tirto.id - Bagi orang Bandung, urban legend patung pastor di tengah Taman Maluku tentu bukanlah hal yang asing. Ada banyak cerita mistis yang melingkupinya, mulai dari sorot matanya yang konon bisa bergerak sampai “kebiasaannya” jalan-jalan di malam hari. Pengunjung yang menyempatkan diri untuk berhenti sejenak tentu akan dengan mudah menemukan keterangan bahwa patung itu bukan sekadar ada di sana sebagai pengisi taman.
Di bawah patung itu, terdapat plakat yang menyebut identitasnya: Pastoor H.C. Verbraak (1835-1918), seorang aalmoezeneer (1874-1881) yang pernah bertugas di Aceh (1874-1907). Lantas, siapakah dia dan mengapa sosoknya dikenang sedemikian rupa?
Kita tentu sudah biasa melihat patung-patung pahlawan nasional menjadi penghias tengara kota. Tapi, patung seorang pastor—orang Belanda pula—tentu suatu keanehan.
Agaknya pun serpihan-serpihan informasi dari inskripsi tersebut tidaklah memadai untuk menceritakan sosok Pastor Verbraak. Karena itu mari kita buka beberapa catatan tua yang menyebut riwayatnya.
Dari Rotterdam ke Aceh
Henricus Christianus Verbraak adalah anggota ordo religius Societas Jesu. Sebuah obituarium dalam majalah Berichtenuit Nederlandsch-Oost-Indië; ten dienste der eerwaarde directeuren van den Sint Claverbond(1918) menyebut Verbraak lahir pada 27 Maret 1835 di Rotterdam.
Majalah misi Katolik yang dikelola Societas Jesu tersebut juga menyebut bahwa Verbraak ditahbiskan sebagai imam Katolik pada 19 September 1859.
Sebelum datang ke Hindia Belanda, sebagai pastor muda dia melayani umat di Ghent (Belgia) dan Nijmegen (Belanda). Pada 13 Agustus 1872, turunlah dekret dari Kerajaan Belanda yang memberi wewenang pada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengangkat Verbraak sebagai aalmoezeneer atau pastor-tentara dengan pangkat setara perwira muda.
Sebelas hari kemudian, Verbraak sudah dalam perjalanan meninggalkan tanah airnyadengan menumpang kapal uap Conrad. Dia tiba di Batavia pada 3 Oktober 1872 dan kemudian langsung berlayar lagi ke Padang. Di kota itulah, dia ditugaskan.
Di Padang, Pastor Verbraak yang masih hijau itu mendapat bimbingan dari Pastor A. Smit. Sebagai aalmoezeneer,Verbraak tidak turut memegang senjata, tapi melakukan reksa rohani bagi para tentara di kesatuannya.
Setelah bertugas sementara waktu di Padang, pada 29 Juni 1874, Verbraak menjejakkan kaki di Aceh—tempatnya melakukan pelayanan hingga tiga dasawarsa mendatang.
Teman Menjelang Ajal
Majalah Sint. Clavebond—penerus majalah Berichten--(1937) menggambarkan dengan hidup situasi yang dihadapi Verbraak di Aceh. Selain karena kekacauan perang, kondisi tentara kolonial juga carut-marut oleh terjangan wabah tifus, kolera, dan beri-beri.
Gara-gara itu, tak banyak orang Eropa yang mau berlama-lama berdiam di Aceh kala itu. Tapi, Verbraak adalah pengecualian. Sebagai pastor-tentara, Verbraak bersetia menemani “anak-anaknya, para tentara KNIL, terutama di saat-saat terakhir mereka.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa sebagian serdadu KNIL bukanlah tentara profesional. Banyak di antaranya merupakan pemuda-pemuda bermasalah alias berandal di negeri asal mereka. Sebagian dari mereka mungkin dibenci atau terbuang dari keluarganya.
Bagi mereka, alasan masuk KNIL pun pragmatis saja: mencari penghidupan baru di tanah jajahan atau menghindari hukuman.
Pastor Verbraak menyadari hal itu dan mencoba menempatkan dirinya sebagai bapak bagi orang-orang terbuang itu. Salah satu bentuk jiwa kebapakan Verbraak dinyatakan dengan mengajak serdadu-serdadu yang terbaring sakit atau hendak menghadapi kematian untuk menulis surat pada keluarga mereka.
Tak hanya itu, Verbraak pun turut menulis surat secara pribadi pada keluarga mereka. Dua contoh surat Verbraak dapat dilihat di buku biografi Pater Verbraak, S.J. (PDF, 1927) yang ditulis H. Eykemans.
Kelembutan hati Verbraak tercermin dalam surat-surat itu. Verbraak kerap mengabarkan pada keluarga para serdadu bahwa anak-anak mereka tetap mencintai keluarganya, meski mungkin meninggalkan mereka dalam keadaan pahit atau dibenci.
Pernah pula Verbraak menyurati keluarga seorang serdadu yang divonis mati oleh pengadilan militer karena telah menembak atasannya. Verbraak mengabarkan bahwa anak mereka sungguh menyesali tindakannya. Dia juga memastikan bahwa mereka tetap dapat mengenang anaknya secara baik.
Pastor Toleran di Tengah Perang
Lebih lanjut, Verbraak dikenang sebagai pastor yang humanis dan toleran. Redaksi Sint Claverbond menulis, “Pastor Verbraak tidak pernah mempertanyakan agama seseorang.” Entah prajurit itu Katolik, Protestan, atau pribumi Islam sekali pun, dia bakal tetap menemani dan memberikan penghiburan di saat-saat menjelang ajalnya.
Kepada prajurit pribumi, Verbraak disebut gemar membawakan mereka tembakau dan daun kering untuk dibuat menjadi seroetoe (rokok).
F. Van Hoeck dalam biografi De Soldatenpastoor: P. Henricus Verbraak S. J., aalmoezenier van het Ned.-Ind. leger te Atjeh (PDF, 1924) menyebut suatu ketika Verbraak berkunjung ke suatu pos untuk mengadakan ibadat. Semua prajurit di pos militer itu mengiringinya ke kantin yang diubah menjadi ruang ibadat dan prajurit Katolik maupun non-Katolik berjejal untuk mendengarkan khotbahnya.
Barangkali tidak semua prajurit dapat menangkap kata-kata atau ajaran agamanya, tapi semua ingin merasakan sosoknya yang penuh perhatian di tengah suasana perang yang kejam.
Van Hoeck juga mencatat peristiwa lain yang juga sangat menarik terkait pribadi Verbraak. Dalam salah satu perjalanan inspeksi ke Sigli, Verbraak sempat berdialog dengan seorang Atjehschen priester—imam Aceh, dalam konteks ini tentu seorang ulama (teungku)--mengenai ajaran agama.
Ulama itu disebut sangat terkesan dengan kepribadian Verbraak. Sampai-sampai, ketika Verbraak menyatakan hendak kembali ke Kota Radja (sekarang Banda Aceh) lewat jalur darat, sang ulama berjanji bakal menjamin keselamatannya selama perjalanan.
Jaminan ulama itu berarti sangat penting di masa Perang Aceh yang rawan. Pasalnya, perjalan darat antara Sigli dan Kota Radja sangatlah berbahaya bagi serdadu atau orang sipil Eropa karena mereka bisa saja disergap pejuang Aceh.Karena itu pula, orang Eropa lebih memilih jalur laut yang lebih aman.
Peristiwa itu, menurut van Hoeck, menunjukkan relasi baik antara Verbraak dan sang ulama. Itu sekaligus tengara bahwa Pastor Verbraak tidak bermusuhannya dengan orang Aceh maupun agama Islam. Sebagai seorang pastor-tentara, Verbraak pun berulang kali menolak tawaran untuk dibekali pistol dan kerap melakukan perjalanan sendiri tanpa ketakutan bakal diserang oleh orang Aceh.
Dikenang di Bandung
Pastor Verbraak mengakhiri masa pengabdiannya di tanah Aceh pada 1907 dalam usia 72. Orang-orang yang mengenalnya melepasnya dengan haru kala dia berangkat kembali ke Padang.
Lima tahun kemudian, Verbraak pensiun dan dipindahkan ke rumah sakit militer di Magelang. Pada 1 Juni 1918, Verbraak akhirnya kembali ke pangkuan Penciptanya dalam istirahat kekal. Dia lantas dimakamkan dengan khidmat di Magelang dengan peletakan karangan bunga dari walikota, pejabat militer, dan perkumpulan veteran.
Semasa hidupnya, Verbraak tercatat sebagai penerima empat medali dari Kerajaan Belanda, yaitu Kraton Medaille(1876), Ereteken voor Belangrijke Krijgsbedrijven/Expeditiekruis(1881), Ridder in de Orde van den Nederlandschen Leeuw(1884), dan Officierskruis der Orde van Oranje-Nassau(1899).
Sebelum adanya monumen kenangan yang berdiri di Taman Maluku, jemaat Verbraak mendirikan patung torsonya di halaman Gereja Kota Radja pada 1909. Patung itu dibangun tanpa sepengetahuannya karena Verbraak sendiri sudah tidak berada di Aceh.
Lalu, mengapa patung perunggu seorang pastor-tentara yang bertugas di Aceh dan meninggal di Magelang justru didirikan di Kota Bandung?
Seturut penjelasan Van Hoeck, Bandung dipilih sebagai lokasi penempatan monumen lantaran di kota itulah Markas Besar KNIL berada. Bagaimana pun Pastor Verbraak memang pernah menjadi bagian dari KNIL.
Van Hoeckmenceritakan bahwa segera setelah kematian Verbraak, Kepala Staf KNIL Letnan Jenderal G.K. Dijkstra menginisiasi pendirian sebuah monumen untuk mengenang sang pastor. Sebuah panitia peringatan pun dibentuk dan memutuskan untuk menempatkan monumen itu di salah satu taman di Bandung.
Dewan Kota Bandung pun menawarkan Molukken-park yang sekarang dikenal sebagai Taman Maluku. Lebih lanjut, sebuah sub-panitia dibentuk juga di Belanda untuk mengumpulkan dana dan menyiapkan pembuatan patung.
Tugas pembuatan patung jatuh pada seorang pematung perempuan kenamaan Belanda Gerharda Johanna Wilhelmina Rueb (dikenal sebagai Gra Rueb). Gra Rueb merancang patung Verbraak setinggi 2,5 meter dan ditempatkan di atas landasan granit bavaria. Cetakan plester yang telah dibuat oleh Gra Rueb di Den Haag lalu dibawa ke pengecoran Fonderie Nationale dez bronzes di Brussels, Belgia, untuk dicor perunggu.
Pemerintah Belanda juga turut membantu pembuatannya dengan memberikan beberapa meriam tua sebagai bahan pengecoran. Menariknya, perusahaan kapal uap Nederland yang mengirimkan patung ke Hindia Belanda tidak memungut biaya angkut.
Monumen Pastor Verbraak diresmikan oleh Jenderal Dijkstra pada 27 Januari 1922.
Pada 25 Maret 1935, untuk memperingati 100 tahun kelahiran Verbraak, diadakanlah suatu upacara di Taman Maluku. Kepala Staf KNIL yang baru Letnan Jenderal J.C. Koster turt hadir dan berpidato tentang kebaikan-kebaikan Verbraak.
Dalam pidato yang transkripnya dimuat dalam St. Claverbonditu, Jenderal Koster menyebut Verbraak adalah teladan keutamaan moral dan spiritual. Salah satu teladan yang bisa ditiru darinya adalah sikapnya yang tidak mau menghakimi manusia.
“Sebaliknya, dia justru selalu mengulurkan tangannya pada mereka yang terjatuh dan kepada siapa pun yang membutuhkan bantuannya,” demikian kata Jenderal Koster.
Tahun ini, tepat seabad berdirinya monumen Pastor Verbraak di Taman Maluku, Bandung. Semoga setiap kali mengingat Perang Aceh, selain para aktor utama—Teuku Umar dan Cut Nyak Dien, Jenderal van Heutsz dan Snouck Hurgronje—kita pun dapat mengingat Henricus Christianus Verbraak yang menampilkan wajah kemanusian dalam situasi paling gelap sekali pun.
Penulis: Teilhard Soesilo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi