tirto.id - Dalam sejarah Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL, terdapat orang-orang Sulawesi Selatan yang umumnya biasa disebut sebagai orang Bugis. Mereka seperti dicatat Haji Daeng Mangemba dalam Takutlah pada Orang Jujur: Mozaik Pemikiran (2002:46-47), masuk dalam istilah Tongguruk Sorodadu, yang artinya kira-kira akan jatuh derajat seseorang jika menjadi serdadu. Pekerjaan itu dianggap hanya untuk orang putus asa dan tidak punya pengharapan lain. Apalagi orang Sulawesi Selatan punya akar pemusuhan dengan Belanda.
Salah seorang serdadu KNIL asal Bugis bernama Batjo, yang merupakan penerima bintang ksatria Militaire Willems-Orde kelas empat. Menurut laporan surat kabar De Locomotief (02/11/1880), dia menerima bintang itu berdasar Koninklij Besluit tanggal 7 Oktober 1880 atas keterlibatannya dalam operasi militer di Mukim XXII dan XXVI, Aceh. Namun setelah operasi tersebut, Batjo ditempatkan pada bagian kesehatan di sebuah rumah sakit.
Suatu hari di awal tahun 1890, Batjo bikin perkara yang membuat kesal polisi dan priyayi di lingkungan Bupati Surabaya. Seperti diberitakan Soerabaijasch Bandelsblad (15/03/1890), Batjo telah melanggar peraturan dengan naik kuda melintasi Keputran, di kediaman Bupati Surabaya. Bagi kaum priyayi Jawa saat itu, hal tersebut tergolong perilaku kurangajar. Maka Batjo si penunggang kuda yang kala itu berpakaian nyaris seperti orang Eropa, dipanggil untuk diberi hukuman. Kala itu, di hadapan pejabat seperti bupati, rakyat Jawa diharuskan berjongkok, sementara Batjo sebagai orang Bugis tak biasa melakukannya.
Batjo diancam membayar denda 10 gulden atau menjalani kerja paksa selama 7 hari. Di sisi lain, jika dia menjalani hukuman kerja paksa, maka penerima bintang ksatria Militaire Willems-Orde ini tak ubahnya kriminal kebanyakan. Batjo pun dilaporkan ke pihak otoritas militer atas tindakannya.
Dua tahun kemudian, sebagaimana diwartakan Soerabaijasch Handelsblad (03/03/1892) Batjo mengamuk dan terlibat perkelahian hingga kembali harus berurusan dengan polisi. Koran itu (05/09/1893) juga lagi-lagi melaporkan bahwa Batjo dianggap melakukan penyerangan dan merusak sebuah kebun.
Sementara pada 1895, seperti dicatat De Locomotief (01/05/1897) Batjo ditangkap dalam penggerebekan judi. Dia terancam hukuman satu bulan kerja paksa serta kehilangan bintang Militaire Willems-Orde yang artinya bakal meniadakan tunjangan sekitar 6 gulden tiap bulan. Lalu pada 1898, seperti diberitakan De Locomotief (10/11/1898), Batjo yang bersengketa dengan Tio Kim Hin mengeluarkan ancaman dengan sebilah keris.
Barbara Sillar Harvey mencatat dalam Pemberontakan Kahar Muzakkar: Dari Tradisi ke DI/TII (1989:51) bahwa anggota KNIL yang berasal dari Bugis termasuk sedikit. Ia menambahkan bahwa mereka dianggap mudah mengamuk. Antara tahun 1890 hingga 1905 tercatat hanya 321 orang Bugis yang berdinas di KNIL. Sementara pada tahun 1916 seperti dikutip dari buku Peperangan Kerajaan di Nusantara (2003:325-326) karya RP Suyono, hanya terdapat 36 orang Bugis dari total 30 ribu lebih anggota KNIL.
Andi Azis
Dari sekian KNIL asal Bugis yang tidak banyak jumlahnya itu, yang meraih posisi perwira dan terkenal dalam sejarah Indonesia hanya Andi Abdul Azis alias Andi Azis. Dia pernah hidup di bawah pendudukan NAZI Jerman di Negeri Belanda, lalu dilatih di Inggris sebagai sersan dan prajurit pasukan payung.
Andi Azis adalah anak bangsawan Barru. Ayahnya, Andi Djuanna, Putra Sullewatang (wakil raja). Dia masih punya hubungan keluarga dengan Andi Mattalata, anak raja Barru yang belakangan menjadi mayor jenderal TNI. Andi Azis dibawa ke Belanda oleh pensiunan pegawai negeri yang pernah bertugas di Sulawesi Selatan. Tahun 1940, saat dia berusia 16 tahun, sekolahnya berantakan karena Belanda diduduki Jerman.
Menurut Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900-1950 (1995:259), Andi Azis mulai masuk dinas militer Belanda di Inggris pada 22 Juni 1945. Mula-mula dia menjadi sersan infanteri milisi sementara yang dilatih sebagai penerjun dan pernah ditempatkan di Srilangka. Selain itu, dia juga sempat ikut dalam pelatihan untuk menjadi inspektur polisi.
Pada 1 Maret 1947, Andi Azis dipanggil untuk aktif lagi dalam dinas militer dan dijadikan letnan cadangan KNIL. Pertengahan 1948 dia berangkat ke sekolah perwira cadangan infanteri di Bandung. Kemudian pada April 1949 dia menjadi komandan peleton Batalion Infanteri XVI di Palopo, dan 5 Januari 1950 dipindahkan ke Makassar. Andi Azis pernah pula menjadi ajudan Presiden Negara Indonesia Timur, Tjokorda Gde Raka Sukawati.
Sejak 30 Maret 1950 dia masuk ke APRIS (TNI) sebagai komandan kompi dengan pangkat Kapten. Lalu pada 5 April 1950 melancarkan kudeta di Makassar terkait dengan Negara Indonesia Timur. Keterlibatan Andi Azis dan pasukan KNIL dalam pemberontakan itu tak lepas dari hasutan bekas Jaksa Agung Soumokil, yang belakangan memimpin Republik Maluku Selatan (RMS).
Meski terlambat, Andi Azis akhirnya menyerahkan diri. Dia diadili di Yogyakarta dan dihukum, lalu tak pernah akrif lagi sebagai tentara dan memilih bekerja di sektor perkapalan.
Setelah Belanda angkat kaki dan TNI mulai membenahi organisasinya, banyak orang-orang Bugis yang bergabung dengan TNI. Jumlahnya meningkat sejak 1945 dan tidak ada lagi istilah Tongguruk Sorodadu untuk masuk TNI. Beberapa di antaranya bahkan menjadi perwira tinggi TNI seperti Andi Mattalata juga M. Jusuf yang pernah jadi Panglima ABRI.
Editor: Irfan Teguh