tirto.id - Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) masih mengkaji sejumlah poin yang akan dicantumkan dalam Peraturan Menteri Perhubungan soal operasional ojek online (ojol).
Salah satu pasal yang cukup alot dibahas dalam beleid tersebut adalah batas bawah dan batas atas tarif per kilometer yang bakal dibebankan kepada para konsumen.
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kemenhub, Budi Setiyadi menyampaikan, hingga saat ini besaran tarif yang dipertimbangkan masih berkisar di angka Rp2.400 hingga Rp3.000-an.
Angka tersebut dianggap ideal dan tidak membebani penumpang yang menjadikan ojek daring sebagai andalan di kota-kota besar di Indonesia.
Meski demikian, kata Budi, Kemenhub juga masih mempertimbangkan tuntutan para driver ojek online yang meminta tarif dinaikkan pada kisaran Rp3.100 hingga Rp3.500/km.
“Sepertinya butuh satu putaran lagi terkait tarif ini. Memang kami dapat angka mendekati ideal, tapi baru batas bawah, batas atasnya belum,” kata Budi saat dijumpai di kantornya, Rabu, 13 Februari 2019.
Besaran tarif yang dibebankan kepada konsumen memang perlu dirumuskan secara hati-hati. Sebab, jika terlalu tinggi, maka permintaan terhadap ojek online berpotensi merosot cukup signifikan.
Hal tersebut mengingat pengguna jasa ojek online rata-rata berasal dari kalangan menengah dengan pendapatan Upah Minimum Regional (UMR) ke bawah.
Riset yang dilakukan Reasearch Institute of Socio-Economic Development (RISED) baru-baru ini menunjukkan, 22,99 persen responden mengaku tak bersedia jika tarif ojol dinaikkan. Sementara 48,1 persen bersedia asal kurang dari Rp5.000, dan 28,88 persen bersedia dengan kenaikan tarif.
Jika dikategorikan berdasarkan penghasilannya, maka setengah dari 2.001 responden merupakan masyarakat berpenghasilan rendah dengan pendapatan Rp2 hingga Rp4 juta per bulan.
Sementara 40 persen lainnya berpendapatan antara Rp4 hingga Rp7 juta per bulan, dan 10 persen sisanya adalah masyarakat berpenghasilan Rp7 juta ke atas.
Artinya, jika rata-rata perjalanan tiap konsumen mencapai 8,8 km/hari, dengan tarif yang tengah berlaku yakni di kisaran 2.200/km, maka rata-rata pengeluaran konsumen per hari dapat mencapai Rp19.360.
Jika kenaikan tarif ojol dipatok di angka Rp3.100 saja, maka rata-rata pengeluaran harian untuk ongkos meningkat menjadi Rp27.280 per hari. Dengan demikian, ada kenaikan sebesar Rp7.920 sehari atau di atas Rp5.000.
“Artinya, ada 74 persen dari total konsumen atau 7 dari 10 konsumen berpotensi akan mengurangi orederan,” kata Kepala Tim Peneliti RISED, Rumaya Batubara.
Terkait hal ini, Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (GARDA) Igun Wicaksono menyampaikan pihaknya tak khawatir dengan potensi penurunan penumpang bila tarif dinaikkan di angka Rp3.100 hingga Rp3.500/km.
Sebab, menurut Igun, tipikal pengguna ojek online merupakan konsumen yang tak mau ambil pusing dan repot dengan masalah kemacetan yang belum bisa diatasi oleh transportasi umum massal.
“Memang kemungkinan akan ada penurunan penumpang, tapi hanya sementara. Ketika mereka mau naik transportasi umum, mereka juga, kan, butuh ojek sebagai penghubung (feeder) dari rumah ke stasiun atau terminal,” kata Igun saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (14/2/2019).
Hingga saat ini, lanjut Igun, GARDA masih bersikukuh dengan tuntutan mereka lantaran potongan tarif dari aplikator ojek daring di Indonesia cukup besar.
Jika tarif dipatok di angka Rp2.400-Rp3.000, dengan potongan 20 persen, maka uang yang mereka terima tak akan berbeda jauh dengan tarif sebelumnya.
"Kalau enggak mau ada penurunan konsumen, ya sebaiknya ada metode subsidi dari aplikator untuk penumpang. Itu justru lebih bagus,” kata Igun.
Cahyo, salah satu pengemudi ojek daring di wilayah Jakarta menyampaikan, tarif yang diterapkan saat ini sebenarnya cukup bila mitra aplikator ojol hanya sedikit.
Lantaran itu, menurut dia, jika pemerintah tak mau menaikkan tarif sesuai tuntunan para pengemudi, maka sebaiknya diberlakukan pembatasan dalam tiap wilayah, agar pengemudi lebih mudah menjaring penumpang.
"Saya dari 2013, dulu mah gampang banget nyari penumpang. Setengah hari poin kekumpul dapat bonus, selesai [kerjaan]. Sekarang, kan, rebutan, susah," tuturnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Abdul Aziz