tirto.id - Ilmuwan Cina He Jiankui mengklaim telah berhasil merekayasa DNA bayi. Klaim itu jelas membuat geger publik. Pasalnya, kendati jadi lompatan besar dalam sains, penerapan rekayasa genetika pada manusia dianggap bermasalah secara etika, bahkan dilarang.
He Jiankui menggunakan metode CRISPR-cas9 untuk mengedit DNA embrio Lulu dan Nana, dua bayi kembar tersebut. Sederhananya, CRISPR (Clusters of Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats) adalah metode mengedit susunan DNA. Sedangkan Cas9 adalah protein yang digunakan untuk memotong utas DNA yang hendak diedit.
Terkait hal ini, Jennifer Doudna, seorang profesor di University of California, Berkeley yang juga mengembangkan teknik pengeditan gen CRISPR-Cas9 menyatakan, bayi-bayi He Jiankui tersebut 'diciptakan' dari metode sains yang sangat prematur dan masih perlu dipelajari lebih lanjut.
“Penyuntingan genom pada manusia adalah teknik yang masih prematur, mengingat kita tidak sepenuhnya paham teknologi dan dampak dari aplikasi semacam itu. Hasil ini memiliki efek samping lanjutan pada kehidupan seseorang dan masa depan anak-anak mereka,” kata Doudna dilansir Scientific America.
Dalam dunia bioteknologi, metode CRISPR-Cas9 adalah metode yang sudah jamak digunakan. Ilmuwan biasa menggunakan metode ini untuk melakukan eksperimen seluler di laboratorium. Metode yang sama juga diterapkan untuk memproduksi tanaman pangan dan ternak unggul. Penerapan metode ini pada manusia sifatnya sangat eksperimental.
Bedanya, dalam kasus He Jiankui, metode CRISPR-Cas9 digunakan untuk mengedit gen CCR5 dalam utas DNA manusia, khususnya agar bayi yang kelak dilahirkan lebih resisten terhadap HIV.
Di sisi lain, ilmuwan belum sepenuhnya tahu dampak jangka panjang dari metode pengeditan DNA ini bagi manusia. Terlebih lagi, seturut artikel lanjutan dari AP, perubahan gen dalam sperma, ovum, atau embrio bersifat permanen dan menurun ke generasi selanjutnya.
Dr. Kiran Musunuru, pandit rekayasa genetika Universitas Pennsylvania dan salah satu pengkritik He Jiankui, mengemukakan masih ada banyak virus baru yang bisa mengancam manusia, bahkan jika rekayasa terhadap gen CCR5 itu sukses dilakukan. Lagipula, kini ada banyak cara untuk mencegah infeksi HIV.
"Yang lebih memprihatinkan, itu [pengeditan gen untuk mencegah HIV] bukan dilakukan pada bayi baru lahir, namun ketika mereka masih embrio. Langkah ini akan berpotensi membuat anak memiliki mosaikisme, yang berarti pengeditan bekerja hanya pada beberapa sel mereka. Tidak ada yang sebelumnya membuktikan keberhasilan proses itu pada manusia, tidak jelas apakah anak hasil rekayasa DNA itu benar akan memiliki perlindungan terhadap HIV, atau sebaliknya, anak itu dalam kondisi kesehatan yang tidak aman diakibatkan pengeditan gen yang telah dilakukan," kata Musunuru.
Menyadari resiko yang belum terpahami itu, Akademi Sains, Teknik, dan Kedokteran Nasional AS pada 2017 menetapkan bahwa metode pengeditan gen dibenarkan secara etis hanya untuk penelitian laboratorium.
Di luar laboratorium, rekayasa genetik pada manusia hanya diizinkan untuk mengobati atau mencegah penyakit serius yang tak punya alternatif penyembuhan lain. Sementara itu, pemerintah Cina melarang kloning manusia tetapi tidak secara khusus mengatur tentang rekayasa genetika.
Sementara itu, pengeditan CCR5 ternyata juga berpengaruh pada perkembangan otak. Studi Alcino Silva dari University of California, Los Angeles tahun 2016 menyatakan, penelitian pada tikus yang menghapus CCR5 akan meningkatkan memori visual dan spasial. Silva mengatakan, dengan menghapus salinan gen menunjukkan manfaat yang lebih besar pada tikus tersebut.
Peneliti lain di U.C.L.A., saat ini sedang melakukan uji klinis menggunakan obat HIV Maraviroc untuk menekan potensi penyakit stroke dari penghapusan gen CCR5.Peneliti percaya, jika obat ini berhasil, penghapusan gen CCR5 pada manusia akan semakin kelihatan hasil positifnya.
Editor: Yulaika Ramadhani