tirto.id - Sebuah dusun di Desa Pengaron dekat Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, jadi saksi titik awal kelahiran dunia batu bara di Indonesia. Di tempat itu, pada 1849, kali pertama pertambangan batu bara dibuka oleh perusahaan Belanda, Oost Borneo Maatschappij. Selain Kalimantan, Belanda juga mulai membuka tambang batu bara di Sumatera (Irwandy Arif: Batu Bara Indonesia).
Geliat pertambangan "emas hitam" ini sejalan dengan permintaannya. Sebelum 1941, total produksi batu bara sudah menyentuh 2 juta per tahun. Namun, tidak selamanya bisnis batu bara itu "panas". Pada 1969, batu bara sempat ditinggalkan, dan diganti oleh minyak, produksi pun turun anjlok. Lalu, permintaan batubara mulai membaik pada awal tahun 1970-an. Pada 1991, produksi batu bara Indonesia mulai meningkat tajam karena proyek PLTU.
Baca juga: Walhi Khawatir Indonesia Kehabisan Stok Batu Bara pada 2030
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi batu bara Indonesia pada 1996 mencapai 50,33 juta ton. Hingga 2007, produksi batu bara secara konsisten mencatatkan pertumbuhan. Tercatat, produksi batu bara sudah menyentuh 188,66 juta ton per tahun.
Kenaikan itu tertahan pada 2008, bersamaan dengan terjadinya krisis global. Pada saat itu, produksi batu bara turun 5 persen menjadi 178,93 juta ton. Sayangnya, hal itu tidak berlangsung lama, pada tahun-tahun berikutnya, produksi kembali melesat.
Pada 2013, produksi batu bara kembali terkoreksi, sampai dengan 2015 seiring dengan anjloknya harga batu bara dunia. Pada 2015, harga batu bara dunia menyentuh $52,13 per metrik ton, anjlok 38 persen dari akhir 2013 sebesar $84,34 per metrik ton. Anjloknya harga batu bara menyebabkan banyak perusahaan tambang terpaksa menghentikan sementara operasi dan PHK tak terhindari. Selain itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor mineral dan batu bara ikut kena dampak.
Baca juga:Menanti Akhir dari Bisnis Batu Bara
Sepanjang 2015, realisasi PNBP subsektor mineral dan batu bara hanya mencapai Rp29,631 triliun atau 56,76 persen dari target Rp52,2 triliun. Pada 2016, harga batu bara dunia mulai merangkak naik, setelah sempat di titik terendah pada Januari sebesar US$49,82 per metrik ton. Harga batu bara tertinggi terjadi pada November 2016 sebesar US$100 per metrik ton.
Pada 2017, harga batu bara bergerak fluktuatif, namun dengan tren meningkat. Harga batu bara sempat mencapai titik terendah pada Mei 2017, yakni $74,52 per metrik ton. Harga batu bara kembali naik, dan menyentuh $97,14 per metrik ton pada Oktober 2017.
Tren naik dan turunnya harga batu bara berdampak langsung bagi pebisnis batu bara. Tengok saja kinerja keuangan para emiten batu bara di Bursa Efek Indonesia.
“Koreksi paling dalam terjadi pada 2015. Emiten-emiten besar juga kena. Bahkan, tidak sedikit emiten batu bara yang mengalami rugi bersih,” kata Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Kapital kepada Tirto.
Pada 2017, sejalan dengan tren harga batu bara yang naik, kinerja keuangan emiten batu bara perlahan-lahan mulai terangkat. Namun, ada juga yang masih mengalami kerugian. Perbaikan harga batu bara dunia menjadi penopang kinerja para perusahaan batu bara daripada faktor kenaikan volume penjualan.
PT Adaro Energy Tbk. (ADRO) misalnya, volume penjualan batu baranya memang turun 2 persen menjadi 39,4 juta ton hingga kuartal III-2017, tapi pendapatannya naik 37 persen jadi $2,43 miliar. Adaro juga mampu membukukan laba bersih $413,75 juta, naik 96 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Serupa dengan Adaro, PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG), volume penjualan batu bara pada kuartal III-2017 memang turun 6 persen sebesar 5,8 juta ton, tapi pendapatannya melesat hingga 20 persen menjadi $1,16 miliar. Laba bersih yang dikantongi pun naik 147 persen jadi $172,17 juta.
PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) juga ikut merasakan manisnya tren kenaikan harga batu bara. BUMN tambang ini meraup pendapatan Rp13,22 triliun, naik 32 persen. Imbasnya, laba perseroan menembus Rp2,66 triliun, melonjak 153 persen.
Sayangnya, tidak semua emiten batu bara yang mencicipi manisnya kenaikan harga batu bara. Ada yang kinerjanya masih melempem, salah satunya PT Bumi Resources Tbk. (BUMI) . Pada kuartal III-2017, perseroan hanya meraup pendapatan $17,36 juta turun 4 persen dari periode yang sama tahun lalu. Namun, laba bersih perseroan justru melonjak tajam menjadi $242,51 juta, naik empat kali lipat periode sama di 2016. Laba bersih yang meningkat karena investasi pada entitas asosiasi dan ventura bersama.
Perbaikan kinerja keuangan para emiten batu bara berimbas langsung pada pergerakan saham emiten batu bara. Harga saham Adaro misalnya, meningkat 5 persen menjadi Rp1.775 per saham per 4 Desember 2017 dari Rp1.695 per saham pada 5 Januari 2017. Begitu juga dengan saham Indo Tambangraya yang meningkat menjadi Rp21.125 per saham dari sebelumnya Rp16.600 per saham di awal tahun.
Namun, ada juga emiten batu bara yang harga sahamnya justru mengalami koreksi. Misalnya, saham Bumi Resources turun menjadi Rp272 per saham dari sebelumnya Rp324 per saham. Saham Bukit Asam turun menjadi Rp11.475 per saham dari Rp12.275 per saham.
“Memang, pola pergerakan saham itu merefleksikan fundamental dari emiten batu bara itu sendiri. Hanya saja, harus diakui pergerakan saham emiten batu bara juga dipengaruhi oleh pergerakan harga komoditasnya,” tutur Alfred.
Prospek di Tahun 2018
Harga batu bara dunia yang melonjak membuat kinerja emiten batu bara juga ikut terkerek. Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah ini akan berlanjut di tahun depan?
Baca juga:Ekspor Batu Bara Indonesia ke Cina Naik hingga 63 Persen
Harga komoditas terutama batu bara diproyeksikan masih akan bergerak positif pada tahun depan. Sedikitnya ada dua hal yang menjadi alasan, pertama, Cina kemungkinan besar masih berkomitmen untuk memangkas produksi batu bara.
Pemangkasan produksi batu bara merupakan dampak dari upaya Cina dalam menstabilkan harga batu bara. Selain itu, Cina juga ingin mengutamakan energi ramah lingkungan. Negeri Tirai Bambu ini sudah sejak lama bermasalah dengan polusi udara akibat industri dan pembangkit yang memakai batu bara.
Baca juga:Polusi Udara di Cina yang Makin Gawat
Kedua, membaiknya perekonomian global. Secara teori, membaiknya perekonomian global juga bakal diikuti dengan meningkatnya permintaan komoditas, seperti batu bara. Belum lagi, permintaan batu bara dari dalam negeri juga masih akan meningkat.
“Kami memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan meningkat secara gradual pada tahun-tahun mendatang, dan akan diikuti dengan kenaikan harga komoditas,” ujar Agus Martowardojo, Gubernur Bank Indonesia.
Prospek emiten batu bara memang diproyeksikan masih akan cerah pada 2018. Soalnya, harga batu bara yang positif saat ini biasanya baru akan terefleksikan ke kinerja keuangan pada 3-6 bulan mendatang.
Di lain pihak investor pasar modal juga tetap harus berhati-hati apabila ingin membeli saham emiten batu bara. Pergerakan saham emiten batu bara juga bakal dipengaruhi harga batu bara dunia, yang rentan terpengaruh sentimen global.
Penulis: Ringkang Gumiwang
Editor: Suhendra