tirto.id - Wacana kenaikan tarif ojek online (Ojol) yang diatur pemerintah dinilai bisa berpotensi menurunkan pendapatan para driver.
Sebab, kenaikan tersebut berpotensi menurunkan permintaan konsumen yang sebagian besar pendapatannya di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
Hal itu terungkap dari hasil riset Reasearch Institute of Socio-Economic Development (RiSED) tentang persepsi konsumen terhadap ojek online di Indonesia. Survei tersebut dilakukan terhadap 2.000 konsumen ojok online dengan marjin eror 1 persen.
"Kalau pemerintah mencoba mengepush tarif ke atas, maka para driver yang tadinya ingin mendapatkan kenaikan tambahan bisa jadi malah driver malah turun penumpangnya. Jadi ini industri yang sangat sensitif," ucap Ketua Tim Peneliti RiSED Rumaya Batubara dalam konferensi Pers di Gondangdia, Jakarta Pusat, Senin (11/2/2019).
Dalam paparannya, Rumaya menunjukkan sebanyak 22,99 persen responden mengaku tak bersedia jika tarif Ojol dinaikkan. Sementara 48,1 persen bersedia asal kurang dari Rp5000 dan 28,88 persen bersedia dengan kenaikan tarif.
Dibagi berdasarkan penghasilannya, 50 persen responden merupakan masyarakat berpenghasilan rendah dengan pendapatan Rp2-4 juta per bulan, masyarakat berpenghasilan menengah 40 persen dengan pendapatan Rp4-7 juta serta 10 persen masyarakat berpenghasilan Rp7 juta ke atas.
Dengan rata-rata perjalanan 8,8 km/hari dan tarif sebesar 2.200/km, maka rata-rata pengeluaran konsumen per hari sebesar Rp19.360.
Jika mengacu ke rencana kenaikan tarif Ojol ke angka Rp3.100 oleh pemerintah, maka rata-rata pengeluaran harian untuk ongkos meningkat menjadi Rp27.280.
Dengan demikian, ada kenaikan sebesar Rp7.920 sehari atau di atas Rp5.000.
"Artinya, ada 74 persen dari total konsumen atau 7 dari 10 konsumen berpotensi akan mengurangi orederan," pungkas Rumaya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno