tirto.id - Di pertengahan abad ke-19, pemerintah kolonial Hindia Belanda bikin sekolah dokter untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis di tanah jajahan. Pada 1898, sekolah itu disempurnakan dan dinamai School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA).
Selain itu, ada pula sekolah guru Kweekschool dan sekolah pamong praja Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA). Di awal abad ke-19, sekolah hakim pun diadakan pula di Hindia Belanda.
Jumlah sekolah untuk anak bumiputra semakin bertambah setelah politik balas budi didengungkan Conrad Theodore van Deventer. Sekolah-sekolah itu dibangun tentu demi kelancaran daripada kolonialisme Hindia Belanda.
Tak hanya di bidang-bidang sipil, pemerintah kolonial juga membuka sekolah untuk pemuda pribumi yang ingin berkarier di dunia militer. Ada Militaire School di Jatinegara yang membuka kursus calon perwira bumiputra sejak 1907.
Tak seperti STOVIA yang ramai pendaftar—dan seperti kata Robert van Niel dalam Munculnya Elit Modern Indonesia (2009, hlm. 82) jadi salah satu penghasil elite baru bumiputra, kursus calon perwira pribumi tersebut sepi peminat dan tentu saja sedikit menghasilkan elite baru.
Hanya 13 Lulusan Saja
Sekolah Militer Jatinegara tidak semenarik STOVIA. Koran Bataviaasch Nieuwsblad (30/09/1927) menyebut rata-rata hanya tiga bumiputra saja yang ikut kursus Militaire School setiap tahun. Kapten De Voogt dan siswa STOVIA bernama Gunawan Mangunkusumo memberikan pendapatnya soal sekolah militer itu di De Locomotief (15/07/1908). Menurut Gunawan Mangunkusumo, Militaire School sepi peminat karena karena cenderung “pilih kasih” pada kaum ningrat saja.
Militaire School mensyaratkan kecakapan akademik. Karena itulah, golongan ningrat yang punya akses ke sekolah-sekolah elite Belanda punya kesempatan lebih besar untuk memasukinya. Imbasnya, taruna bumiputra di Militaire School pun lebih sedikit jumlahnya dibanding taruna Eropa.
Sementara itu menurut Kapten De Voogt, Militaire School kekurangan peminat dari kalangan pribumi karena mereka kurang informasi terkait metode pelatihannya. Mereka juga takut uang jaminan sekolah yang dibayarkan tidak kembali jika gagal dalam pelatihan. Bahkan, mereka takut tidak bisa menjalankan kewajiban agama selama masa pendidikan.
Lagi pula, ada anggapan di kalangan priyayi bahwa bekerja di kesatuan Koninklijk Nederlandsch Indische Leger (KNIL) adalah sebuah kehinaan. Mereka lebih suka jadi pegawai kolonial yang kerjanya lebih nyaman.
Seorang priyayi bernama Raden Soemohardjo, misalnya, jadi uring-uringan hidupnya setelah anaknya kabur dari OSVIA dan mendaftar di KNIL. Untuk masuk KNIL dan jadi perwira, dia harus membayar uang jaminan 1000 gulden. Meski Raden Soemohardjo tetap membayarnya, uang sejumlah itu tetaplah jumlah yang kelewat besar untuk ukuran zaman itu.
Saat kursus calon perwira pertama kali dibuka pada 1907, terdapat empat pemuda pribumi yang ikut pendidikan. Seturut pemberitaan Het Nieuws van den Dag voor Nederlandsch-Indië (18/06/1907), keempat pemuda itu adalah Raden Santoso, Raden Mardjana, Raden Wardiman dan Raden Padmawinangoen.
De Locomotief (27/06/1910) menyebut hanya Raden Santoso, Raden Mardjana, dan Raden Wardiman yang kemudian lulus. Sementara Raden Padmawinangoen dikabarkan terpental lebih dulu. Ketiganya lalu dilantik jadi perwira KNIL pada Oktober 1910 dengan pangkat pertama letnan kelas dua infanteri.
Tahun berikutnya, kursus militer itu hanya meluluskan dua perwira saja. Koran De Preanger Bode (20/10/1911) menyebut dua perwira itu adalah Benjamin Thomas Walangitan dan Alexander Herman Hermanus Kawilarang. Keduanya orang Minahasa dari keluarga pamong praja kolonial.
Pada 1912, seturut pemberitaan koran De Express (21/10/1912), Militaire School lagi-lagi hanya bisa meluluskan dua perwira pribumi, yaitu Raden Soeratman dan Raden Mas Soepama. Pada 1913 dan 1914, Militaire School meluluskan masing-masing tiga perwira.
Setelah itu, kursus calon perwira bagi bumiputra dihentikan. Pemerintah kolonial kemudian mencomot para sersan pribumi untuk dididik dalam Hoofd Cursuus dan diangkat jadi perwira.
Pada 1929, Militaire School akhirnya dibubarkan. Sejak saat itu, calon perwira KNIL diusahakan dari mereka yang mengikuti Akademi Militer Belanda di Breda. Setelah Akademi Militer Breda bubar dan Belanda kepepet oleh militer Jepang, KNIL melatih lebih banyak pemuda pribumi sebagai calon perwira di Bandung.
Para perwira pribumi itu menjalani jalur karier yang sama dengan perwira Belanda. Pangkat letnan kelas dua biasanya disandang sekitar dua atau tiga tahun, sementara pangkat letnan kelas satu sekitar sembilan tahun dan kapten bisa sekitar tujuh atau sembilan tahun. Namun, perwira bumiputra tidak mungkin naik sampai pangkat jenderal.
Masa Depan Perwira Didikan Jatinegara
Dari 13 lulusan kursus perwira di Militaire School Jatinegara itu, adatiga orang yang kariernya mentok pada pangkat letnan kelas satu. Soepama diberhentikan dengan hormat karena suatu alasan, Asmino diberhentikan karena kasus penipuan, dan Santoso karena kasus asusila.
Beberapa lainnya terhenti pada pangkat kapten. Sebelum Perang Dunia II pecah, hanya 4 orang yang berhasil mencapai pangkat mayor. Para mayor lulusan Jatinegara itu antara lain Walangitang, Kawilarang, Soegondo, dan Oerip Soemohardjo.
Walangitang dan Kawilarang yang seangkatan sama-sama tewas dalam insiden kapal Junyo Maru di sekitar Laut Mukomuko pada 18 September 1944. Saat itu, mereka adalah tawanan perang tentara Jepang.
Sementara itu, Soegondo sempat ditarik ke KNIL lagi kala Belanda sedang memulihkan kekuasaannya atas Indonesia pada 1945. Setelah Konferensi Meja Bundar 1949, Soegondo masuk TNI sebagai kolonel.
Koran De Vrije Pers (30/11/1949) menyebut ada usulan Kolonel Soegondo dijadikan panglima tentara Indonesia. Tapi, Soegondo tidak lama di TNI dan setelahnya dia hidup di Negeri Belanda. Sementara Oerip Soemohardjo, anak mantri guru Soemohardjo di Purworejo, dikenal sebagai salah seorang pendiri Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan tangan kanan Jenderal Sudirman.
Para lulusan Jatinegara itu di antaranya punya anak yang belakangan mengikuti jejaknya dalam kemiliteranjuga. Willem Lucas Walangitang, anak Mayor Walangitang, pernah dilatih sebagai calon penerbang KNIL. Lalu, ada Alex Kawilarang—anak Mayor Kawilarang—yang mengikuti jejak ayahnya jadi letnan KNIL. Setelah Indonesia merdeka, Alex Kawilarang menjadi perwira TNI yang ikut mendirikan cikal-bakal Kopassus.
Ada pula Kapten KNIL Wardiman Wirjosapoetro yang memilih ikut Republik Indonesia setelah 1945. Kedua anaknya, Imam Soewongso dan Oentoeng Soewignjo, masuk TNI Angkatan Udara dan pensiun sebagai marsekal muda.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi