tirto.id - Sejumlah pengungsi etnis Rohingya dikabarkan datang secara bergelombang ke Indonesia melalui Pidie dan Bireuen, Aceh, selama 14-16 November 2023. Dua gelombang pertama diterima sebagai pengungsi, sementara sisanya ditolak oleh masyarakat setempat.
Datang dari Myanmar, sekitar 200 pengungsi Rohingya bisa mencapai Pantai Kemukiman Kalee, Gampong Batee, Muara Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh pada Selasa (14/10) lalu. Dari jumlah itu, 6 orang kabur sehingga pengungsi yang tercatat masuk Aceh hari itu sejunlah 194 orang.
“Jumlah pengungsi Rohingya itu bertambah 194 orang dari sebelumnya yang menempati Kamp Mina Raya sebanyak 141 orang,” ujar Muslim, Kepala Dinas Sosial Pidie, dikutip dari Antaranews.
Gelombang pengungsi Rohingya berikutnya kembali tiba di Pantai Beurandeh, kawasan di pesisir Pidie, pada Rabu (15/11/2023). Setelah masih ada gelombang pengungsi datang.
Namun, berbeda dari sejawatnya yang lebih dulu datang, pengungsi Rohingya yang tiba belakangan di Bireuen dan Aceh Utara ditolak oleh penduduk setempat.
Berapa Jumlah Pengungsi Rohingya di Indonesia?
Pengungsi Rohingya dari negara Myanmar telah datang ke Indonesia sejak tahun 2012 lalu. Gelombang kedatangan mereka bertepatan dengan puncak konflik antara kelompok muslim dan budhis di Myanmar pada 2012-2015. Sebagian besar dari mereka datang ke Aceh.
Dalam Laporan Ringkas Pemantauan Pengungsi Rohingya di Kabupaten Aceh Utara, Aceh Timur, dan Kota Langsa Provinsi Aceh (2015), Komnas Perempuan mencatat selama awal Juni 2015 tercatat ada sekitar 900-an pengungsi Rohingya di Kuala Cangkoy, Bayeun, dan Kuala Langsa.
Konflik bersenjata di Rakhine dan tekanan aparat junta militer Myanmar membuat lebih banyak lagi orang Rohingya yang terusir dari Rakhine, terutama sejak 2017 lalu. Mereka mengungsi ke berbagai negara, termasuk Indonesia.
Berdasarkan data di laman UNHCR Agency Indonesia, hingga Februari 2023 lalu, tercatat ada sekitar 1.000-an pengungsi Rohingya yang datang ke Indonesia. Jumlah tersebut pun terus bertambah, termasuk dengan kedatangan ratusan orang Rohingya ke Aceh pada bulan November 2023.
Siapa Pengungsi Rohingya?
Para pengungsi Rohingya merupakan etnis minoritas muslim di Myanmar. Mereka terusir dari tempat asalnya, Rakhine, karena konflik dan aksi represif militer Myanmar.
Merujuk pada data Human Rights Watch, hingga akhir September 2023 lalu, sekitar 1 juta etnis Rohingya masih mengungsi di wilayah Bangladesh, dekat perbatasan Myanmar.
Mayoritas dari mereka mengungsi sejak 2017 lalu, dan terjebak dalam kamp-kamp yang penuh sesak, minim fasilitas, serta dibayangi ancaman kekerasan bersenjata.
Etnis Rohingya adalah penduduk asal wilayah Negara Bagian Rakhine, Myanmar. Wilayah ini dahulu pernah berdiri mandiri sebagai Kerajaan Arakan (1428-1782).
Mengutip ulasan dalam IKAT: The Indonesian Journal of Southeast Asian Studies (Vol. 2, No. 1, Juli 2018), terdapat dua komunitas minoritas muslim di Rakhine, yakni Kaman dan Rohingya.
Orang-orang Kaman berbicara mamakai bahasa Rakhine, dan memiliki adat istiadat yang sama dengan penduduk mayoritas Buddha di Myanmar. Mereka diakui dan diberikan hak atau status kewarganegaraan oleh Pemerintah Myanmar. Status itu tidak diberikan kepada etnis Rohingya.
Orang-orang Rohingya berbicara dalam bahasa Rohingya atau Ruaingga yang mirip dialek Chittagonia di Bangladesh. Bahasa itu berbeda dengan yang digunakan mayoritas warga di Rakhine dan wilayah Myanmar lainnya. Selain itu, etnis Rohingya umumnya mempunyai ciri fisik mirip orang-orang asal Chittagong, Bangladesh.
Pada tahun 1958, presiden pertama Burma (sebutan Myanmar pada masa lalu), Sao Shwe Thaike, menetapkan muslim Arakan jadi bagian dari etnis asli Myanmar. Namun, regulasi kwarganegaraan di Myanmar mendiskriminasi orang-orang Rohingya.
UU Kewarganegaraan yang mulai berlaku pada 1982 bahkan secara efektif membuat etnis Rohingya di Myanmar tidak dapat memiliki status kewarganegaraan. Akibatnya, tak hanya diskriminasi, pengusiran juga dialami oleh banyak orang-orang Rohingya.
Selama periode pemerintahan junta militer Burma pada 1966-1988, etnis Rohingya telah mengalami penindasan. Salah satu operasi junta yang paling brutal mengusir orang-orang Rohingya terjadi pada 1978. Operasi itu memaksa 200-an ribu orang Rohingya eksodus ke Bangladesh. Gelombang eksodus terus berulang hingga era 1990-an.
Pengucilan sekaligus pengusiran tadi terus meningkat eskalasinya, dengan melibatkan kekerasan dari aparat militer maupun warga mayoritas di Myanmar. Setelah terusir akibat tekanan kelompok budhis pada 2012-2015, etnis Rohingya kembali harus melarikan diri ketika perang melanda Rakhine pada 2017 lalu.
Mayoritas pengungsi Rohingya yang saat ini terjebak di perbatasan Bangladesh-Myanmar terusir dari tempat asalnya sejak 2017. Tahun itu, pecah konflik bersenjata antara tentara pemberontak Arakan (Arakan Rohingya Salvation Army) dengan militer Myanmar. Hingga Agustus 2017 saja, 600-an ribu pengungsi Rohingya harus lari menuju Bangladesh karena konflik tersebut.
Diskriminasi, pengucilan, dan pengusiran terhadap orang-orang Rohingya itu diperparah oleh tekanan aparat Myanmar setelah kudeta militer terjadi pada 2021 lalu. Berdasarkan laporan Human Rights Watch, sejak Februari 2021, junta militer Myanmar menangkap ribuan orang Rohingya karena melakukan perjalanan tanpa izin.
Selain membatasi pergerakan warga, mereka juga melakukan pemblokiran bantuan ke kamp-kamp maupun desa yang dihuni oleh orang-orang etnis Rohingya. Para pengungsi Rohingya tak hanya sulit kembali ke tempat tinggalnya tetapi juga mengalami kekurangan makanan dan obat-obatan, termasuk saat bencana Topan Mocha melanda Rakhine pada pertengahan Mei 2023 lalu.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Addi M Idhom