakan Jim Crows Laws di Bus. Boikot ini berbuntut panjang dan akhirnya melahirkan gerakan lain yang mengakhiri kebijakan rasis Jim Crow Laws.
Boikot adalah satu bentuk gerakan sosial. Seperti juga demonstrasi massal, boikot bisa dilakukan banyak orang sekaligus. Pada 4 November lalu, Jakarta baru saja menjadi tuan rumah demonstrasi yang dihadiri ratusan ribu orang umat muslim. Para pendemo ini menuntut agar calon gubenur DKI Jakarta, Ahok, segera diadili karena dianggap telah melakukan penistaan agama terkait surat Al Maidah. Terlepas ada beberapa insiden rusuh saat malam harinya, demonstrasi tersebut relatif berjalan lancar.
Indonesia akrab dengan demonstrasi dan aksi massa besar. Misalnya demonstrasi menuntut Presiden Soeharto turun pada 1998 dan demonstrasi kelompok buruh yang rutin diselenggarakan setiap 1 Mei. Tapi apakah demonstrasi merupakan satu-satunya jalan untuk menyuarakan sikap? Apakah demonstrasi satu-satunya kanal untut menuntut hak?
Dalam buku Tindakan-Tindakan Kecil Perlawanan karya Steve Crawshaw dan John Jackson, diketahui bahwa perlawanan tak melulu harus dilakukan dengan beramai-ramai dan turun ke jalan. Ia bisa dilakukan dengan cara kecil, sederhana, tapi konsisten.
Ada beberapa contoh yang bisa dipelajari. Di Myanmar misalnya. Negara yang dikuasai junta militer itu sama sekali tak memberi ruang untuk demonstrasi atau protes. Maka untuk melakukan perlawanan terhadap rezim berkuasa dan disokong bedil, perlu cara yang kreatif. Ketika seorang pendukung demokrasi diberi mandat untuk membuat desain baru uang negara, ia melihat satu kesempatan untuk melakukan pembangkangan sipil.
Seorang perancang grafis diminta negara untuk membuat gambar Aung San, ayah dari Aung San Suu Kyi yang juga seorang jendral. Ia memutuskan untuk menyelipkan pesan tersembunyi di dalam desain uang tersebut. Dengan mengguratkan garis yang lebih tipis, tokoh Aung San apabila diterawang akan sangat mirip dengan anaknya.
Apa yang dilakukan perancang grafis ini dulu tentu beresiko, sebab Suu Kyi saat itu adalah pemimpin gerakan oposisi. Tapi, apa yang ia lakukan memang melahirkan optimisme dan solidaritas di Myanmar.
Masyarakat membahas uang itu dan kembali mengingat sosok si putri jenderal, pejuang demokrasi yang tidak lelah melawan rezim. Para jenderal anti-demokrasi di Myanmar tersinggung dan memerintahkan menarik kembali semua lembaran mata uang baru tersebut.
Saat itu, setiap warga negara yang kedapatan menyimpan lembaran uang kertas itu akan mendapatkan masalah. Tapi mereka yang tak lelah berharap Myanmar akan kembali ke Jalan Demokrasi tetap menyimpang uang itu. Dan lembaran uang kertas itu mereka sebut sebagai ‘Uang Kertas Demokrasi’.
Beranjak dari Myanmar, di belahan dunia yang lain pada bulan Mei 2000, setiap hari Jumat sejak pukul tiga sore, ribuan orang selalu berkumpul di Plaza Mayor di pusat ibukota Peru, Lima. Kegiatan mereka hanya sederhana: mencuci bendera nasional yang berwarna merah-putih-merah.
Gerakan ini dilakukan untuk menyindir pemimpin mereka yang korup dan tidak merakyat, Alberto Fujimori. Gerakan cuci bendera ini membuat presiden sangat marah dan sempat ada upaya untuk menuduh bahwa gerakan cuci bendera ini adalah tindakan terorisme.
Mengapa cuci bendera ini menjadi sangat penting? Gerakan ini ingin menunjukkan bahwa rakyat Peru bisa melakukan perlawanan tanpa harus adu fisik dengan aparat. Ratusan ribu rakyat ikut ambil bagian dalam gerakan ini dan semakin meluas ke seluruh negeri.
Lima bulan setelah aksi itu dimulai, Fujimori-Presiden Peru akhirnya mengisyaratkan diri untuk mundur melalui faksimile saat masih berada di Jepang. Sembilan tahun kemudian Alberto Fujimori dipulangkan dan dipenjara atas segala perbuatan yang dilakukannya saat menjadi presiden.
Perlawanan juga bisa dilakukan di rumah di ruang yang paling intim. Di atas ranjang di dalam kamar. Perang saudara di Sudan antara pihak utara dan selatan telah terjadi selama 20 tahun. Dua juta orang telah mati sia-sia dalam perang ini. Maka, pihak perempuan berinisiatif menghentikan perang tersebut. Mereka melakukan boikot seks. Ribuan perempuan bergabung dan menolak berhubungan seks dengan suami mereka jika mereka tetap memutuskan untuk berperang.
Kisah ini tentu mirip dengan kisah Lysistrata yang ditulis oleh Aristophanes. Lysistrata mengorganisir pemboikotan seks dan menuntut mereka untuk menuruti keinginan sang istri. Seks sebagai alat perlawanan telah menjadi sesuatu yang penting. Lelaki dengan libido dan nafsu seksual mereka dibikin repot, sebelum akhirnya tunduk pada permintaan pasangannya. Di Sudan, gerakan ini berujung pada kesepakatan damai pada 2005.
Dandhy Laksono, seorang pembuat film dokumenter yang juga aktivis gerakan sosial di Indonesia, punya cara unik untuk menyebarkan kesadaran sosial. Ia memilih membuat video dokumenter untuk memberikan pendidikan politik. Ia menganggap bahwa setiap metode gerakan menyesuaikan dengan konteks dan situasi zamannya.
Gerakan massa, sampai kapan pun masih akan relevan karena dia mengharapkan dampak seketika, memiliki daya tekan politik secara fisik, dan menciptakan even atau momentum untuk menggerakkan tekanan pilar demokrasi yang lain seperti legislatif, yudikatif, atau pers.
“Bila pertanyaannya mengapa sekarang video, [ini] lebih pada adaptasi terhadap perubahan medium dan cara orang mengonsumsi informasi. Kita melompat dari masyarakat dengan budaya lisan, ke budaya menonton,” katanya.
Menurut Dandhy, masyarakat Indonesia melompati satu "fase" budaya membaca dan menganggapnya sebagai realitas sosiologis. Teknologi berkembang lebih cepat dari evolusi budaya manusia di Indonesia.
“Karena itu, kami di Watchdoc [lembaga yang didirikan untuk mewadahi kegiatan dokumentasi Dandhy] masuk melalui medium itu. Penetrasi internet dan semakin terjangkaunya gadget, memudahkan itu. Tapi kami sudah merintis dan memulainya 7 tahun lalu, justru saat medium televisi masih kuat-kuatnya,” kata dia.
Apakah gerakan dan upaya Dandhy membuahkan hasil? Beberapa filmnya ditolak dan sempat dilarang diputar. Tapi Dandhy menganggapnya sebagai persoalan biasa. “Kalau kebetulan dia punya kuasa seperti pejabat kampus, polisi di Ubud, atau kedutaan RI di London, ia menggunakan otoritasnya untuk melarang pemutaran film kami seperti pada film Alkinemokiye atau Samin vs Semen,” katanya.
Salah satu film Dandhy yang berjudul Samin vs Semen juga mengisahkan perlawanan non-konfrontasi di Indonesia. Bagaimana masyarakat di Pegunungan Kendeng menolak pembangunan pabrik Semen yang berpotensi merusak ekosistem Jawa. Gerakan ini juga bersinergi dengan Tenda Perlawanan, sekelompok ibu-ibu di Rembang yang mendirikan tenda di tapak calon pabrik semen untuk melawan pembangunan pabrik di lingkungannya.
Perlawanan ibu-ibu kendeng ini tidak sebentar dan tidak mudah. Puncaknya, pada 4 April 2016 Indonesia memandang 9 perempuan dari tiga kota di Jawa Tengah mengecor kaki mereka dengan semen di depan Istana Merdeka untuk memprotes pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di wilayah pegununan Kendeng Utara, Rembang, Jawa Tengah.
Pada 5 Oktober 2016 MA mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan para petani bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) terhadap objek sengketa, yakni SK Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan di Kabupaten Rembang yang dikeluarkan Gubernur Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2012.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani