tirto.id - "Dia siapa sih? Kamu yakin dia terkenal?"
“Kalau kamu chef, dia itu seperti… The Rolling Stones.”
“Dia bikin aku takut.”
“Ya gimana lagi, dia chef bintang dua Michelin. Dia harus menakutkan.”
“Dua bintang? Kok tidak banyak?”
Seorang asisten juru masak berbaring di kasur tapi tidak bisa memejamkan mata. Di sebelahnya adalah sang kekasih, perempuan manis dan periang tapi agak kurang pengetahuan soal dunia masak memasak. Di dapur yang bersebelahan dengan kasur, Adam Jones sedang memasak. Perbincangan juru masak dan kekasihnya ini tentu dilakukan sembari berbisik.
Sang asisten menghela nafas. Kemudian kembali mendongeng soal Michelin sembari berusaha memaklumi ketololan kekasihnya itu.
“Bahkan untuk dapat satu bintang Michelin aja, kamu harus seperti Luke Skywalker. Kalau dapat dua bintang kamu harus seperti… Obi-Wan Kenobi. Dan kalau kamu dapat tiga bintang… kamu adalah Yoda.”
Ini adalah adegan paling menarik di film Burnt, yang dibintangi oleh Bradley Cooper dan Sienna Miller. Bradley memerankan Adam Jones, seorang juru masak terkenal yang pernah mengomandani restoran dengan dua bintang Michelin di Paris. Kariernya kemudian hancur karena narkoba. Dia kemudian menghilang. Dianggap meninggal, atau tewas dibunuh bandar narkoba. Ternyata dia menghukum diri sendiri dengan mengupas ribuan kerang, sekaligus berusaha untuk sembuh dari kecanduan. Setelah sembuh, Adam berusaha membangun restorannya sendiri. Pemodal berhasil dirayu. Kru dapur berhasil didapat. Target dicanangkan: tiga bintang Michelin.
Bagi yang belum tahu, Michelin adalah kitab suci para penggemar makanan, terutama makanan mewah dan berkelas. Sejak lebih dari seratus tahun lalu, Michelin selalu menerbitkan buku panduan restoran terbaik di dunia. Bintang satu, bintang dua, dan yang tertinggi: bintang tiga.
Bagi restoran-restoran terbaik di dunia, bintang Michelin adalah segalanya. Kehilangan bintang bisa berdampak buruk pada kelangsungan bisnis. Sebaliknya, mendapat bintang bisa mendongkrak popularitas restoran. Dalam Burnt, tekanan itu tampak dari hari perdana pembukaan restoran Adam. Dia marah-marah. Membanting semua perkakas. Membentak semua orang. Petaka.
Mungkin Burnt adalah fiksi. Tapi kerasnya kehidupan dapur itu nyata. Benar adanya. Apalagi di dapur restoran Michelin. Apalagi di restoran yang sedang berusaha mendapat bintang tiga Michelin.
Situs BBC pernah menurunkan berita berjudul "Koki Terbaik Dunia, Benoit Violier Diduga Bunuh Diri". Benoit adalah pemilik restoran de I’Hotel de Ville di Swiss, yang mendapat tiga bintang Michelin. Dalam senarai La Liste, daftar 1.000 restoran terbaik di dunia yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri dan Pariwisata Perancis, restoran milik Benoit ini menempati peringkat pertama dengan poin 82,35.
Berbagai dugaan menyeruak. Kematian Benoit mungkin disebabkan karena tak kuat menahan tekanan karena mengelola restoran terbaik dunia. Kalau kamu sudah berada di puncak, maka hal yang bisa kamu lakukan adalah turun ke bawah. Pengelola restoran terbaik dunia tentu berusaha keras menjaga agar itu tak terjadi. Tekanan semacam itu yang diprediksi menjadi penyebab Benoit bunuh diri.
Benoit bukan chef Michelin pertama yang mencabut nyawanya sendiri. Pada 2003, Bernard Loiseau, chef masyhur asal Perancis yang menginspirasi sosok chef Auguste Gusteau dalam film animasi Pixar, Ratatouille, bunuh diri dengan menembakkan senapan berburu ke mulutnya. Penyebab bunuh diri, diperkirakan, karena dia stres mendengar kabar burung kalau restoran bintang tiganya, La Côte d’Or’s, akan turun menjadi restoran dua bintang sahaja.
Spekulasi ini bertambah kuat karena Bernard sempat mewanti-wanti asistennya, Jacques Lameloise.
“Kalau aku kehilangan satu bintang, aku akan bunuh diri,” ujar Jacques.
Daniel Boulud, sahabat Bernard yang juga chef terkenal di Amerika Serikat, mengatakan bahwa, “Ada gosip kalau restoran Bernard akan kehilangan satu bintang, dan dia tertekan. Malangnya, dia tidak bisa menahan tekanan itu.”
Hal yang sebenarnya lucu --maafkan saya para juru masak pretensius yang memuja Michelin-- adalah buku panduan ini dibuat oleh perusahaan ban. Tentu tak salah. Hanya saja... lucu. Tapi toh buku panduan yang awalnya diperuntukkan bagi para pemotor ini menjadi populer. Sejak pertama kali diterbitkan pada 1900, kini ada 24 panduan di 24 negara.
Meski dibuat di Perancis, dan negara itu memang dikenal sebagai tempat lahir para tukang makan dengan lidah borjuis dan belagu, tapi ternyata reputasi restoran mereka masih kalah mentereng dibandingkan dengan saudara tua kita: Jepang. Pada 2015 ada 30 restoran bintang tiga Michelin di Jepang, sedangkan di Perancis ada 26.
Bekerja di restoran berbintang Michelin tentu saja adalah reputasi dan profesi yang membanggakan. "Ada 12 orang di dapur, dan kami bangga sekali dengan satu bintang. Kami merasa sebagai bagian dari keluarga Michelin. Rasanya seperti bergabung dengan klub eksklusif. Para juru masak cenderung jadi artis, tapi mereka juga cenderung suka berkompetisi. Mereka menilai diri sendiri dan berkompetisi dengan juru masak lain," kata Michael Ellis, mantan juru masak di sebuah restoran Prancis, yang kini jadi Direktur Internasional Michelin Guides.
Namun jangan lupa, dapur adalah medan perang. Pada 2002, Bill Bufford yang merupakan mantan editor di majalah sastra Granta dan kontributor The New Yorker, menuliskan tentang tradisi bintang Michelin ini. Maka dengan bantuan teman baiknya, juru masak terkenal Mario Batali, Bufford magang di restoran milik Batali, Babbo.
Apa yang dituliskan oleh Bufford kemudian bisa kita kenang sebagai perbudakan masa modern dengan gaji besar.
"Dalam sistem restoran Prancis, kamu pasti kena pukul. Aku pernah disuruh memukul orang. Aku pernah hampir kena pukul. Kamu kena pukul," kata Bufford dalam pengalamannya yang kemudian dibukukan dengan judul Heat (2006).
"Di Perancis ada peraturan bahwa tidak boleh kerja lebih dari 38 jam seminggu. Tapi dapur bisa dapat dispensasi jika mengajukan izin. Makanya jam kerjanya 45 jam seminggu. Kami mulai dari jam 8 pagi hingga tengah malam, setiap hari selama 5 hari dalam seminggu... dan hal buruk terjadi karena kru dapur merasa lelah dan kecelakaan pun terjadi --seperti kecelakaan saat pulang."
Pierre Siue, seorang kru dapur di restoran Daniel (pernah jadi restoran tiga bintang, kemudian kehilangan satu bintang) pernah menjabarkan hari-hari tipikal para kru restoran Michelin. Pertama, tim persiapan datang sekitar jam 6.30 pagi untuk menerima "merchandise". Itu bukan kado. Melainkan aneka daging, ikan, sayur, buah. Pekerjaan lain selagi menunggu pasokan adalah memotong sayur hingga membersihkan restoran.
Staf restoran mulai datang jam 3 sore. Selanjutnya hingga pukul 4 mereka menyiapkan mise en place (jejeran bumbu dan saus yang diatur sedemikian rupa di dekat kompor, sehingga memudahkan juru masak bekerja), juga memastikan semua siap untuk pembukaan. Mulai dari mengelap gelas, melipat serbet, hingga merapikan taplak meja. Saat makan malam, perang pun dimulai.
Dengan segala kerja keras macam mesin gila itu, wajar kalau tekanan selalu membayangi mereka yang terobsesi mendapatkan Michelin, mereka yang terobsesi ingin menambah bintang, atau mereka yang dibayangi kehilangan bintang. The London, restoran di Manhattan yang dimiliki oleh Gordon Ramsay, pernah terlempar dari daftar restoran bintang Michelin.
Ramsay, yang terkenal galak dan garang di dapur pun, jadi melankolis dan merengek karenanya. "Itu sebuah momen yang sangat emosional bagi juru masak manapun. Rasanya seperti kehilangan pacar," kata Ramsay pada Daily Mail. Hingga sekarang, Ramsay tak pernah mau membahas hal ini.
Kerja keras para chef akan tampak dalam hidangan di meja para tamu. Kombinasi dari bahan segar dan mewah dan peralatan terbaik.
Jika bertandang ke Masa, satu-satunya restoran sushi di New York yang mendapat tiga bintang, satu kali makan malam bisa membuatmu mengeluarkan piti sebanyak 500 dolar. Salah satu menu yang paling dicari adalah ikan kue (longtooth grooper), salah satu ikan termahal di pasaran sekarang.
"Ikan kue adalah ikan langka. Hanya ada di delapan minggu dalam setahun, hanya saat musim dingin. Harganya bisa dua ribu dolar per lima kilogram," kata Masayoshi Takayama, chef Masa, dalam wawancara bersama Vanity Fair.
Restoran Michelin lain juga mematok harga gila-gilaan untuk sekali makan. Di restoran Bjorn Frantzen Swedia, sekali makan bisa menghabiskan 221 dollar untuk seporsi langoustine (udang berwarna oranye sejenis lobster, dengan tubuh yang lebih kecil). Makanan ini menjadi simbol baru kemewahan meja makan, menggeser kaviar atau foie gras. Di Guy Savoy, Paris, sepiring lobster yang dimasak bersama kerang dan sayuran musim panas disajikan bersama cuka ringan, dihargai 365 dolar.
Tentu masih ada restoran Michelin yang mematok harga sewajarnya. Mereka kebanyakan berawal dari restoran kecil dan sederhana tetapi menyajikan makanan yang segar dan berbahan lokal. Ketika nama mereka masuk dalam jajaran restoran elite pun, tak serta merta membuat mereka menaikkan harga.
Di Marlow, Inggris, ada sebuah restoran merangkap pub bernama Hand and Flowers. Mereka mendapat dua bintang. Hidangan andalannya adalah makan siang dengan dua menu seharga 15 pounds, atau tiga menu seharga 19,5 pounds. Terdiri dari daging bebek panggang, sup labu, dan ditutup oleh es krim rum yang disajikan dengan pisang.
Tim Ho Wan, Hongkong, yang mendapat satu bintang Michelin juga menyajikan menu enak dengan harga murah. Dim sum dihargai sekitar 6 dolar. Mereka juga membuka banyak cabang, termasuk di Indonesia. Berlokasi di mal Grand Indonesia, mereka menyajikan menu seperti wonton saus pedas, cheong fun isi udang, tim lumpia kulit tahu, hingga kue lobak goreng. Harganya terjangkau. Dari Rp20 ribu hingga di kisaran 50 ribu-an. Tak salah kalau mereka mengaku sebagai "Restoran Michelin Termurah di Dunia".
Seminggu lalu, dua warung pinggir jalan di Singapura berhasil mendapat Michelin. Yakni Hill Street Tai Hwa Pork Noodles yang punya menu andalan mie babi; dan Hong Kong Soya Sauce Chicken Rice & Noodle. Harganya pasti lebih terjangkau.
Meski masih jadi panduan penting bagi restoran elite, banyak juru masak yang mulai memilih untuk tak peduli. Ada juru masak yang terobsesi dengan Michelin, ada yang bersikap masa bodoh.
Pada 2013, Julio Biosca, juru masak di Casa Julio yang terletak di Valencia, Spanyol, memilih untuk mengembalikan bintangnya. Bukan karena antipati, tapi bintang itu membuatnya berhenti berinovasi. Sebab konsistensi adalah hal yang dituntut oleh Michelin. Di tahun yang sama, Frederick Dhooge dari East Flanders, Belgia, juga mengembalikan bintang Michelinnya. Alasannya: dia ingin memasak makanan yang sederhana, seperti ayam goreng. Dia juga tak ingin para konsumennya berharap hal heboh dalam masakannya.
Anthony Bourdain, mantan juru masak terkenal yang kini lebih dikenal sebagai penulis dan pembawa acara, juga berkomentar sinis dengan bintang Michelin ini.
"Orang yang benar-benar peduli terhadap bintang Michelin adalah orang Perancis. Selain mereka, kami bisa tuh hidup tanpa heboh soal Michelin. Aku tak tahu sistem kerja Michelin, tapi itu adalah omong kosong."
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti