tirto.id - “Art speaks where words are unable to explain.”
Beberapa bulan ke belakang, gejolak dan ketidakadilan akibat karut-marut politik elite di Indonesia menjadi salah satu pemicu lahirnya ekspresi artistik yang berani dari kalangan publik.
Berawal dari kritik terhadap dominasi kekuasaan pemerintah, gemuruh protes bercabang menjadi seruan untuk melawan patriarki, perilaku yang mengutamakan laki-laki daripada perempuan di masyarakat.
Alurnya bisa ditelusur sejak Agustus 2024 silam. Kala itu, publik tengah mengawal putusan Mahkamah Konstitusi terkait Pilkada.
Di berbagai kanal media sosial, warganet kompak mengunggah simbol protes berupa gambar burung garuda berlatar biru dengan tulisan “Peringatan Darurat”.
Tak lama kemudian, jagat media sosial X juga sempat diramaikan dengan ilustrasi presiden yang perutnya membesar menyerupai kehamilan.
Bersamaan dengan itulah, narasi kritis terhadap perilaku patriarki mulai marak berseliweran di lini masa X.
Salah satunya dituangkan melalui artwork atau ilustrasi tentang Male Pregnancy alias Mpreg.
Sari (nama samaran), seorang ilustrator perempuan di media sosial X, membuat ilustrasi laki-laki hamil untuk menanggapi kicauan pemilik akun dengan bio “Persona of Masculinity” yang meremehkan pengalaman perempuan hamil.
Dalam kicauannya, pemilik akun yang diduga berjenis kelamin laki-laki tersebut menganggap perempuan yang hamil sembilan bulan sebagai manusia yang merasa dirinya paling berjasa, lalu menuding mereka pemalas dan materialistis.
Tergelitik setelah membaca pandangan “Persona of Masculinity” di atas, Sari memutuskan membikin ilustrasi Mpreg—untuk pertama kalinya.
“Don't mess with artist,” ujar Sari saat dihubungi tim Diajeng.
Desti, seorang ilustrator dari Serang, Banten, juga memiliki pandangan serupa.
Namun berbeda dengan Sari, Desti sudah berkali-kali membuat ilustrasi Mpreg atas permintaan teman-temannya yang tertarik pada Omegaverse.
Mereka dengan karakter “alpha” memiliki kemampuan terkuat dan dominasi pengaruh besar. Mereka biasanya menjadi pemimpin atau figur pengambil keputusan utama.
Karakter “omega”, kerap disebut lawan dari “alpha”, cenderung suka merendah, memendam perasaan, dan introvert. Sementara orang berkarakter “beta” bisa disebut memiliki sifat kombinasi antara “alpha” dan “omega”.
Di dunia Omegaverse inilah, dikenal Mpreg, suatu kejadian yang memungkinkan laki-laki “omega” dihamili oleh laki-laki maupun perempuan “alpha”.
Mpreg dalam Omegaverse tidak lepas dari kritikan, seperti disampaikan oleh praktisi teknologi S.K. Liem.
Dalam tulisannya di Qbukatabu, ia menulis, Omegaverse memang memberikan ruang untuk eksplorasi identitas bagi kalangan minoritas, akan tetapi terkadang ia juga memperkuat stereotip negatif.
Sebab, fokus berlebih pada adegan seksual dapat mengesankan bahwa hubungan nonbiner hanya berpusat pada aspek tersebut.
Selain itu, penggambaran dominasi “alpha” yang bebas bertindak atas keinginan birahinya, memperkuat konsep kekuasaan si kuat dan ketundukan si lemah, yang bisa menghambat narasi kesetaraan gender dalam masyarakat nyata.
Terlepas dari kritik tersebut, Desti mengaku cukup menikmati kelucuan yang ditimbulkan dari pembahasan Mpreg di media sosial sebagai guyonan sekaligus kritikan terhadap patriarki, terutama di Indonesia, yang menurutnya masih banyak orang memiliki pandangan homofobia.
Desti awalnya khawatir narasi Mpreg akan menimbulkan efek pembahasan yang negatif. Namun ternyata tidak sedikit warganet yang ‘menangkap’ pesan-pesan lebih penting dari situ, seperti ajakan untuk lebih menghargai perempuan dan mengupayakan kesetaraan.
Ia melanjutkan, “Itulah yang dirasakan kebanyakan perempuan ketika kalian menyebut mereka ‘tobrut’, dan lain-lain. Kami hanya membalas lelucon yang kalian buat, kenapa harus marah? Padahal kalian sering melakukan hal yang lebih buruk dari itu.”
Ekspresi seni melalui Mpreg hanyalah sekelumit dari realitas kekerasan yang dihadapi perempuan hingga detik ini.
Berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pada 2021, 1 dari 4 perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan sepanjang hidupnya.
Komnas Perempuan mencatat 103 korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) atau pemerkosaan yang mengakibatkan kehamilan melaporkan kasusnya antara 2018 dan 2023.
Tak hanya itu, peran suami dalam keputusan reproduksi, termasuk tekanan pada perempuan untuk melakukan persalinan pervaginam (melahirkan secara alami), juga masih sering ditemui dalam hubungan suami-istri.
Selain Mpreg, seni dalam berbagai medium telah lama digunakan oleh artis atau seniman untuk menumpahkan keresahannya terhadap patriarki.
Pada abad ke-17, tepatnya pada 1659, Elisabetta Sirani melalui lukisan Timoclea Killing Her Rapistmenggambarkan keberanian perempuan melalui Timoclea yang membunuh pemerkosanya.
Sirani membalikkan hierarki kekuasaan dengan menunjukkan pembalasan dendam langsung ketimbang sekadar penerimaan penghakiman Alexander.
Serupa dengan Sirani, pada sekitar 1620, perempuan pelukis asal Italia, Artemisia Gentileschi, melukis Judith Beheading Holofernes.
Tokoh Judith, digambarkan sebagai figur kuat dan perkasa, berhasil mengalahkan Holofernes.
Sang pelukis, Gentileschi, pernah menjadi korban kekerasan seksual ketika remaja. Gurunya, Agostino Tassi, memerkosa Gentileschi saat usianya 18 tahun.
Pengalaman itulah yang diduga memengaruhi cara Gentileschi dalam mencipakan lukisannya sebagai simbol keadilan yang sayangnya tidak pernah ia peroleh.
Meskipun Tassi akhirnya dihukum, ia dibebaskan berkat intervensi Paus. Sedangkan Gentileschi harus menanggung aib publik selama persidangan dan dipaksa bersaksi di bawah siksaan.
Maju ke era modern, pada dekade 1970-an, Suzanne Lacy dengan proyeknya Three Weeks in May (1977), melibatkan demonstrasi publik, pertunjukan seni, dan keterlibatan media massa untuk menyoroti tingginya angka pemerkosaan di Los Angeles.
Dengan kontrol penuh atas elemen visual dan pesan dalam proyek ini, Lacy menampilkan perempuan sebagai figur kuat yang melawan ketidakadilan, mengubah narasi korban menjadi simbol keberanian dan kekuatan.
Sezaman dengan Lacy, Nancy Spero melalui The Torture of Women(1974–1976), menggabungkan teks dan ilustrasi untuk mengangkat cerita kekerasan seksual dan penderitaan perempuan lintas budaya.
Di Indonesia, pelukis I Gusti Ayu Kadek Murniasih (1966-2006) atau Murni, mengusung spirit yang sama.
Murni dikenal sebagai seniman yang mendobrak stigma melalui lukisan-lukisannya yang blak-blakan menggambarkan tubuh perempuan dan persoalan seksual.
Pengalaman hidupnya penuh trauma dipandang sudah mendorongnya melahirkan karya-karyanya yang sering disebut sebagai “Seni Bali Revolusioner”.
Murni mengalami pelecehan seksual pada masa kecil. Pernikahannya kandas karena ia menolak poligami. Murni juga menjadi perempuan penggugat cerai pertama di Pulau Bali.
Selain Murni, masih ada seniman Dolorosa Sinaga (72), yang pada Juli hingga Agustus lalu baru saja menampilkan patung-patungnya dalam pameran bertajuk “Patung dan Aktivisme: Dolorosa Sinaga dan Budi Santoso” di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta.
Dalam pameran tersebut, Dolorosa memamerkan patung berjudul “I, The Witness” untuk mengenang Ita Martadinata, korban pemerkosaan dan pembunuhan brutal saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta.
Ita dibunuh seminggu sebelum ia bersaksi di PBB, New York. Sampai hari ini, pembunuhannya masih menjadi misteri.
Film dan musik juga menjadi medium yang populer untuk menyuarakan ketimpangan gender.
Sutradara perempuan Indonesia seperti Kamila Andini, Gina S. Noer, Lola Amaria, hingga Nia Dinata, kerap menampilkan tokoh-tokoh perempuan yang dihadapkan pada ketidakadilan di dalam masyarakat dengan budaya patriarki kental.
Di dunia musik, dari lagu klasik seperti Respect(1967) oleh Aretha Franklin hingga anthem modern seperti WAP (2020) oleh Cardi B dan Megan Thee Stallion, berusaha menyoroti pengalaman perempuan melalui lirik yang memberdayakan, baik dalam bentuk protes, kebebasan, atau afirmasi diri.
Sederet musisi Indonesia juga melakukan hal sama. Misalnya, band metal dengan personel tiga perempuan asal Garut, yaitu Voice Of Baceprot, telah merilis lagu Perempuan Merdeka Seutuhnya(2022).
Dua tahun lebih awal, di genre Hip Hop, penyanyi rap Putri Estiani yang dikenal dengan nama panggung Ramengvrl meneguhkan kepercayaan dirinya sebagai perempuan lewat lagu I AM ME.
Ada pula grup musik bergenre rock Sisters in Danger yang secara spesifik mengusung tema edukasi tentang isu perempuan dalam karya-karyanya.
Pada 2017, grup musik ini memenangkan Most Popular Award dari United Nations Entity for Gender Equality and the Empowerment of Women (UN Women), berkat lagu mereka, 16 Oranges.
Mereka juga pernah menciptakan lagu yang khusus untuk mendukung pengesahan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada 2021 silam.
Penulis: Ahmad Haetami
Editor: Sekar Kinasih